NovelToon NovelToon
KARMA Sang Pemain Cinta

KARMA Sang Pemain Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Dikelilingi wanita cantik / Pernikahan Kilat / Pelakor jahat / Balas dendam pengganti
Popularitas:26.9k
Nilai: 5
Nama Author: Lintang Lia Taufik

Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.

Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.

"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.

"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."

Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29. Mendendam

Pagi itu, udara terasa berat dan dipenuhi aroma kesedihan.

Wangi bunga melati bercampur dengan irisan daun pandan dan kayu cendana yang terbakar halus di sudut ruang tamu rumah Naura.

Segala hal tentang hari itu membawa keheningan yang menusuk. Sedih.

Pelayat datang dan pergi, menyampaikan belasungkawa, meninggalkan Naura dan ibunya dalam gelombang kesedihan yang sulit dilukiskan.

Naura duduk diam di sudut ruangan, mengenakan kebaya hitam sederhana yang kini penuh lipatan akibat genggamannya yang erat.

Matanya sembab, tapi air matanya telah kering. Ia terlalu lelah untuk menangis lagi.

Dalam hatinya, ia hanya merasa kosong.

Raka berdiri tak jauh darinya, mengamati dengan sorot mata penuh simpati.

Sejak pagi, ia tak sekalipun meninggalkan sisi Naura. Ia memastikan bahwa semua urusan pemakaman berjalan lancar.

Tanpa diminta, ia membantu menyiapkan bunga, menyediakan kursi bagi pelayat, bahkan mempersiapkan mobil jenazah untuk perjalanan ke pemakaman.

"Naura, kamu sudah makan? Aku bisa ambilkan sesuatu kalau kamu mau," tanya Raka dengan suara lembut, mencoba memecah keheningan.

Naura menggeleng pelan, tak berniat membuka mulutnya untuk sekadar berbicara, apalagi makan.

Ia hanya menatap lurus ke depan, ke arah keranda yang diselimuti kain hijau.

"Kalau begitu, nanti setelah ini aku temani kamu ke pemakaman, ya," tambah Raka, menyadari bahwa Naura butuh dukungan, meski ia tak memintanya.

"Terimakasih, Mas. Maaf ya, merepotkan," sahut Naura merasa sungkan.

"Santai, apa gunanya teman? Akan kulakukan semampuku, menemani kamu dan ibumu," ungkap Raka.

Keduanya saling menatap meski hanya sepersekian detik lamanya. Tatapan pebuh haru yang entah apa artinya.

Saat akhirnya prosesi pemakaman dimulai, Naura berjalan pelan di belakang keranda, diapit oleh ibunya yang terisak sepanjang jalan.

Wangi bunga melati dan pandan terus mengiringi langkah mereka, menambah aura kesedihan yang menyelimuti hari itu.

Di pemakaman, Naura berdiri mematung di dekat makam Ayahnya yang baru saja ditimbun.

Air mata yang tadi enggan keluar, kini mengalir tanpa henti.

Ia menggenggam erat tangan ibunya yang gemetar, mencoba memberikan kekuatan, meski ia sendiri hampir tak memiliki energi lagi.

"Maafkan Naura, Yah... Maafkan aku," bisiknya dengan suara parau, seakan berharap Ayahnya bisa mendengar dari dunia lain.

Raka berdiri tak jauh dari mereka, memastikan bahwa Naura dan ibunya tetap merasa didampingi.

Setelah semua pelayat pergi, hanya mereka bertiga yang tersisa di pemakaman.

Raka mendekati Naura perlahan, menawarkan bahunya jika gadis itu ingin bersandar.

"Naura, kita harus pulang. Kamu dan ibu butuh istirahat," katanya lembut.

Naura mengangguk tanpa suara.

Namun, saat mereka berjalan kembali, Naura tiba-tiba berhenti.

Ia menatap Raka dengan mata yang penuh luka, tapi juga dengan ekspresi amarah yang tak bisa disembunyikan.

"Mas Raka ... Aku nggak bisa begini terus. Aku nggak bisa cuma diam," ucapnya dengan suara gemetar.

"Apa maksudmu, Naura?" Raka mengerutkan kening.

Naura meraih ponselnya dari tas kecil yang digantung di bahunya.

Ia membuka pesan terbaru yang baru saja masuk beberapa jam lalu.

Pesan itu dari Bimo. Dengan tangan bergetar, ia menunjukkan layar ponselnya kepada Raka.

Pesannya singkat, tapi menyayat hati.

“Aku tahu ini sulit untukmu, Naura. Tapi aku harap kamu bisa menerima semuanya. Aku benar-benar minta maaf. Kenapa tidak menjawab pesanku sebelumnya? Aku hanya ingin bicara sebentar. Itu sebabnya aku memaksa bertemu. Jangan lupa jaga kesehatanmu.”

Raka membaca pesan itu, lalu mendongak menatap Naura.

Rahangnya mengeras, dan matanya menunjukkan amarah yang tak bisa ditutupi.

"Dia berani mengirim pesan seperti ini? Di hari kematian Ayahmu?" tanya Raka menginterogasi.

Naura hanya mengangguk pelan, air mata kembali menggenangi matanya.

"Mas Raka ... Aku nggak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi aku ... aku nggak bisa lagi menahan ini semua. Rasanya ... aku ingin menghancurkan semua yang dia punya, semua yang dia cintai."

