Istri mana yang tidak bahagia bila suaminya naik jabatan. Yang semula hidup pas-pasan, tiba-tiba memiliki segalanya. Namun, itu semua tidak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang akhirnya mengangkat derajat keluarga nyatanya justru melenyapkan kebahagiaan Jihan.
Suami yang setia akhirnya mendua, ibu mertua yang penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya.
Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula Fahmi hadir kembali bersamaan dengan wanita masa lalu Aidan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7~ GAK MAU PUNYA DUA BUNDA
Setelah mobil Fahmi tak terlihat lagi, Windi dan bu Neny pun kembali masuk ke rumah dan langsung menuju ruang makan.
"Mbak Jihan kemana ya, Bu?" Tanya Windi saat tak mendapati Jihan lagi di ruang makan.
"Paling juga bangunin Dafa. Udah biarin aja gak usah pikirin mereka, sekarang ayo kita sarapan. Kamu juga harus ke kantor, kan?" Ujar bu Neny.
Windi mengangguk, ia lalu menyajikan nasi goreng ke piringnya. Begitu mencoba nasi goreng itu, spontan saja ia langsung memujinya dalam hati. 'Nasi goreng buatan Mbak Jihan enak juga. Sayang sekali tadi Mas Fahmi gak sempat mencicipinya. Padahal, yang Mas Fahmi tahu ini adalah nasi goreng buatan ku.'
Disela-sela mengunyah makanannya, sepintas saja pikirannya tertuju pada Dafa. Sejak semalam ia belum pernah melihat anak itu, saat datang Fahmi langsung mengajaknya beristirahat di kamar tamu.
'Sepertinya kita harus berkenalan,' gumamnya dalam hati. Sudut bibirnya tertarik begitu terpikirkan sesuatu.
Sementara itu di kamar Dafa. Jihan duduk tampak termenung di tepi tempat tidur, sorot matanya mengarah pada putranya yang masih tidur, sedang pikirannya berperang dengan hatinya.
Pikirannya menuntut untuk ia segera mengambil keputusan, namun hatinya menuntun untuk agar ia mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya adalah tentang hak asuh. Jelas, ia yang tidak memiliki apapun akan sangat dengan mudah dikalahkan oleh Fahmi yang memiliki kuasa. Tak terbayang bila ia harus terpisah dengan putra semata wayangnya.
'Ya Allah, aku tahu Engkau tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hambamu. Tapi sekarang aku merasa lelah, Ya Allah. Satu-satunya hal yang membuat aku bertahan hanyalah putraku.'
.
.
.
Selesai sarapan, Windi bergegas menuju kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke kantor. Sebentar lagi taksi pesanannya akan datang.
Tak berapa lama kemudian ia keluar dari kamar dengan setelan yang sudah rapi. Bertepatan dengan itu Dafa pun melintas di depan kamarnya, bocah itu juga sudah terlihat segar sehabis mandi.
Langkah Dafa terhenti begitu melihat keberadaan wanita asing di rumahnya. Ia menatapnya tak berkedip, "Tante siapa?" Tanyanya.
Windi tak langsung menjawab, ia terlebih dahulu mengamati keadaan sekitar. Seringai tipis tercetak di bibirnya begitu tak terlihat tanda-tanda keberadaan Jihan maupun ibu Neny. Ia pun merendahkan tubuhnya sejajar dengan Dafa.
"Kamu pasti Dafa, kan?" Tanya Windi berbasa-basi.
"Iya, tapi kok Tante tahu nama Dafa? Kita kan gak pernah ketemu." Ucapnya.
Windi lalu mengulurkan tangannya pada Dafa, "Kenalin nama Tante, Windi."
Dengan polosnya, Dafa menyambut dan membalas jabat tangan Windi. "Tante kok bisa ada di rumah Dafa?" Tanyanya lagi.
"Karena mulai sekarang Tante akan tinggal di sini. Dan Tante adalah istri Ayah kamu juga, jadi kamu juga harus panggil Tante dengan sebutan Bunda seperti kamu memanggil Bunda Jihan."
