Menikah dengan pria idaman adalah dambaan tiap wanita. Adelia menikah dengan kekasihnya bernama Adrian. Di mata Adelia Adrian adalah laki-laki yang baik, taat beragama, perhatian sekaligus mapan. Namun ternyata, setelah suaminya mapan justru selingkuh dengan sekretarisnya. Apakah Adelia mampu bertahan atau justru melangkah pergi meninggalkan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan
Adelia hanya bisa menangis pasrah, tubuh ayahnya yang sudah tertutup rapat oleh kain. Untung saja ia masih bisa mendengar suara ayahnya di detik terakhirnya. Meskipun samar tidak begitu jelas namun Adelia ingat jika ayahnya hanya ingin dirinya bahagia.
"Maafkan Adel, Yah," tangis Adelia penuh penyesalan. Ia lunglai lemas ketika brankar yang berisikan mayat ayahnya di dorong ke kamar mayat untuk di mandikan.
"Ibu, maafkan Adel Bu. Adel yang membuat ibu jadi janda. Ini salah Adel, Bu ..." tangis Adelia tidak dapat di bendung lagi. Kedua wanita ibu dan anak itu saling berpelukan. Mereka saling menguatkan satu sama lain.
"Sudah Nduk, jangan salahkan dirimu terus. Ibu sudah ikhlas, Nduk," ucap Bu Marni mencoba menenangkan hati putrinya.
Adelia masih saja menangis terisak-isak. Ia sudah kehilangan ayah, kini tinggal ibunya yang masih ia miliki.
"Nak Arga terima kasih sudah membawa Adelia kemari hingga dia bisa bertemu dengan ayahnya di saat detik-detik terakhirnya," ucap Bu Marni.
"Sama-sama, Bu."
"Saya senang bisa membantu ibu dan Adelia," balas Arga.
Setelah pemakaman, di rumah Bu Marni kini di gelar acara mengaji selama tujuh hari. Banyak tetangga yang datang untuk ikut berbela sungkawa. Bu Marni yang masih tidak percaya dengan kejadian yang di alaminya menangis sedih karena kepergian suaminya.
Pakaian serba hitam masih melekat di tubuh Adelia dan Bu Marni. Mereka menyalami para tamu yang berpamitan pulang usai pengajian.
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayah," kata Adrian yang tiba-tiba muncul di depan pintu masuk. Bu Marni terdiam, tidak mau menjawab perkataan Adrian. Ia masih kesal dengan menantunya itu.
Adelia langsung menarik tangan Adrian dan membawanya ke luar halaman jauh dari ibunya.
"Aku mau minta maaf, Del."
"Aku ingin minta maaf pada ibumu, pada almarhum ayahmu," terang Adrian.
"Sudahlah, Mas. Mendingan Mas pergi dari sini. Tak ada gunanya Mas minta maaf."
"Ayah sudah tenang di sana, jika bukan karena perkataan Salsa waktu itu mungkin sekarang ayahku masih sehat."
"Selamat, ya Mas."
"Tujuanmu berhasil, membuatku kehilangan orang yang aku cintai."
"Membuatku menangis dan bersedih seperti yang sudah-sudah."
"Pergilah, kehadiranmu tidak di perlukan di sini. Kau hanya akan membangkitkan amarah ibu saja!" tegas Adelia.
"Aku akan pergi setelah kalian mau memaafkanku," pinta Adrian.
"Minta maaflah dulu pada Tuhan, baru minta maaf pada kami." Adelia bergegas meninggalkan Adrian di halaman. Ia sudah tidak peduli lagi pada lelaki yang pernah menjadi kekasih sekaligus suaminya.
Hujan deras mengguyur bumi, Adelia melihat Adrian dari balik kaca jendela tengah kehujanan. Lelaki itu menatap rumah Adelia sesaat lalu berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Mobil itu pun pergi membelah jalanan yang penuh dengan air hujan.
Adelia tidak peduli lagi, ia membiarkan Adrian pergi dengan baju basah yang melekat pada tubuhnya. Luka Adelia terlalu perih, ia juga masih merasa sedih karena kehilangan ayahnya.
"Sudah, Nduk. Masuklah ke kamarmu, nanti kamu masuk angin," kata Bu Marni lembut.
"Baik, Bu."
"Ibu juga istirahat, seharian banyak tamu yang datang. Ibu pasti kelelahan," kata Adelia.
Bu Marni memang lelah, tapi ia merasa kasihan pada Adelia yang sebentar lagi akan menjanda. Tanpa sengaja, Bu Marni pernah melihat berkas perceraian di meja kamarnya Adelia. Bukannya, ia masih ingin putrinya berumah tangga dengan Adrian. Namun, status janda bagi wanita muda di kampung tempatnya tinggal masih terbilang tabu.
