Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mama dan Ghio
Lelah. Satu kata untuk hari yang membosankan ini. Rain merasa tenaga dan pikirannya terkuras. Padahal, sejak semalam ia sudah kehabisan semangat.
Rain merebahkan dirinya di sofa. Untuk mengambil air minum saja ia sudah tidak sanggup. Perlahan Rain menutup matanya. Tapi grasak-grusuk dari dapur mengganggu pendengarannya. Alhasil, Rain kembali membuka matanya.
Rain mendesah panjang. "Ayolah! Gue capek banget. Gue cuma butuh istirahat sebentar," katanya memelas.
Tapi grasak-grusuk itu kembali terdengar.
Rain memejamkan matanya mencoba tetap sabar. Lantas, Rain duduk tegak. Rambutnya acak-acakan. Ia menatap ke arah dapur dengan tatapan lesu.
"Please! Gue capek." teriaknya.
Rain diam sesaat. Grasak-grusuk dari dapur tidak terdengar lagi. Rain tidak tahu apa benda yang berdentingan disana.
Rain menghela napas. Akhirnya ia bisa tenang lagi. Rain ingin kembali merebahkan dirinya. Ia memejamkan matanya, karena matanya sudah sangat berat. Sejak semalam matanya meminta untuk terpejam. Tapi, ia sama sekali tidak bisa tidur barang sebentar saja.
Tapi, ketenangan Rain hanya berlangsung beberapa detik. Dering ponselnya membuatnya kembali terbangun.
"Apa lagi, sih?" rutuknya. Lantas mengeluarkan ponsel yang berada dalam tasnya.
Rain membuang napas, lalu menempelkan ponselnya ke telinga.
"Apa, kak?"
Rain mendengar sambil memejamkan matanya. Namun, setelah Asya berbicara, mata Rain langsung terbuka.
"Gak pulang?"
Asya kembali bicara. Hal itu membuat Rain mengangguk paham.
"Ya udah."
"Hm. Gak pa-pa."
Rain menatap ponselnya sebentar. Panggilan sudah berakhir.
Kembali seperti dulu. Lagi dan lagi, Rain kembali sendirian. Asyama tidak pulang malam ini. Mereka mengadakan acara di sekolah besok, dan mereka harus membuat persiapan mulai malam ini. Seperti kata Asya dalam telepon, mungkin malam ini mereka tidak akan ada waktu untuk tidur karena banyak persiapan yang harus dibuat.
Tubuh Rain merosot di lantai. Seperti ini lah nasib jika merantau di luar kota.
Rain menatap sekelilingnya. Sunyi dan sepi. Cahaya samar membuat suasana kian semakin redup dan suram.
Rain terlalu lelah untuk memanfaatkan waktu sendiri ini. Ia bahkan tidak berniat mengajak siapa pun untuk menemaninya. Karena Rain tahu, tempat ini tidak cocok untuk mereka.
Saat keadaan seperti ini, Rain teringat mamanya. Rain jadi Rindu. Dulu, ia tidak pernah merasakan kesepian seperti ini. Mamanya pasti selalu bersamanya, karena kemana saja sang mama pergi, sebisa mungkin Rain akan ikut.
Setelah dewasa, keadaan seolah berbalik. Rain harus mandiri. Ia harus menjalani kehidupannya dengan kekuatan sendiri dan bantuan yang Dari Atas.
Rain tidak bisa lagi bermain-main seperti dulu. Ia tidak lagi mengeluh kepada mama. Ia tidak bisa lagi menceritakan kejadian yang ia alami hari ini. Rain tidak lagi bisa melihat senyum teduh yang menenangkan hatinya setiap kali ia merasa sedih. Dan Rain tidak akan bisa lagi mendengar ocehan mama ketika ia melakukan kesalahan.
Air mata meluncur deras di pipi Rain. Dalam keadaan seperti ini, saat ia merasa lelah, ia tidak lagi bisa bersandar di punggung mamanya.
