Rere jatuh cinta pada pria buta misterius yang dia temui di Sekolah luar biasa. Ketika mereka menjalin hubungan, Rere mendapati bahwa dirinya tengah mengandung. Saat hendak memberitahu itu pada sang kekasih. Dia justru dicampakkan, namun disitulah Rere mengetahui bahwa kekasihnya adalah Putra Mahkota Suin Serigala.
Sialnya... bayi dalam Kandungan Rere tidak akan bertahan jika jauh dari Ayahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mari Kita Menikah
Bab 24 -
Setelah seharian penuh mencari di sekitar hutan dan danau Estyor, Arion dan rombongannya kembali ke manor keluarga Estyor dengan rasa frustrasi yang tak terhindarkan. Jejak monster yang mereka kejar begitu lama seolah lenyap begitu saja, tak meninggalkan tanda-tanda yang bisa dilacak. Semua usaha mereka untuk menemukan asal mula kabut sihir halusinasi dan monster rawa tampak sia-sia.
Arion berjalan dengan langkah berat, matanya menyapu sekeliling hutan yang semakin gelap. Meskipun para prajurit di belakangnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan, Arion tetap berusaha menahan rasa frustrasinya.
"Tidak mungkin mereka bisa menghilang begitu saja...," gumam Arion pada dirinya sendiri, suaranya rendah namun penuh dengan kekecewaan. Monster-monster itu selalu meninggalkan jejak, dan biasanya mereka bisa melacak keberadaan mereka. Tapi kali ini, semua itu seolah tak berarti. Tak ada tanda-tanda monster, tak ada kabut, dan tak ada petunjuk.
Sesampainya di manor, Victor yang selalu santai menghampiri Arion dengan wajah sedikit acak-acakan, namun seperti biasa, ia tetap memiliki selera humor.
"Jadi, apakah kita bisa pulang sekarang?" tanya Victor, dengan nada bercanda yang nyaris tak berubah meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya. "Maksudku, sepertinya monster-monster itu memutuskan untuk berlibur. Mereka tidak akan kembali dalam waktu dekat, bukan?" Arion berhenti, menatap Victor dengan ekspresi serius. Meskipun dia tahu Victor hanya berusaha mencairkan suasana, perasaan frustrasi di hatinya tak bisa diabaikan begitu saja. Jejak monster yang menghilang, ancaman yang belum sepenuhnya terungkap, dan ketidakpastian tentang apa yang sebenarnya terjadi terus menghantui pikirannya.
"Ini bukan masalah seberapa lama mereka akan menghilang, Victor," jawab Arion dengan nada tegas. "Kita tidak bisa lengah hanya karena mereka tidak muncul sekarang. Mereka bisa kembali kapan saja, dan kita harus siap."
Victor menghela napas, mengangkat bahu seolah-olah dia sudah menduga jawaban itu. "Aku mengerti, Yang Mulia. Tapi kau tahu, kita tidak bisa mencari jejak monster yang tidak ada jejaknya, bukan?"
Arion menatap ke kejauhan, memandang hutan yang kini tampak tenang dan sunyi. Dia tahu Victor ada benarnya. Mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk menemukan petunjuk, tapi tak ada yang tersisa untuk dilacak.
Dengan rasa lelah yang semakin menghantamnya, Arion akhirnya berkata, "Kita akan kembali. Tapi tetap siagakan para prajurit. Jika monster itu kembali, kita harus bertindak cepat."
Victor tersenyum tipis, merasa lega mendengar keputusan Arion. "Akhirnya! Aku sudah merindukan tempat tidurku," katanya dengan nada setengah bercanda. Namun, di balik leluconnya, dia juga tahu betapa seriusnya situasi ini.
Sambil melangkah menuju pintu manor, Arion masih merasa ada sesuatu yang tidak beres, Monster-monster itu mungkin menghilang sekarang, tapi dia tahu bahwa ancaman dari dunia bawah masih ada. Ketenangan ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar, dan dia harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Saat malam semakin larut, Rere berjalan sendirian di halaman manor keluarga Estyor, merenungkan pesan yang ia terima dari Raja Peri Acros. Pikirannya terus dipenuhi dengan konflik antara apa yang harus ia lakukan dan perasaannya terhadap Arion. Dia sadar bahwa mendekati Arion bukan hal yang mudah, apalagi dengan masa lalu mereka yang selalu membelenggunya.
Namun, ketika dia melangkah lebih dekat ke sudut taman manor, tanpa sengaja dia melihat Arion dan Victor tengah berbicara berdua. Cahaya rembulan yang redup menerangi wajah mereka, dan suara Victor yang santai terdengar samar-samar. Rere berhenti, menyembunyikan dirinya di balik pohon besar, memperhatikan dari kejauhan.
Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di kepalanya sebuah ide yang bahkan membuat hatinya berdebar lebih cepat. Meski dia merasa ragu, ide itu tampak masuk akal. Jika dia ingin mendekati Arion dan memulai kembali tanpa membawa beban masa lalu, ini adalah kesempatan yang tepat.
Rere menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Dengan langkah yang hati-hati, dia melangkah mendekat, mencoba tampak tenang meskipun hatinya masih bergolak. Saat jaraknya cukup dekat, dia memanggil dengan sopan, "Yang Mulia, Putra Mahkota Arion."
Arion dan Victor sama-sama menoleh ke arah suara itu. Rere berdiri di sana, wajahnya tampak tenang meskipun hatinya penuh ketegangan. Arion menatapnya dengan sedikit terkejut, namun segera menenangkan ekspresinya. "Rere?" ujar Arion pelan. "Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?"
Rere mengangguk pelan, mencoba menahan gugupnya. "Ya, Yang Mulia. Ada hal yang ingin saya diskusikan dengan Anda, jika tidak keberatan."
Victor, yang selalu peka terhadap situasi seperti ini, segera merasakan bahwa dia adalah obat nyamuk dalam percakapan ini. Dengan senyum nakal, dia menoleh ke arah Arion. "Yah, sepertinya aku tahu kapan aku harus pamit," katanya sambil melangkah mundur dengan sopan.
Namun, sebelum pergi, Victor tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda. "Arion, hati-hati, jangan terlalu memikirkan apa yang tidak perlu," katanya sambil melemparkan senyum jahil ke arah Rere, lalu menambahkan, "Kalian berdua, nikmati percakapan kalian. Aku pergi dulu, sebelum membuat suasana semakin tidak nyaman."
Dengan langkah ringan, Victor berlalu, meninggalkan Rere dan Arion dalam keheningan yang sedikit canggung. Rere menatap punggung Victor yang semakin menjauh, merasa bersyukur karena Victor tidak membuat situasi lebih rumit dari yang sudah ada.
Saat kini hanya berdua, Arion memandang Rere, masih penasaran dengan apa yang hendak dibicarakannya. "Ada apa, Rere?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya, namun tetap serius.
Rere menelan ludahnya, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa. Dia tahu bahwa ini mungkin adalah langkah awal dari rencana besar yang telah muncul di benaknya. Meskipun dia tidak tahu bagaimana Arion akan bereaksi, dia harus mencoba.
"Yang Mulia, saya ingin berbicara tentang masa depan..." ujar Rere dengan suara yang lebih tegas dari yang dia kira.
Arion menatap Rere dengan sedikit bingung. Melihat raut wajah serius Rere, dia tak bisa mengabaikan rasa penasaran yang muncul di dalam dirinya. Meski ekspresi wajahnya tetap dingin, ada nada ketidakpastian dalam pertanyaannya, seolah dia ingin memastikan bahwa dia tidak salah mengerti.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan, Rere?" tanyanya, suaranya tenang tapi tajam, seperti seseorang yang mencoba memahami maksud di balik kata-kata orang lain.
Rere, yang sudah memutuskan untuk melangkah lebih jauh dengan ide gilanya, merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Tapi dia tidak bisa mundur sekarang. Dia telah datang sejauh ini, dan sekarang adalah saatnya untuk mengungkapkan rencananya.
"Yang Mulia, saya ingin menawarkan sebuah kontrak pernikahan." ucap Rere, tanpa ragu. Namun, segera setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, dia merasakan suasana di antara mereka berubah drastis.
Arion, yang awalnya tenang dan penuh kontrol diri, tiba-tiba terlihat terkejut. Matanya melebar, jelas tak menyangka apa yang baru saja didengarnya. Kontrak pernikahan? Dari semua hal yang dia duga, ini jelas tidak masuk dalam daftar.
"Apa?" Arion bertanya dengan nada hampir tak percaya. Dia bahkan menegakkan tubuhnya, seolah-olah ucapan Rere memaksanya untuk lebih waspada, "Kau... menawarkan kontrak pernikahan?"
Rere, yang sudah siap dengan reaksi tersebut, tetap berusaha tenang meskipun di dalam hatinya dia merasa begitu gugup. Dia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang tidak lazim, dan tentu saja tidak diharapkan oleh Arion. Namun, dia perlu melanjutkan rencananya, meskipun itu terdengar gila.
"Ya, Yang Mulia. Sebuah pernikahan kontrak," lanjut Rere. "Saya tidak bisa menjelaskan semua alasannya sekarang, namun... ada banyak hal yang lebih besar dari sekadar perasaan pribadi saya. Saya hanya meminta waktu selama enam bulan."
