Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Belum. Saat melamarnya, Ustadz Yusuf menawarkan untuk melihatnya. Katanya sebagai calon Suami, aku berhak melihat wajahnya lebih dulu. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik untuk melihatnya."
"Andai kamu melihatnya, kamu pasti akan tertarik. Kamu berkata begitu hanya karena belum melihat wajahnya saja."
Bulir air mata kembali jatuh. Hellen yakin Raka tidak akan mampu mengalihkan pandangan begitu melihat paras Nirma.
Sebagai sesama wanita, Hellen bahkan iri melihat wajah yang selalu tersembunyi di balik cadar tersebut.
"Sudah kubilang, aku sama sekali tidak tertarik untuk melihat wajahnya."
"Tapi itu..." Ucapan Hellen terpotong oleh deringan ponsel milik Raka.
Lelaki itu segera menyambar benda pipih yang ia letakkan di meja. Ada nama Umi tertera pada layar.
"Ini dari Umi." ucap Raka.
"Jawab aja, siapa tahu penting."
"Sebentar, ya." Tanpa menunggu, Raka menggeser simbol hijau pada layar ponselnya.
"Assalamu alaikum, Umi." ucapnya sesaat setelah panggilan terhubung.
"Walaikumsalam. Kamu di mana, Nak?"
"Em... aku di kafe dengan teman, Umi."
"Kamu belum jalan ke butik? Kita kan ada fitting pakaian hari ini."
Raka mengatupkan bibir. Ia sampai lupa bahwa hari ini ada janji dengan Umi Mawar untuk ke butik dan melakukan fitting pakaian pengantinnya.
"Maaf, Umi. Aku lupa."
"Kamu bisa kemari sekarang, kan? Umi dan Nirma sudah hampir satu jam di sini, loh."
Sejenak, Raka melirik Hellen seolah sedang meminta izin. Hellen yang mengerti dengan tatapan Raka hanya menyahut dengan anggukan kepala. Menandai dirinya memberi izin untuk Raka pergi.
"Iya, Umi. Bisa." jawabnya malas.
"Ya sudah, Umi tunggu di sini. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Raka menghembuskan napas panjang.
"Umi minta aku ke sana. Kamu beneran tidak apa-apa?"
Hellen menyahut dengan senyuman diiringi anggukan kepala. Hal yang membuat Raka benar-benar dipenuhi rasa kagum oleh sang kekasih. Tidak hanya cantik dan pintar, ia juga begitu pengertian.
"Aku minta maaf, Hel."
"Tidak apa-apa. Aku mengerti posisi kamu. Sana pergi, kasihan Umi kamu menunggu lama."
"Aku antar kamu pulang dulu." tawar Raka, namun wanita itu segera menolak.
"Tidak usah, aku bisa pulang sendiri."
"Aku akan antar!" ujar Raka tanpa dapat ditawar lagi.
***
Butuh 30 menit perjalanan bagi Raka untuk tiba di sebuah butik tempat Umi Mawar menunggu. Sebelumnya, ia menyempatkan waktu mengantar Hellen pulang.
Kedatangannya langsung disambut ramah oleh dua karyawan butik. Ia diantar menuju lantai atas, tempat Umi Mawar dan Nirma berada.
Nirma seketika menunduk saat melihat calon Suaminya memasuki ruangan. Seperti biasa, Raka menunjukkan sikap dingin terhadapnya. Bahkan tidak menyapa dirinya sama sekali.
"Kok lama sekali kamu, Nak?" tanya Umi Mawar gemas.
"Macet di jalan, Umi. Ini sudah yang paling cepat." jawab Raka setengah berdusta, tanpa melirik calon Istrinya.
"Ya sudah, cepat coba jasnya." Umi Mawar menunjuk setelan jas yang menggantung di sudut ruangan.
Raka hanya mengangguk, lalu beranjak menuju sebuah ruang ganti khsusus pria.
"Bu, kebayanya juga sudah bisa dicoba sekarang." Seorang karyawati butik datang dengan membawa kebaya cantik berwarna putih.
Baik Nirma maupun Umi Mawar begitu terpukau dengan keindahan kebaya tersebut.
Tidak begitu mencolok layaknya pakaian pengantin pada umumnya, namun terkesan sangat elegan.
"Wah, cantik sekali." puji Umi Mawar.
"Saya memang tidak salah pilih butik. Ayo, Nak. Kita coba kebayanya di dalam."
"Iya, Umi."
Nirma mengikuti wanita itu menuju sebuah ruangan khusus wanita. Sejenak pandangannya berkeliling ke setiap sudut.
Sejak tiba di tempat itu, ia benar-benar merasa malu dan rendah diri. Rasanya tidak pantas menginjakkan kaki ke tempat semewah ini.
Bahkan, harga kebaya yang akan ia kenakan di hari pernikahan membuatnya tercengang.
"Kenapa, Nak?" tanya Umi Mawar, sebab sejak tadi Raka terdiam dan sedikit kaku. "Ара sesuatu mengganggu pikiran kamu?"
Nirma mengangguk pelan. "Sebenarnya... iya, Umi."
"Cerita pada Umi, Nak. Apa yang mengganggu pikiran kamu?" Ia membawa wanita itu untuk duduk di sebuah sofa.
"Saya benar-benar malu, Umi. Apa saya layak menjadi bagian dari keluarga ini? Sedangkan saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah seorang gadis yang tidak jelas asal-usulnya, tidak jelas terlahir dari rahim siapa. Saya tidak memiliki nasab yang jelas. Apa segala kekurangan itu tidak akan menjadi aib dan mencoreng kehormatan keluarga besar Umi dan Abi?"
