Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
Bermaksud menolong seorang pria dari sebuah penjebakan, Hanna justru menjadi korban pelampiasan hingga membuahkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Fitnah dan ancaman dari ibu dan kakak tirinya membuat Hanna memutuskan untuk pergi tanpa mengungkap keadaan dirinya yang tengah berbadan dua dan menyembunyikan fakta tentang anak kembarnya.
"Kenapa kau sembunyikan mereka dariku selama ini?" ~ Evan
"Kau tidak akan menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, karena itulah aku menyembunyikan mereka." ~ Hanna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3
Sang mentari telah meninggi ketika Evan terbangun dari tidurnya. Sisa mabuk semalam meninggalkan rasa sakit di kepala. Sebenarnya ia bukanlah seorang peminum. Sebagai calon dokter, Evan menjalani pola hidup sehat. Entah setan apa yang merasukinya hingga semalam lepas kendali dan mabuk-mabukan.
Tunggu! Dimana ini?
Evan baru sadar tidak sedang berada di kamar pribadinya. Setelah meneliti ruangan itu, ia baru sadar tengah berada di sebuah penginapan. Sepasang bola matanya pun melebar karena terkejut, saat mendapati tubuhnya hanya terbalut selimut. Sedangkan seluruh pakaian teronggok di lantai. Hanya ponsel miliknya yang berada di atas meja.
“Apa yang terjadi?”
Jantungnya berdetak lebih cepat. Menebak dalam benaknya sendiri, tentang apa yang sudah dilakukannya semalam dan bersama siapa, karena kini ia hanya seorang diri di kamar itu.
Menyibak selimut, mata Evan terbelalak ketika menemukan bercak darah di permukaan seprai. Irama jantungnya semakin kencang. Tangannya gemetar mengusap cairan merah yang telah mengering itu.
Mungkinkah ia baru saja merenggut keperawanan seorang gadis? Kalau begitu, siapa? Pertanyaan itu terus muncul di benaknya.
“Ini tidak mungkin!” teriaknya seraya memaki diri dalam hati. Mencoba mengingat lagi kejadian semalam.
Bayang-bayang seorang gadis pun muncul dalam ingatannya, tetapi samar. Ia tidak dapat mengingat dengan jelas.
Evan menjambak rambutnya dengan kedua tangan demi melepaskan rasa frustrasi yang membelenggunya. Jika keluarga besar Azkara tahu, ia mungkin akan dihukum berat. Apalagi oleh dua kakak laki-lakinya.
***
Setelah membersihkan tubuhnya, Evan keluar dari kamar. Menuju meja resepsionis untuk bertanya. Tampak seorang wanita muda menyambutnya dengan senyuman.
"Selamat siang, Tuan! Ada yang bisa saya bantu?"
“Semalam aku menginap di kamar 3382B. Boleh aku tahu, siapa yang membawaku kemari?” tanya Evan kepada sang resepsionis.
“Saya tidak tahu, Tuan. Mungkin yang bertugas semalam tahu. Tapi sebentar ... saya akan periksa dulu.” Wanita itu kemudian memeriksa daftar pengunjung melalui sebuah layar komputer. “Kamar 3382 reservasi atas nama Ervan Maliq Azkara.”
Sial! Orang itu menggunakan tanda pengenalku untuk memesan kamar.
“Semalam aku mabuk. Aku tidak tahu siapa yang membawaku kemari. Boleh aku lihat rekaman CCTV semalam?”
“Maaf, Tuan ... Kamera CCTV-nya sedang mengalami kerusakan sejak dua hari belakangan.”
Evan menghembuskan napas kasar. Tangannya terkepal menahan rasa marah. Ia semakin frustrasi. “Penginapan macam apa ini? Kamera CCTV saja rusak, lalu bagaimana kalian mengatasi kalau ada bahaya?"
"Maaf, Tuan." Hanya itu yang dapat dikatakan sang resepsionis.
Evan keluar dari penginapan sederhana itu setelah tak menemukan petunjuk apapun tentang gadis yang bersamanya semalam. Ia juga menuju klub malam tempatnya minum. Namun, tak juga menemukan petunjuk apapun, karena hal yang sama kembali terjadi. Rekaman CCTV klub malam tak berfungsi.
Laki-laki itu duduk di dalam mobil miliknya yang masih berada di parkiran kelab malam.