Arion terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rere. Seumur hidupnya, ia belum pernah mendengar ide semacam ini. Pernikahan kontrak? Bagi seorang Putra Mahkota? Apa yang membuat Rere tiba-tiba memiliki ide seperti ini?
Rere menatap Arion, berusaha tetap tenang meski dia tahu apa yang baru saja ia sampaikan bisa terdengar sangat tidak masuk akal. "Yang Mulia, saya tahu ini terdengar aneh, tapi saya punya alasan. Hanya... saya tidak bisa mengungkapkan semuanya sekarang. Saya hanya meminta Anda untuk memikirkannya."
Arion masih diam, jelas berpikir keras. Matanya tetap terpaku pada Rere, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sementara Rere tahu, dia sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Tapi itu tidak membuat beban di hatinya lebih ringan.
Setelah beberapa saat, Rere membungkukkan badannya dengan sopan, seolah-olah menandai akhir dari pembicaraan mereka. "Saya pamit, Yang Mulia. Silakan pikirkan tawaran saya. Saya tidak meminta jawaban segera."
Arion tidak menghentikannya. Dia tetap berdiri di tempatnya, masih terdiam, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Sementara Rere melangkah pergi dengan langkah cepat, mencoba menjauh dari tatapan Arion yang mungkin masih tertuju padanya. Ketika akhirnya Rere berada di luar jangkauan pandang Arion, dia berhenti sejenak dan merutuki dirinya sendiri. Apa yang baru saja dia lakukan? Mengajukan tawaran pernikahan kontrak kepada Putra Mahkota? Bagaimana bisa dia begitu nekat? Itu benar-benar ide gila.
"Aku gila," bisik Rere pada dirinya sendiri, menutup wajahnya dengan tangan. "Apa yang kupikirkan?"
Meskipun dia tahu bahwa rencananya memiliki tujuan, dia tidak bisa menghilangkan rasa malu dan kebingungan yang membanjiri dirinya setelah kejadian itu. Tapi sekarang semuanya sudah terjadi, dan dia hanya bisa menunggu apa yang akan diputuskan oleh Arion.
Malam itu, Arion masih memikirkan percakapan aneh yang terjadi antara dirinya dan Rere. Pernyataan "perasaan pribadi" yang disebutkan oleh Rere terus menghantui pikirannya, membuatnya merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik tawaran kontrak pernikahan tersebut. Namun, saat itu, dia memilih untuk menyimpan pertanyaan tersebut untuk nanti. Dia tidak ingin memperumit situasi yang sudah cukup aneh dengan lebih banyak pertanyaan.
Saat pagi tiba, mereka semua bersiap untuk kembali ke Taewon setelah beberapa hari penuh ketegangan di Estyor. Arion memimpin kelompoknya dengan sikap yang tenang, meskipun di dalam pikirannya masih ada keraguan dan keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara dirinya dan Rere.
Di antara persiapan untuk perjalanan pulang, Arion memperhatikan Rere yang tampak sibuk dengan persiapannya sendiri. Tatapan Arion semakin intens ketika dia menyadari bahwa inilah saat yang tepat untuk mendapatkan jawaban. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya lebih lama lagi.
Ketika Rere hendak meninggalkan area persiapan untuk melanjutkan perjalanannya, Arion dengan cepat menahannya, tangannya meraih lembut pergelangan tangan Rere. Sentuhan itu membuat Rere berhenti dan menoleh ke arahnya dengan mata yang sedikit terkejut. Arion tampak serius, lebih serius daripada sebelumnya.
"Rere, tunggu," kata Arion dengan nada rendah namun tegas. Tatapannya tetap terfokus pada Rere, seolah dia sedang mencoba menembus pikirannya untuk menemukan jawaban.
Rere menatap balik, merasa gugup tapi berusaha tetap tenang. "Ya, Yang Mulia?"
Arion menatap Rere dalam-dalam, seolah mempertimbangkan kata-kata yang akan dia katakan. "Perasaan pribadi" yang disebutkan oleh Rere tadi malam terus menggema dalam pikirannya, dan meskipun dia mencoba mengabaikannya, rasa penasaran itu kini terlalu kuat.
"Soal perasaan pribadi yang kau sebutkan semalam...." Arion mulai, suaranya tenang, tapi ada nada yang jelas menunjukkan bahwa ini penting baginya. "Apa sebenarnya yang kau maksud? Apa yang ingin kau sampaikan?"
Rere terdiam, merasa terpojok oleh pertanyaan yang mendalam itu. Dia sudah tahu bahwa Arion tidak akan membiarkannya pergi begitu saja tanpa penjelasan lebih lanjut. Namun, Rere juga tahu bahwa mengungkapkan semua yang ada di hatinya saat ini mungkin bukanlah pilihan yang bijak.