Raka mendekat, menggenggam bahu Naura dengan lembut tapi tegas.

"Naura, aku ngerti kamu sakit hati. Tapi dengar, jangan biarkan dendammu menghancurkan kamu. Kalau kamu terus memikirkannya, kamu yang akan kalah."

"Aku nggak peduli, Mas. Aku sudah nggak punya perasaan apa-apa lagi ke dia. Yang tersisa sekarang cuma dendam. Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya dihancurkan. Aku ingin dia merasakan sakit ini, bahkan lebih." Naura menggeleng keras.

"Dengar, Naura. Aku nggak akan biarkan kamu bertemu dia lagi. Jangan temui dia lagi. Kalau kamu lakukan itu, aku jamin kamu akan lebih sakit dari ini. Dia nggak pantas untuk kamu, Naura." Raka menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya sendiri.

"Aku nggak akan temui dia, Mas. Tapi aku juga nggak bisa diam. Aku harus lakukan sesuatu. Bimo harus tahu dia salah telah menghancurkan hidupku dan keluargaku."

Naura menatap Raka dengan mata berembun yang kemudian mengalir deras dari pelupuk matanya yang sembab.

Raka tak langsung menjawab.

Ia tahu bahwa Naura sedang berada di titik terendahnya, dan tidak ada kata-kata yang bisa langsung mengubah perasaan itu.

Tapi satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan membiarkan Naura jatuh lebih dalam lagi.

"Dia tahu jika Ayahmu meninggal?" tanya Raka, lagi.

Entah apa yang ia pikirkan. Mengapa Bimo bisa menghubungi Naura lagi? Padahal jelas-jelas jika pria itu memilih menikahi wanita lainnya.

"Aku tidak membalas pesannya. Satupun tidak. Jadi aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu dia sedang berusaha berusaha bersimpati dan menutupi kekurangannya, aku tidak mau."

Mendengar penuturan Naura. Raka hanya membalas dengan anggukan kepala. Baginya, sikap Naura sudah tepat.

****

Malam itu, ketika Naura akhirnya memilih menemani ibunya hingga hari ke tujuh kematian ayahnya, ia mengurung diri di kamar.

Ia memandangi layar ponselnya yang gelap, berharap pesan dari Bimo tidak pernah datang.

Namun, setiap kali ia mencoba melupakan, bayangan wajah pria itu kembali menghantuinya.

Sementara itu, di luar kamar, Raka duduk di sofa kecil di ruang tamu.

Ia menggenggam ponselnya, memikirkan langkah apa yang bisa ia ambil untuk melindungi Naura.

Pria itu diizinkan menginap di kamar tamu oleh ibu Naura. Tapi, beberapa saat kemudian Naura kembali menemui karena Raka masih duduk termangu di ruang tamu .

"Mas, maaf tidak ada niat untuk mengusir. Mungkin, sebaik besok Mas Raka kembali saja. Bagaimana dengan pekerjaannya kalau harus berdiam di sini?" Naura terlihat sungkan saat berbicara.

"Tenang, pemilik perusahaannya teman Mas sendiri. Bisa diatur. Lagi pula cuma 3 hari membantu kalian di sini tidak akan membuatku dipecat," katanya sambil terkekeh mencoba menghibur Naura.

Ia berniat mencari tahu bagaimana kondisi ibu Naura yang sejak tadi hanya menyendiri dan terus menangis di ruang keluarga.

Raka, bahkan sempat melihat jika ibu Naura terus memeluk foto mendiang ayah Naura. Semua itu, membuat Raka iba dan ingin sedikit menenangkan.

Namun, sebelum ia sempat memutuskan, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Raka tersentak.

“Aku tahu kamu dekat dengan Naura. Jangan campuri urusanku lagi, Raka. Ini peringatan terakhir.”

Raka mengepalkan tangan, matanya merah padam menggambarkan jika ia penuh amarah.

"Siapa, Mas?" tanya Naura setengah menyelidik setelah mendengar suara berasal dari ponsel Raka.

"Bukan siapa-siapa," sahut Raka lalu menghela napas berat.

(Bersambung...)

1
Nina_Melo
lagi, yang banyak
Nina_Melo
update yang banyak dong
Adinda
aku suka pria yang kejam dan tegas,semangat raka.
Lintang Lia Taufik: Terimakasih sudah mampir
total 1 replies
Teddy
semangat bikin bab barunya
Lintang Lia Taufik: Makasih ya
Samantha: Hmmm Tedy
total 2 replies
Nina_Melo
suka /Drool/
Adinda
jangan mau kembali sama bimo naura, kamu berhak bahagia bersama pria lain.
Lintang Lia Taufik: Wah terimakasih sudah mampir.
total 1 replies
Antonio Johnson
lanjut
Antonio Johnson
like
Samantha
up
Samantha
suka
Teddy
like
Nina_Melo
Gas,
Lintang Lia Taufik: Makasih ya Nina
total 1 replies
Teddy
kasian
Nina_Melo
lanjut, gak sabar tunggu perbucinan
Nina_Melo
lanjut
Samantha
up
Teddy
selalu ada sih drama terselubung. Di manapun itu
Nina_Melo
Makin serem ya
Antonio Johnson
weh, tegang bacanya
Nina_Melo
sadis
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!