Sontak saja Dafa langsung menarik tangannya serta memundurkan langkah, "Tante pasti bohong!"
"Ngapain Tante bohong, kalau gak percaya tanya aja sama Ayah kamu. Dan kamu harus terima kalau sekarang Tante ini juga Bundanya kamu. Ngerti!" Tukas Windi.
"Bundanya Dafa cuma Bunda Jihan. Dafa gak mau punya dua Bunda." Ucap bocah lelaki itu, suaranya yang cukup nyaring itu terdengar sampai ke ruang tamu.
Membuat Jihan yang sedang mengambilkan sarapan untuk putranya jadi tersentak kaget. Ia pun meletakkan piring yang telah berisi nasi goreng, lalu segera berlari ke sumber asal suara.
Jihan langsung memeluk putranya, ia menatap Windi dengan tajam. "Apa yang kamu lakukan pada putraku sampai dia berteriak?"
"Aku gak ngapa-ngapain kok, Mbak. Aku cuma kenalan aja sama Dafa." Jawab Windi dengan santainya.
"Bunda, Dafa gak mau punya dua Bunda."
Mendengar ucapan putranya, Jihan kembali menatap Windi kian tajam. "Apa yang sudah katakan pada putraku?"
"Ya aku cuma ngasih tahu kalau aku ini istri Ayahnya juga, yang artinya aku juga adalah Bundanya Dafa. Gak salah kan, Mbak?"
Jihan hanya dapat menghela nafas panjang, memejamkan mata sejenak dengan bibir mengatup rapat. Yang dikatakan Windi tidak ada salahnya, hanya saja ia mengkhawatirkan mental putranya bila harus dipaksa menerima kenyataan pahit itu. Inilah salah satu hal yang membuatnya cemas semalaman. Beruntungnya tadi malam Dafa tidak melihat kedatangan Windi yang menjadi penyebab tidak tercapainya keinginan Dafa untuk merayakan ulang tahunnya bersama ayah dan bundanya.
"Seharusnya kamu gak perlu repot-repot mengatakannya, aku bisa memberitahu putraku sendiri." Ujar Jihan.
"Dan Mbak gak perlu ngasih tahu Dafa lagi, karena aku sudah lebih dulu memberitahunya." Balas Windi, sedikitpun tak ada rasa bersalah diraut wajahnya.
"Yang dikatakan Windi itu benar, kenapa kamu harus marah?" Timpal bu Neny yang baru saja datang. Berdiri diantara kedua menantunya itu.
"Jangan coba-coba mencuci otak cucuku agar dia membenci Windi dan tidak menerimanya." Tekan bu Neny, menatap Jihan penuh peringatan.
"Astaghfirullah, Bu. Aku gak akan melakukan itu, tapi seharusnya kalian pikirkan juga mentalnya Dafa. Apa kalian pikir akan semudah itu baginya untuk bisa menerima bahwa sekarang dia memiliki dua Ibu?" Ucap Jihan.
"Dafa harus terima, maka itu adalah tugas kamu untuk memberikan pengertian padanya. Dan sekali lagi Ibu ingatkan, jangan coba-coba untuk memprovokasi Dafa!" Setelah mengatakan kalimat penuh peringatan itu, bu Neny pun meraih tangan Windi dan mengajaknya pergi.
"Bunda, Dafa gak mau punya dua Bunda." Ucap Dafa sekali lagi.
Jihan kembali menghela nafas panjang, entah harus bagaimana ia jelaskan pada putranya. "Dafa, yuk kita sarapan." Ajaknya mengalihkan perhatian Dafa sejenak. Sebaiknya mereka mengisi perut terlebih dahulu, dan setelah lebih tenang ia akan menjelaskan pada putranya.
hadech mama Kiara jangan galak2 dong bisa jantungan itu si Jihan papa Denis berasa Dejavu g tu anaknya mau mepet janda 🤭🤭🤭
ayo om dokter Pepet terus jangan kasih kendor dah pasti dibantuin nyomblangin kok ama bang Rian n Nayra 🤭🤭🤭