Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
Nadira tersenyum lemah, tangannya menggenggam tangan Mira dan Revan dengan sisa tenaga yang ia miliki. Matanya mulai sayu, tapi sorot kebahagiaan tetap terpancar. Ia terlihat lega, seolah beban berat yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang.
“Maaf kalau aku terlalu memaksakan kalian,” ucap Nadira pelan, nyaris seperti bisikan.
Revan menunduk, menggenggam tangan Nadira erat, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhannya. “Kamu nggak perlu mikirin apa-apa lagi, Nad. Sekarang kamu cuma perlu istirahat. Semua akan baik-baik saja.”
Nadira mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku… sudah tenang sekarang. Janji ya, kalian akan saling mendukung… akan terus bersama…”
Mira berusaha keras menahan tangis, tapi akhirnya air mata itu mengalir juga. “Kita janji, Nad. Aku janji, aku akan menjaga Revan seperti yang kamu inginkan.”
Senyum lembut menghiasi wajah Nadira, seolah ucapan Mira menjadi penutup dari perjalanan panjang yang telah ia lalui. Matanya perlahan terpejam, napasnya semakin lemah, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Monitor di samping ranjang mengeluarkan bunyi panjang yang memekakan keheningan, menandakan detak jantung Nadira telah berhenti.
Mira terisak, tangannya yang gemetar mengguncang tubuh adiknya. “Nadira! Nadira, bangun!” serunya, meski dalam hati ia tahu bahwa semua telah berakhir.
Dokter dan seorang perawat bergegas masuk, memeriksa Nadira dengan cekatan. Setelah beberapa saat, dokter menatap Mira dan Revan dengan ekspresi penuh simpati. “Kami sudah berusaha, tapi... maaf, dia sudah pergi,” ucapnya lembut.
Tangis Mira pecah. Ia terjatuh ke kursi di dekat ranjang, bahunya berguncang hebat. Revan, yang berdiri di sisinya, tetap membisu. Wajahnya pucat, pikirannya kosong, dan dadanya terasa sesak. Meskipun ia telah mempersiapkan diri untuk kehilangan ini, kenyataan tetap menghantamnya dengan kejam.
Setelah beberapa saat, Revan berlutut di samping ranjang Nadira. Ia menggenggam tangan dingin Nadira erat, seperti mencoba menahan kepergian yang tak terelakkan. “Terima kasih, Nad… atas semua kenangan, atas semua kebaikanmu selama kita bersama. Aku nggak akan pernah melupakanmu,” bisiknya dengan suara bergetar.
Salah seorang perawat menghampiri mereka dengan hati-hati. “Maaf, kami harus membawa pasien ke ruang jenazah,” katanya lembut.
Revan melepas genggamannya dengan berat hati, perlahan berdiri. Mira hanya terduduk lemas di sofa, matanya kosong memandang tubuh adiknya yang dibawa pergi oleh perawat. Tangisnya kembali pecah saat pintu tertutup, seolah mengukuhkan kenyataan bahwa Nadira tak akan pernah kembali.
"Udah Mira, kita ikhlaskan kepergian Nadira, kita harus terus berusaha untuk menempati janjinya, bersama untuk selamanya dalam pernikahan yang kita lakukan ini." Revan, meski ia juga merasa hal yang sama seperti Mira.
Setelah mereka bangkit dari tempat duduknya, mereka melangkah pergi dari rumah sakit, untuk menyiapkan proses pemakaman Nadira.
*******
Keesokan paginya, langit tampak mendung, seolah turut berbagi duka yang dirasakan semua orang. Prosesi pemakaman Nadira dihadiri keluarga dan beberapa teman dekat. Di bawah tenda sederhana, suasana penuh dengan isak tangis dan keheningan yang menyayat hati.
Mira berdiri di samping peti jenazah Nadira, wajahnya penuh kesedihan yang tak tertahankan. Begitu peti itu mulai diturunkan ke liang lahat, Mira tak mampu lagi menahan emosinya. Ia menangis histeris, tangannya gemetar memegangi lengan Revan. “Kenapa harus Nadira? Dia terlalu baik, terlalu muda untuk pergi…” Mira menangis tersedu, tubuhnya limbung.
Revan segera memegang bahunya, mencoba menenangkan dengan suara lembut meski dirinya juga dihantam perasaan kehilangan yang begitu dalam. “Mira, aku tahu ini berat. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi kita harus kuat. Nadira ingin kita saling mendukung, ingat?” katanya sambil mengusap punggung Mira dengan lembut.
Mira hanya mengangguk kecil, tapi tangisnya tetap mengalir deras. Ia menatap liang lahat itu dengan pandangan kabur oleh air mata. “Aku janji, Nadira… aku akan memenuhi janjiku. Aku akan menjaga Revan. Tapi aku nggak siap untuk ini…” ucapnya lirih di sela tangis.
Orang-orang di sekitar mereka juga terdiam, beberapa ikut menangis. Suasana menjadi semakin haru saat imam membacakan doa terakhir untuk Nadira. Semua kepala tertunduk, melantunkan doa yang tulus untuk kepergiannya.
Setelah prosesi selesai, beberapa orang mulai menaburkan bunga di atas makam Nadira. Mira, dengan tangan yang masih gemetar, mengambil segenggam bunga mawar putih. Ia berlutut di tepi makam, lalu menaburkan bunga itu sambil berbisik, “Selamat jalan, Nadira. Semoga kamu tenang di sana… Aku akan selalu mencintaimu.”
Revan, yang berdiri di belakang Mira, menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat, ia ikut berlutut, meletakkan tangannya di atas nisan yang masih basah oleh tanah baru. “Nad, aku janji akan menjaga Mira. Aku janji nggak akan mengecewakan kamu. Terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan untuk kami.”
