Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Tuan Leon, kenapa Anda menolak lamaran kami? Kita bisa mendapatkan keuntungan besar jika kedua anak kita berjodoh," bujuk pria paruh baya itu dengan senyum penuh maksud.
Leon menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapan dinginnya menembus pria itu. "Mereka manusia, bukan barang yang bisa kau pamerkan atau barter. Lagipula, kerja sama bisnis bisa berjalan tanpa perlu embel-embel perjodohan, bukan?"
Pria itu terkekeh kecil, mencoba menutupi ketidaknyamanannya. "Ah, Tuan Leon. Tapi mereka hanya anak angkat Anda. Bukankah mereka seharusnya balas budi dengan menerima perjodohan ini?"
Leon menghela napas panjang, lalu mengusap pelipisnya sejenak sebelum menatap pria itu dengan tajam. "Aku selalu mengutamakan pendapat kedua putriku, apakah mereka anak kandung atau tidak. Mereka adalah individu dengan pikiran dan hati, bukan pion dalam permainan bisnis siapa pun, termasuk aku."
Pria itu tampak sedikit terkejut, tapi tetap mempertahankan senyum sopannya. "Begitu, ya? Tapi kabar di luar sana bilang Anda terlalu memanjakan mereka. Bukankah seharusnya mereka tahu diri?"
Leon tersenyum tipis, ada nada sarkastis dalam suaranya saat ia menjawab, "Memanjakan? Barangkali. Tapi aku tidak peduli. Mereka bebas memilih jalan mereka sendiri, meski aku tahu pilihan mereka kadang menyebalkan. Jika seseorang berpikir mereka bisa memaksa putriku dengan cara apa pun, aku akan menyerah—tapi hanya setelah aku memastikan orang itu tidak bisa melakukannya lagi. Pernahkah kau mendengar tentang nasib buruk yang menimpa orang yang berani melangkahi garis?"
Pria itu terdiam, suasana ruangan mendadak mencekam oleh nada Leon yang santai namun penuh ancaman tersirat.
Leon melanjutkan dengan nada lebih ringan, seolah percakapan itu tak lebih dari basa-basi. "Ah, jangan khawatir. Selama kau tidak mengusik dua anak nakal itu, kita akan baik-baik saja."
Pria itu tertawa kecil, mencoba mengembalikan suasana, tapi jelas terlihat ada keringat di pelipisnya. "Tentu, Tuan Leon. Kita tidak perlu memperpanjang masalah ini."
Leon hanya mengangguk dingin, menyesap kopinya sambil melemparkan tatapan terakhir yang membuat pria itu cepat-cepat berpamitan. Setelah pintu tertutup, Leon menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya.
"Kalau dia masih mencoba hal bodoh lagi, mungkin aku akan biarkan Reina dan Althea yang menangani. Mereka butuh hiburan, kan?" gumam Leon sambil tersenyum tipis, sebelum kembali sibuk dengan ponselnya.
✨
Reina mengulurkan tangannya dengan anggun, seiring dengan munculnya segerombolan kupu-kupu merah darah yang berkerumun di sekeliling jemarinya. Seekor kupu-kupu hinggap di jarinya, memberikan informasi yang dia butuhkan melalui kilatan samar yang hanya dapat dia pahami.
"Ah~ Jadi dia sedang melakukan korupsi, ya? Bagus sekali," gumam Reina dengan senyum kecil penuh arti. Jemarinya mengusap lembut sayap kupu-kupu itu. "Kalian bekerja dengan baik. Aku akan memberikan kalian makanan enak setelah ini. Sekarang, pergilah."
Kupu-kupu itu beterbangan menjauh, menyatu dengan bayangan malam di luar jendela. Reina meraih ponselnya di atas meja, menekan tombol cepat untuk menghubungi Leon.
"Ayah, kau di mana?" tanyanya tanpa basa-basi. Suaranya terdengar ceria, namun dengan nada yang menyiratkan urusan serius. "Aku punya informasi penting. Seseorang sedang mencoba menggelapkan uang perusahaan kita. Apa kita harus menyingkirkannya?"
Hening sejenak. Suara Leon terdengar samar di seberang.
"..."
Reina mengangguk meski tahu ayahnya tidak bisa melihatnya. "Baiklah, Ayah~ Serahkan saja padaku." Dia menutup sambungan telepon dengan senyum puas di wajahnya.
Tatapannya beralih ke jendela kamar, di mana pemandangan malam yang dihiasi lampu kota tampak begitu indah. Reina mengetik cepat di ponselnya, lalu menghubungi seseorang.
"Selamat malam, Tuan Verio," ucapnya dengan nada dingin namun profesional. "Aku punya misi untukmu. Semua detailnya sudah aku kirimkan melalui email. Pastikan selesai tanpa gangguan."
Setelah itu, dia menutup panggilan dan berdiri, membiarkan gaun malamnya yang berwarna merah gelap melambai saat ia berjalan keluar dari kamarnya. Langkahnya ringan tapi pasti, seperti seorang ratu yang siap menggulingkan bidak terakhir di atas papan catur.
Sementara itu, Leon berdiri dengan napas yang sedikit terengah, jas hitamnya berdebu dan kerahnya sedikit berantakan. Di sekelilingnya, beberapa orang tergeletak tak berdaya, sementara sisanya masih berdiri dengan senjata yang diarahkan padanya.