"Ada apa ini? Apa aku sedang dijebak?" gumamnya menyandarkan punggung.
Ia baru saja akan menyalakan mesin mobil ketika ponsel berdering tanda panggilan masuk. Tertera nama Rafli, seorang sahabatnya. Evan pun segera menggeser simbol hijau di layar ponsel.
"Ada apa?" tanyanya ketus.
"Aku baru tiba di Istanbul Central Bus Station. Bisakah kau menjemputku?"
"Baiklah, kebetulan aku membutuhkan bantuanmu."
Panggilan terputus, Evan segera melajukan mobil menuju sebuah stasiun yang tadi disebutkan sahabatnya.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit, Evan telah tiba di stasiun. Siang itu cukup dipadati oleh lautan manusia. Sehingga Evan tampak kesulitan mencari sosok Rafli.
"Kemana keong sialan itu?" gerutunya seraya menoleh ke kanan dan kiri. Kakinya melangkah tanpa arah. Hingga ....
Bruk!
Evan mundur beberapa langkah ketika tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Terlihat seorang gadis berambut cokelat tengah memunguti barang bawaannya yang terjatuh.
"Maaf, aku tidak sengaja!" Suara itu membuyarkan konsentrasi Evan. Ia seketika menoleh pada pemilik suara yang terasa tidak asing itu.
"Kau?" gumamnya dengan alis berkerut.
Hanna berdiri dari posisi berjongkoknya dan memasukkan beberapa benda ke dalam tas. Ia pun tampak terkejut bertemu Evan di tempat itu.
Ia mundur beberapa langkah. "Ma-maaf, aku tidak sengaja menabrakmu," ujarnya menunduk dengan wajah memucat.
Evan hanya menganggukkan kepala tanpa ekspresi di wajahnya.
"Maaf, aku harus pergi." Hanna melangkah pergi. Sementara Evan mematung, menatap punggung Hanna yang semakin menjauh.
"Hey ..." Tepukan mendarat di bahu yang akhirnya membuyarkan lamunannya. Rafli berdiri di sisinya.
"Dari mana saja kau? Sejak tadi aku mencarimu."
"Justru aku yang mencarimu. Aku pikir kau tersesat." Rafli menatap heran Evan yang sejak tadi terus menatap ke satu arah. Lalu melirik seorang gadis berambut panjang yang berjalan dengan cepat membelakangi mereka. "Siapa gadis yang kau lihat?"
"Hanna Cabrera," jawabnya tanpa menoleh. Tatapannya lurus terarah pada Hanna yang kemudian menghilang di antara puluhan manusia.
"Oh ... Gadis yang kau sebut sebagai gadis murahan karena bekerja di klub malam itu ya?"
"Iya. Memang Hanna Cabrera ada berapa?"
"Kadang hati dan bibir memang tidak sinkron, ya... Bibir berkata benci tapi hati memuja. Iya kan?" sindir Rafli tertawa kecil.
Evan menatap kesal kepada Rafli. Membuat tawa sahabatnya itu terhenti. "Jangan sok tahu! Ayo pergi, ada yang perlu aku bicarakan denganmu!"
Evan beranjak, namun sesekali menatap ke belakang demi mencari sosok gadis tadi. Namun, tak nampak sosok Hanna di antara ratusan manusia yang memadati stasiun.
"Sudah, katanya tidak suka, kenapa masih dicari?"
"Diam kau, Keong!"
****
Setibanya di rumah, Evan menceritakan kepada Rafli tentang apa yang dialaminya semalam--yang mabuk-mabukan hingga tanpa sadar menghabiskan malam dengan seorang gadis asing.
Rafli sangat terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu. Sebab selama bersama Evan, ia sama sekali tak pernah mendapatinya mabuk, apalagi tidur dengan seorang gadis.
"Kau sudah gila, Evan! Bagaimana kau bisa mabuk-mabukan?"
"Berhentilah menanyakan itu. Yang harus kau lakukan adalah membantuku menemukan gadis yang bersamaku semalam." Ia menghela napas kasar. Kepingan rasa sesal pun merasuk ke hati.
Sejatinya Evan tidak suka minum minuman beralkohol, tetapi melihat gadis yang disukainya berada di antara banyak pria di klub malam membuatnya tak tahan dan memilih melampiaskannya pada minuman hingga mabuk.
Entah mengapa hatinya bisa bertaut pada seorang gadis yang sebenarnya ia benci.
****