"Kasihan kamu, Nduk."
"Lebih baik menjanda di tinggal mati suami, daripada di tinggal selingkuh."
"Karena itu pasti jauh menyakitkan," gumam Bu Marni di kamarnya. Ia mengambil pigura kecil yang berisikan foto dirinya dan suaminya beserta Adelia waktu kecil. Ia mengusap pelan kaca pigura itu.
"Kenapa ayah pergi begitu cepat?"
"Tolong doakan dari atas sana, semoga putrimu ini segera menemukan jodohnya," kata Bu Marni lirih. Ia berbalik menatap tempat tidurnya yang kosong. Biasanya ada suami yang menemani kini ia akan merasakan tidur sendiri untuk waktu yang lama.
Bu Marni meraba sepreinya tanpa di sadari air matanya meleleh menangisi kepergian suaminya. Ia masih shock karena semuanya terjadi begitu cepat. Bu Marni mengingat masa-masa indah waktu bersama suaminya. Ia duduk kedua tangannya mencengkeram seprei kanan kiri. Ia berusaha untuk menguatkan hatinya meskipun tidak rela.
Di kamar lainnya, perasaan Adelia juga sama sedihnya. Ia memeluk bonekanya waktu masih kecil dulu. Boneka itu merupakan hadiah ulang tahun dari ayahnya. Ia memeluk erat boneka itu sembari menangis terisak-isak. Banyak kenangan yang di torehkan ayahnya semasa hidup yang hanya bisa di kenang dalam ingatannya saja.
"Maafkan Adelia, Yah," gumam Adelia.
Ia merasa bersalah terus-menerus karena setelah mendengar berita mengenai rumah tangganya, ayahnya langsung terkena serangan jantung. Adelia merasa belum bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Ia menyalahkan dirinya atas apa uang menimpa ayahnya. Dalam rintiknya hujan deras di luar, petir mengelegar, Adelia hanya bisa menangis sejadinya. Mengeluarkan segala rasa kesedihannya karena kehilangan sosok yang selama ini di sayanginya.
Sesampainya di rumah tubuh Adrian yang basah kuyup malah mendapat ejekan dari Salsa.
"Kamu habis mengemis cinta atau mengemis maaf sama Adelia," cibir Salsa.
"Suami datang kedinginan begini bukannya di buatkan kopi atau di ambilkan handuk, eh malah di cecar terus," balas Adrian kesal.
"Eh, Mas. Ngaca dong, kamu pikir Adelia mau memaafkan kamu setelah kamu selingkuhin dia!"
"Lagi pula untuk apa sih kamu capek-capek kesana. Di bela-belain hijan pula. Mau syuting sinetron kumenangis?" ledek Salsa.
Adrian tidak terima di hina terus oleh Salsa. Ia berkacak pinggang dan menatap tajam pada Salsa.
"Masih mending aku minta maaf!"
"Padahal ayah mertuaku meninggal itu gara-gara kamu kerumahnya membuat ulah!"
"Harusnya kamu yang minta maaf ke sana. Karena perkataanmulah yang membuat jantung ayah mertuaku kumat hingga meninggal!" sentak Adrian.
"Hahaha, belain saja dia terus."
Plak!
Telapak tangan Adrian mendarat di pipi Salsa. Ia sudah jengah dengan omelan istri keduanya itu mengenai Adelia. Jelas-jelas dia salah, tapi tidak mau di salahkan.
"Aduh, sakit Mas!" Salsa memegangi pipinya yang kemerahan.
"Kamu udah berani tampar aku demi perempuan itu, Mas!"
"Tega kamu!" cerocos Salsa.
"Kamu yang buatku marah. Buat aku tidak sabar dengan semua kelakuanmu yang berlebihan."
"Sebagai seorang isteri kamu tidak patuh pada suamimu. Bahkan kamu melakukan kejahatan hingga membuat ayah mertuaku meninggal!" teriak Adrian.
"Enak aja kau mengkambing hitamkan aku, Mas. Aku ini juga korban. Dan kamu adalah pelaku utama yang membuat hidupku dan hidup Adelia menderita!"
"Jangan sok alim, kamu mau cuci tangan atas kesalahan yang kamu perbuat kan?"
Salsa masih saja mengomel, ia tidak terima Adrian menamparnya. Ia juga tidak mau di salahkan. Salsa merasa Adrianlah orang satu-satunya paling bersalah dalam masalah mereka.
---Bersambung---