Bahu Rain bergetar. Dipandangnya wajah teduh dalam galeri ponselnya. Wajah yang menampilkan senyum manis yang sangat cantik. Rain merindukannya.
Diusapnya wajah dalam ponsel itu. "Rain... rindu..." Suaranya bergetar. Air mata terus berjatuhan membasahi ponsel yang menampilkan foto.
"Kenapa... secepat itu? Rain pengen memeluk mama..."
Andai waktu bisa diputar kembali, Rain akan berlari ke pelukan mamanya. Ia tidak akan melepaskan pelukan itu.
Andai waktu bisa diputar kembali, Rain akan membuat mamanya selalu tersenyum. Rain akan mencium pipinya, dan mengucapkan, "Rain sangat-sangat menyayangi mama." Ia tidak akan lagi banyak mengeluh tentang apa yang dialaminya.
Andai saja waktu benar-benar bisa diputar kembali, Rain tidak akan pernah membuat kecewa mamanya.
Tapi, semua itu hanya andai. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan terulang lagi. Ia tidak akan pernah melihat wajah itu lagi. Selamanya, Rain tidak akan melihatnya lagi.
Rain memeluk foto itu. Bahunya bergetar hebat. Suara tangisannya semakin terdengar. Air mata terus mengalir dari pipinya.
Inilah sisi rapuh Rain. Sisi yang tidak seorang pun tahu, bahkan Asyama maupun ayahnya.
"Rain rindu mama..." tangis Rain.
Suasana terasa semakin mencekam. Matahari telah kembali ke peraduannya. Udara terasa dingin, membuat Rain memeluk tubuhnya dengan erat. Tangis Rain semakin menambah suramnya kontrakan itu.
Di belakang Rain, sosok Ghio menatap punggung Rain.
"Mama," katanya hampir tak terdengar.
Rain menghentikan tangisnya. Ia merasa punggungnya membeku, seakan di tumpuk dengan es batu besar.
"Mama." Lagi, sosok itu bicara.
Rain mendengarnya. Keringat dingin langsung membanjiri tubuhnya.
Dengan gerakan perlahan kepalanya berputar kebelakang. Hingga mata Rain melebar. Sosok itu berdiri tegap di belakangnya.
Rain membeku. Matanya melebar. Ia tidak mampu bahkan untuk bersuara sekali pun. Ponselnya terjatuh begitu saja karena tubuhnya melemas.
Sosok itu menatap Rain. Beberapa detik terus seperti itu, hingga sosok itu mengalihkan tatapannya kepada ponsel Rain yang tergeletak di lantai.
Sosok itu bergerak. Ia berjalan mendekat ke arah Rain. Ia menembus sofa dan berhenti tepat di samping Rain.
Kepala Rain ikut bergerak mengikuti pergerakan sosok itu.
Sosok itu berjongkok lalu mengerahkan tangannya ke ponsel itu.
Mata Rain mengikuti pergerakan tangannya. Sosok itu terlihat berusaha menyentuh ponsel Rain, namun tak pernah berhasil. Selalu saja tembus.
Sosok itu kemudian menatap Rain. Ditatap seperti itu, Rain kembali membeku di tempatnya. Jantungnya berdetak cepat.
Rain menatap sosok itu tanpa berkedip. Semua pergerakannya tidak lepas dari pandangan Rain.
"Hah..." Sosok itu mendesah sambil menunduk, menatap ponsel Rain.
Kenapa ia terus menatap ponsel itu? Apa ada sesuatu disana? Tiba-tiba saja otak Rain bekerja mencerna apa yang dilihatnya. Seolah menuruti otaknya, tangan Rain bergerak dengan kaku mencoba meraih ponselnya.
Sosok itu langsung menatapnya.
Rain tersentak. Lantas ia kembali membatu dengan tangan yang masih menjulur.