"Itu... bukan sesuatu yang mudah dijelaskan, Yang Mulia," jawab Rere dengan hati-hati. "Ada alasan-alasan yang belum bisa saya ungkapkan sepenuhnya sekarang. Tapi percayalah, apa yang saya tawarkan pernikahan kontrak itu ada hubungannya dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perasaan pribadi saya."
Arion mengerutkan kening, merasa semakin bingung tapi juga lebih penasaran. Dia ingin mendesak Rere lebih jauh, namun dia juga bisa melihat bahwa Rere tidak akan memberi tahu semuanya. begitu saja.
"Kau tahu aku tidak akan menyerah begitu saja, bukan?" ujar Arion dengan nada tegas, matanya tetap terkunci pada Rere. "Aku akan menunggu jawabanmu. Tapi ingat, Rere, kau tidak bisa menyembunyikan ini selamanya."
Rere mengangguk pelan, merasa lega bahwa Arion tidak mendesaknya lebih jauh untuk saat ini. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa saatnya akan tiba ketika dia harus memberitahukan semuanya baik tentang perasaannya terhadap Arion, maupun alasan besar di balik kontrak pernikahan ini.
"Saya mengerti, Yang Mulia," jawab Rere dengan suara lembut. "Tapi untuk sekarang, saya hanya bisa meminta Anda untuk mempercayai saya. Setidaknya... untuk enam bulan ke depan."
Arion terdiam sesaat, lalu akhirnya melepaskan pegangan tangannya dari pergelangan Rere. "Baiklah, aku akan memikirkannya," katanya akhirnya. "Tapi jangan pikir aku akan membiarkan ini begitu saja."
Rere mengangguk sekali lagi, kemudian membungkuk hormat sebelum berjalan menjauh, meninggalkan Arion dengan segala pertanyaan yang masih menghantui pikirannya. Sementara itu, di dalam hati Rere, dia merasakan beban yang semakin besar-karena dia tahu bahwa rahasianya tentang Arion dan bayi yang dikandungnya tidak bisa disembunyikan selamanya.
Setelah Rere pergi, Arion berdiri diam, merenungkan percakapan mereka yang baru saja terjadi. Kata-kata Rere-tentang perasaan pribadi dan tawaran pernikahan kontrak-berputar-putar di dalam pikirannya, menciptakan kekacauan yang sulit ia kendalikan.
Dia tidak pernah melihat Rere begitu tegas sebelumnya, dan itu membuatnya berpikir lebih dalam. Apa sebenarnya yang Rere rasakan? Meski tidak diungkapkan secara langsung, Arion mulai bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang lebih di balik sikapnya. Dalam hatinya, dia mulai menyusun sebuah asumsi yang semakin kuat-bahwa mungkin Rere memiliki perasaan khusus terhadapnya.
"Apakah dia menyukaiku?" gumam Arion pelan, pikirannya tenggelam dalam keraguan dan spekulasi. Tidak mungkin Rere akan menawarkan pernikahan kontrak hanya karena alasan formalitas atau taktik politik, bukan? Apalagi dengan cara dia berbicara tentang "perasaan pribadi itu.
Arion menghela napas panjang, mencoba mencari logika di balik semuanya. Sebagai Putra Mahkota, dia terbiasa menghadapi berbagai intrik politik, keputusan besar, dan tanggung jawab yang berat. Tapi ini berbeda-ini tentang hubungan pribadi yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.
Arion merasa ragu apakah dia seharusnya langsung bertanya pada Rere, tapi dia juga tahu bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia harus memahami situasinya lebih dalam sebelum mengambil keputusan. Jika memang benar Rere menyukainya, maka tawaran pernikahan kontrak ini bisa menjadi sesuatu yang jauh lebih kompleks daripada sekadar urusan politik.
Tenggelam dalam asumsi asumsinya, Arion kembali berjalan menuju kelompok prajurit yang telah siap untuk kembali ke istana.
Meski pikirannya dipenuhi dengan spekulasi, dia tahu bahwa dia tidak bisa terlalu cepat menarik kesimpulan. Rere masih menyimpan banyak rahasia, dan dia bertekad untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi-baik itu soal ramalan, masa lalu mereka, atau perasaan pribadi Rere yang selama ini tersembunyi.
Namun, satu hal yang pasti: Arion tak bisa mengabaikan perasaannya sendiri. Meski logika dan tugas sebagai Putra Mahkota memintanya untuk
berhati-hati, perasaan aneh yang muncul di hatinya terhadap Rere terus tumbuh, menambah kebingungan yang semakin sulit diabaikan.
pliz jgn digantung ya ...
bikin penasaran kisah selanjutnya
apa yg dimaksud dgn setengah peri dan manusia? apakah rere?