Ketika semua orang mulai meninggalkan area pemakaman, Mira masih duduk diam, menatap makam Nadira seolah enggan pergi. Revan meraih tangannya, membantunya berdiri dengan lembut. “Mira, ayo kita pulang. Nadira nggak ingin melihat kita terus begini. Dia ingin kita bahagia, bukan?”
Mira mengangguk dengan berat hati, menghapus air matanya. “Aku akan coba, Revan. Untuk Nadira.” Suaranya terdengar lemah.
Mereka berdua meninggalkan makam itu bersama, dengan perasaan hampa namun juga sebuah janji yang harus mereka tepati: melanjutkan hidup dan menjaga satu sama lain seperti yang diinginkan Nadira.
Setelah meninggalkan area pemakaman, Mira dan Revan berjalan perlahan menuju mobil, tanpa sepatah kata pun terucap di antara mereka.
Hening, hanya suara langkah kaki dan desiran angin yang menemani. Mira terus menggenggam lengan Revan erat, seolah takut kehilangan satu-satunya pegangan yang ia miliki sekarang.
Setibanya di rumah, suasana tak kalah sunyi. Ruang tamu yang biasanya penuh canda tawa kini terasa hampa. Foto-foto Nadira yang tersusun rapi di meja seolah berbicara tentang kenangan manis yang takkan terulang lagi.
Mira duduk di sofa, memeluk bantal dengan mata yang masih sembab. Hatinya terasa kosong, seakan separuh jiwanya ikut pergi bersama Nadira. Revan duduk di sampingnya, tangannya menggenggam tangan Mira erat, mencoba memberikan kekuatan yang ia sendiri sulit temukan.
“Mira,” ujar Revan lembut, menatap wanita itu dengan penuh perhatian. “Aku tahu ini nggak mudah, tapi kita harus belajar menerima. Mulai sekarang, aku ada di sini untukmu. Kamu nggak sendirian.”
Mira menoleh perlahan, air matanya kembali menggenang. “Aku takut, Revan. Aku takut nggak bisa menjalani hidup ini tanpa Nadira. Dia… dia selalu jadi bagian dari hidupku. Aku bahkan nggak tahu bagaimana caranya melanjutkan semuanya tanpa dia.” Suaranya bergetar, mencerminkan kepedihan yang dalam.
Revan menarik Mira ke dalam pelukannya. Ia membiarkan wanita itu menangis di dadanya, mengeluarkan semua rasa sakit yang selama ini ia tahan. “Kamu nggak perlu memaksakan dirimu, Mira. Pelan-pelan saja. Kalau kamu butuh waktu, ambil waktumu. Yang penting, kita tetap berjuang bersama. Aku nggak akan meninggalkanmu.”
Air mata Mira mengalir deras, namun pelukan Revan memberikan kehangatan yang menenangkan. Setelah beberapa saat, ia menghapus air matanya dan menghela napas panjang. “Aku janji, Revan. Aku akan mencoba. Demi Nadira, demi kita.”
Revan tersenyum tipis, melepaskan pelukannya. “Aku tahu kamu kuat, Mira. Tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan…” Revan ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Aku ingin kamu ikut denganku, Mira. Tinggal bersamaku. Dan… aku ingin mengenalkanmu pada orang tuaku.”
Mira terdiam, matanya melebar. Ia tahu permintaan itu datang dari niat baik Revan, tapi hatinya belum siap. Ia menunduk, meremas ujung bantal yang ia pegang. “Revan, maaf… aku belum bisa. Aku belum siap meninggalkan rumah ini. Rumah ini… terlalu banyak kenangan indah tentang Nadira. Aku belum bisa merelakan semuanya. Dan soal keluargamu… aku takut.”
“T-takut?” Revan memiringkan kepala, wajahnya menunjukkan kebingungan.
Mira mengangguk pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Pernikahan kita terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan belum sempat mengenal keluargamu. Bagaimana kalau mereka tidak menerimaku? Bagaimana kalau mereka berpikir aku menikahimu hanya karena hartamu?”
Revan menggenggam tangan Mira lebih erat, tatapannya tegas namun lembut. “Dengar, Mira. Sekarang aku menikahimu karena aku mencintaimu. Kalau keluargaku melihat ketulusanmu, aku yakin mereka akan menerimamu. Tapi aku nggak akan memaksamu. Kalau kamu butuh waktu, aku akan menunggumu. Selama kamu bersamaku, aku tahu semuanya akan baik-baik saja.”
Mira mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi keraguan. “Terima kasih, Revan. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk menata semuanya… dan menerima ini semua.”
Revan mengangguk, memberikan senyum tipis yang penuh pengertian. Ia berdiri perlahan, tangannya masih menggenggam tangan Mira sejenak. “Oke, kalau itu maumu, aku nggak akan memaksakan apa-apa. Aku akan pulang dulu, memberi kabar pada keluargaku kalau aku baik-baik saja. Sudah dua hari aku nggak pulang,” katanya dengan suara lembut.
Revan menunduk, memberikan ciuman lembut di kening Mira. “Istirahat yang cukup. Jangan terlalu banyak pikiran. Aku akan kembali.”
Mira tersenyum kecil, meski matanya masih sembab. “Hati-hati di jalan, sayang,” ucapnya, suaranya terdengar tulus meski bercampur kesedihan.
Revan mengangguk sekali lagi sebelum melangkah pergi, meninggalkan Mira sendirian di ruang tamu yang penuh kenangan. Saat pintu tertutup, Mira memeluk bantal lebih erat, menatap foto Nadira yang tersenyum di atas meja. Dalam hati, ia berbisik pelan,
"Nadira, aku janji akan menjaga Revan… tapi beri aku kekuatan untuk melakukannya."