Hati Umi Mawar serasa akan runtuh mendengar kalimat itu. Ia mengusap puncak kepala Nirma yang terbalut hijab.
"Ya Allah, Nak... kata siapa kamu tidak layak? Justru terkadang Umi merasa Raka yang tidak layak untuk wanita sebaik kamu."
Dalam hitungan detik, sepasang mata Nirma dipenuhi cairan bening. Sebisa mungkin ia tahan.
"Justru Umi sangat berterima kasih karena kamu bersedia menerima pinangan kami. Walaupun mungkin kamu belum mengenal Raka lebih dalam. Kami hanyalah orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan jodoh yang terbaik, dan orang itu adalah kamu."
"Terima kasih, Umi."
"Jangan menangis, Sayang. Insyaallah kamu dan Raka bisa saling menerima dan melengkapi." Ia menyeka air mata yang menetes di ujung mata. "Sekarang, coba kebayanya dulu, yuk."
Nirma mengangguk pelan. Ia segera beranjak menuju sebuah kamar kecil untuk mengganti pakaiannya. Sementara Umi Mawar menunggu di depan sambil memainkan ponsel.
Hingga beberapa menit berlalu, pintu ruang ganti terbuka dan memunculkan sosok Nirma.
Mata Umi Mawar bahkan tidak berkedip saat melihat keanggunan wanita itu.
Nirma terlihat sangat berbeda dengan balutan kebaya putih tersebut. Wajahnya cantik bersinar meskipun tanpa polesan makeup.
Umi Mawar masih terpaku memandangi wajah yang ia lihat untuk pertama kali. Matanya meneliti setiap bagian wajah, mulai dari bulat wajah, mata dan hidung. Wajah Nirma benar-benar mengingatkannya pada seseorang.
"Kenapa rasanya wajah ini tidak asing?" ucapnya dalam hati.
***
Selama beberapa saat Umi Mawar begitu terpaku memandangi wajah Nirma.
Paras gadis itu sangatlah cantik bak bidadari. Kulitnya putih mulus bersinar, hidungnya mancung, bulu matanya lentik alami. Perpaduan yang benar-benar sempurna di wajahnya.
Umi Mawar yakin Raka akan benar-benar jatuh cinta pada Nirma begitu pertama kali melihat wajah itu nanti. Sebagai sesama wanita pun, Umi Mawar begitu mengakui kecantikannya.
"Masyaallah.." ucapnya secara spontan tanpa mengerjapkan mata. Tatapannya terus tertuju pada paras gadis itu.
Menyadari tatapan Umi Mawar membuat Nirma menunduk malu. Kedua sisi pipinya bersemu merah, yang malah semakin membuatnya terlihat manis dan cantik.
"Ada apa, Umi? Apa saya kurang cocok mengenakan pakaian ini?" tanya Nirma, sambil memandangi kebaya yang membalut tubuhnya.
Umi Mawar mengulas senyum, lantas bangkit dari duduknya. Mendekati Nirma dan berdiri tepat di hadapannya. Sebelah tangannya terulur membelai wajah gadis itu.
"Benar kata Abi, bahwa kecantikan yang selalu ditutupi karena Allah, jika dibuka pasti akan memancarkan aura yang berbeda."
Nirma menunduk malu.
"Sekarang Umi melihat sendiri buktinya. Kamu benar-benar cantik dan sempurna. Umi yakin Raka akan jatuh cinta begitu melihat wajah kamu."
Gadis itu tergugu. Tak ada balasan dari bibirnya. Segala pujian dari Umi Mawar bukannya membuat hatinya bangga.
Ia justru takut, sebab lelaki yang akann menikahinya itu begitu dingin dan kaku. Ia takut tidak akan mampu meluluhkannya.
"Umi terlalu memuji."
"Tidak. Bukan terlalu memuji. Kamu memang sangat cantik, Nak. Keputusan kamu untuk memakai hijab memang tepat, sehingga hanya Suami kamu kelak yang akan bisa menikmati keindahan kamu."
"Bagaimana kebayanya, Bu? Cocok atau ada yang kurang?" tanya salah satu karyawati butik. Membuat wanita itu tersadar.
"Lihat, kan ... Umi sampai lupa dengan kebayanya." Ia mundur beberapa langkah sambil melirik Nirma dari ujung kaki ke ujung kepala.
Kebaya tersebut benar-benar sepadan dengan tubuh Nirma. Begitu sempurna. Tak ada cela sedikit pun.
"Bagus dan sempurna. Saya suka. Bagaimana dengan kamu, Nirma?" tanyanya kepada gadis itu.
"Saya ikut Umi saja. Kalau Umi bilang bagus, artinya memang bagus."
"Tidak, Nak. Kamu juga berhak berpendapat. Ayo, lihat ke cermin dulu. Kalau ada yang kurang nyaman, kamu bilang saja."
Sejenak Nirma membalikkan tubuh dan menatap pantulan dirinya di cermin. Ia hampir tidak percaya bahwa sosok dalam pantulan cermin itu benar-benar dirinya.
"Bagaimana? Bagus, kan?" ucap Umi Mawar dari belakang.
"Alhamdulillah, sangat bagus, Umi. Terima kasih." jawab Nirma tersipu.
"Sama-sama, Nak."
Umi Mawar masih terpaku dengan kekagumannya saat terdengar suara ketukan pintu.
**************
**************
lanjut Thorrr" bgs cerita nyaaaa....