Sosok itu menatap Rain sebentar, lalu tangan Rain, dan terakhir ponsel itu.
Saat sosok itu menatap ponsel Rain, dengan cepat Rain merampas ponselnya dan membawanya dalam pelukannya. Rain langsung bergeser ke samping, menjauh sedikit dari sosok itu. Tubuhnya tak lagi kaku, tapi keringatnya masih meluncur satu-persatu.
Sosok itu terus menatap ponsel Rain. Tatapannya seolah berharap dan meminta. Hal itu membuat Rain perlahan menurunkan ponsel dari pelukannya.
Rain menatap ponsel yang menunjukkan foto mamanya. Lalu ia menatap sosok Ghio yang masih jongkok di sampingnya.
Rain mulai mengangkat ponsel itu dan mengarahkannya kepada sosok Ghio dengan tangan gemetar.
Sosok Ghio langsung menjulurkan tangannya. Dapat Rain lihat binar di dalam bola mata yang hitam legam itu.
Sesaat mata hitam itu melihat Rain. Reflek saja Rain menarik kembali tangannya.
Sosok itu lalu menatapnya. Tatapannya seolah kecewa.
Rain mengerjap. Ia kembali menatap ponselnya, lalu menjulurkannya kepada Ghio.
Ghio diam sejenak. Lalu tangannya mulai terangkat. Disentuhnya ponsel Rain dengan satu jari. Hal itu membuat bola matanya sedikit melebar.
Begitu juga dengan Rain. Ia terkejut melihat jari Ghio tidak menembus ponselnya.
Sekali lagi, Kali ini Ghio mengetuk ponsel Rain dengan satu jari. Matanya semakin melebar. Ia bisa menyentuh ponsel itu. Bahkan terdengar suara ketukan ketika ia mengetuk ponsel itu. Hal itu membuat bibir Ghio terangkat sedikit ke atas.
Rain terpana ketika sosok itu tersenyum. Senyumnya membuat Rain terdiam dengan mulut terbuka dan mata melebar.
Sosok itu kemudian menatap Rain. Ditatap seperti itu membuat Rain kicep seketika.
Ghio menatap ponsel Rain. "Mati," katanya.
Rain tersadar. Ia menatap ponselnya juga. Apa maksudnya? Apa yang mati? Rain memasang raut wajah bertanya.
Sosok Ghio kemudian menunjuk ponsel Rain. "Mati," katanya lagi.
Rain akhirnya paham. Astaga, kenapa juga dia bicara sesingkat itu?
Rain meletakkan jempolnya di sisi kanan ponsel. Ponsel itu langsung terbuka dengan sidik jarinya.
Tangan Rain mulai pegal. Sosok Ghio tidak mengambil ponsel itu sama sekali. Dia hanya menatap foto dalam ponsel itu.
Ada apa dengan foto itu?
Rain bangkit dari posisinya. Ia beralih berjongkok sama seperti Ghio. Mereka berdua saling berhadapan. Entah kemana hilangnya rasa takut Rain. Tapi, jantungnya terus berdetak cepat.
Rain menyodorkan ponselnya semakin dekat.
"Kenapa?" tanya Rain tanpa sadar. Setelah sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan, Rain langsung membeku. Astaga! Ia mengajak hantu berbicara.
Sosok itu diam sebentar. Ia melihat Rain, lalu kembali menatap foto dalam ponsel itu. Ia menunjuk foto mama Rain dengan jarinya.
"Aku pernah melihatnya," kata Ghio.
Rain tersentak. Bukan karena Ghio, tapi apa yang diucapkan sosok itu.
"Mama," kata Ghio dengan mata layu dan sendu.
"Ini... mama Rain," kata Rain pelan dan lambat. Ia menunjuk foto itu kemudian menunjuk dirinya.
Sosok Ghio mengangguk. "Aku pernah melihatnya. Mama Rain." Ia menunjuk foto itu lalu menunjuk Rain.