Era kekacauan telah tiba. Ramalan penyihir ratusan tahun telah terwujud.
Sang Penjahat telah tiba untuk menuntut ketidakadilan.
Menantang dunia dan surga.
Saatnya kalian semua membuka mata dengan kemunculanku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galih Pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untukmu.
Lima tahun berlalu bagaikan kedipan mata. Luo Yan, seorang pendekar muda, terus berjuang keras dengan disiplin luar biasa.
Di sela-sela waktu kosongnya, ia berlatih dengan pedang, membayangkan duel melawan bayangannya sendiri, seolah-olah dia ingin mengalahkan dunia.
Meskipun memiliki kemampuan dan bakat yang luar biasa sebagai pendekar pedang dari masa depan, Luo Yan tahu bahwa masih ada tantangan yang harus dihadapi.
Di atasnya, ada para Tujuh Pendekar Legendaris yang menjadi batu sandungan dalam pencariannya menuju kekuatan yang lebih tinggi. Ia menyadari bahwa setiap detik sangat berharga, satu detik yang terbuang bisa berarti kekalahan.
Dengan kuda-kuda mantap, Luo Yan mempraktikkan semua gerakan yang telah diajarkan. Di tepi arena, Wang Kai, gurunya, mengamati dengan takjub. Tak diragukan lagi, Luo Yan adalah salah satu anak ajaib yang dianugerahi langit.
"Luar biasa! Aku tidak pernah menyangka kemajuanmu akan sepesat ini," puji Wang Kai penuh kebanggaan. "Kau sudah berlatih dengan sangat keras."
"Terima kasih atas pujiannya, Guru. Bagaimana kalau kita melakukan latihan tanding sekali lagi?" Luo Yan menjawab penuh semangat.
Wang Kai tertegun. Hampir tidak pernah ada murid yang meminta latihan tanding setiap kali bertemu. Latihan yang diberikan bukanlah hal sepele—mental dan fisik seorang murid bisa hancur lebur oleh setiap latihan yang cukup menantang.
Namun, di dalam hatinya, Wang Kai merasa nyaman menyaksikan semangat membara bocah ini. Ia pun mengambil pedang latihan dan melangkah menuju Luo Yan.
"Jangan salahkan aku jika kau tidak bisa berdiri besok," kata Wang Kai sambil tertawa lebar.
Tawa mereka menggema, berbanding terbalik dengan sosok yang mengintip dari jauh—Luo Yi, ibu Luo Yan.
"Apa?! Kau ingin membuat anakku tidak bisa berdiri?! Siapa yang berani berbicara seperti itu?!" Kemarahan membakar hati Luo Yi. Ia merasa terpaksa melangkah maju untuk melindungi anaknya.
Sebetulnya, Luo Yi sangat ingin anaknya menempuh jalan yang jauh dari kekerasan. Ia menginginkan Luo Yan bergulat dengan buku dan sastra, bukan dengan tinju dan darah.
Meski sudah berkali-kali membujuk Luo Yan untuk meninggalkan jalan ini, takdir seolah memihak pada sang anak. Senyumnya saat menggenggam pedang selalu menembus relung hati ibunya. Kebahagiaan Luo Yan terletak pada pedangnya.
Malam tiba setelah sesi latihan yang melelahkan, dan Luo Yi segera mendekati anaknya. Ia membawa minuman dan kain basah untuk menyeka keringat yang membanjiri wajah Luo Yan.
"Apa tidak ada jalan lain? Aku tidak ingin melihatmu terus terluka," pintanya, suaranya bergetar penuh keprihatinan.
Luo Yan terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia hanya menatap ibunya dengan tenang, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Jalan seorang ahli bela diri sangatlah berat dan terjal. Kau tidak akan bisa menjadi kuat dalam semalam. Kau perlu berlatih selama bertahun-tahun. Tubuhmu akan rusak, dan hidupmu akan dipenuhi kesepian."
Luo Yan tetap diam, hanya bisa menundukkan kepala.
"Pada akhirnya, di dunia bela diri, kalian hanya akan saling menghancurkan."
Keheningan menyelubungi mereka, hampir tak terpisahkan. Akhirnya, Luo Yan membuka suara.
"Apa yang Ibu katakan itu benar. Namun, aku akan tetap berada di jalanku ini, berjuang untuk menjadi lebih kuat hingga tujuanku tercapai."
Mendengar itu, hati Luo Yi semakin berat. Sulit baginya untuk mengubah pendirian anaknya.
"Tujuanku adalah melindungi semua orang yang berharga di sekitarku. Jika sebuah pedang bisa melukai, maka ia juga bisa melindungi. Aku percaya, dengan pedang ini, aku akan bisa menjagamu."
Air mata Luo Yi menetes tanpa bisa ditahan. Ia berusaha tetap tenang, menahan napas yang hampir tersedu.
"Aku mengerti, tapi berjanjilah padaku, bahwa kau akan merawat dirimu lebih dulu. Kau mengerti?"