"Sambutan yang meriah," ujarnya dengan seringai tajam. "Apa kalian tidak punya pekerjaan lain? Atau mungkin hidup kalian terlalu membosankan sampai perlu melibatkan diri dalam urusan orang lain?"
Tanpa menunggu jawaban, Leon melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang nyaris mustahil dilihat mata.
'Brukh!'
Satu pukulan telak menghantam rahang salah satu pria, membuatnya roboh dalam sekejap. Leon memanfaatkan kebingungan yang terjadi untuk menyerang yang lainnya dengan gerakan presisi, menghantam titik-titik vital mereka.
Beberapa detik kemudian, sisa-sisa musuh tergeletak pingsan di jalanan gang yang sempit. Leon menegakkan tubuhnya, mengibaskan debu dari jasnya sambil menghela napas panjang.
"Mereka benar-benar tidak ada habisnya," gerutunya, matanya melirik tubuh-tubuh yang terkapar. "Aku tidak habis pikir kenapa mereka begitu terobsesi dengan dua bocah pembuat masalah itu."
Dengan langkah santai namun waspada, Leon meninggalkan gang tersebut, menyusuri lorong malam yang sunyi dengan pikiran yang dipenuhi kejengkelan dan rencana balasan. Di kejauhan, suara langkahnya yang berat bergema, seolah mengumumkan bahwa masalah ini belum berakhir.
✨
"Althea," panggil Reina santai, membuat gadis bersurai cokelat yang tengah merebahkan diri di sofa ruang tamu itu menoleh penasaran.
"Ya, Kak? Ada apa?" Althea bertanya sambil membenahi posisi duduknya, matanya berbinar ingin tahu.
"Aku butuh bantuanmu," ujar Reina, mendekati adik angkatnya dengan sikap serius.
"Dua kali lipat," potong Althea sambil menyeringai nakal. "Aku akan membantumu kalau kau memberiku uang dua kali lipat."
Reina menghela napas panjang, menatap Althea dengan tatapan penuh perhitungan. "Tentu saja, setelah tugasmu selesai."
"Katakan," balas Althea, kini memasang ekspresi serius.
"Dekati dan cari informasi tentang putra CEO cabang perusahaan kita. Aku dengar dia bersekolah di tempat yang sama denganmu."
Althea mengangkat alis, lalu tersenyum percaya diri. "Itu gampang, Kak. Serahkan padaku."
Sebelum percakapan mereka berlanjut, suara mobil terdengar memasuki halaman rumah. Althea, yang selalu penasaran, segera beranjak dari sofa dan mengintip lewat jendela. Dilihatnya Leon turun dari mobilnya dengan wajah lelah, membuat gadis itu bergegas ke dapur untuk membuatkan teh herbal.
Reina masih berdiri di ruang tamu saat Leon masuk dan menjatuhkan dirinya ke sofa dengan helaan napas berat. Althea muncul beberapa detik kemudian dengan membawa nampan berisi teh herbal.
"Ayah, kau kelihatan lelah. Aku boleh pijat?" tanya Reina, duduk di sebelah Leon dengan senyum yang tak sepenuhnya meyakinkan.
"Pijat?" Leon menatap Reina dengan tatapan skeptis. "Kau ingin memijat aku atau melumpuhkan tulang punggungku?"
Reina terkikik santai. "Santai aja, Ayah. Kalau aku melumpuhkan tulang punggungmu, aku kan masih bisa bawa ke rumah sakit. Nggak masalah."
Leon menggelengkan kepala, memasang ekspresi datar penuh ironi. "Oh, luar biasa. Aku yakin nanti kau jadi terapis kriminal nomor satu di kota ini."
Althea menyodorkan secangkir teh herbal ke arah Leon, memotong percakapan sarkastis mereka. "Silakan minum, Ayah. Aku membuatkan teh herbal untukmu."
Leon menerima cangkir itu, menghela napas sejenak sebelum menyesap isinya. "Setidaknya ada satu dari kalian yang masih waras."
"Kau bilang aku tidak waras, Ayah? Itu penghinaan atau pujian terselubung?" canda Reina sambil menyeringai jahil.
Leon hanya menatap Reina sekilas sebelum kembali menikmati tehnya, memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh.
Setelah menyesap tehnya, Leon akhirnya bersandar di sofa dengan lebih nyaman. Althea duduk di seberangnya, memandangi ayah angkatnya dengan perhatian.
"Ayah, apa yang membuatmu terlihat begitu lelah hari ini? Masalah perusahaan lagi?" tanya Althea, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
Leon menaruh cangkir tehnya di meja. "Seperti biasa. Beberapa orang bodoh yang berpikir mereka bisa menipuku. Dan tentu saja, anak-anak ceroboh yang terus mencari masalah." Tatapan Leon beralih pada Reina, yang kini bersandar santai di sofa dengan wajah tak berdosa.
Reina mengangkat bahu sambil tersenyum lebar. "Oh, jadi aku yang kau maksud? Ayah, aku hanya mencoba membuat hidupmu lebih seru."
"Seru? Kalau kau membuat masalah lagi, aku pastikan hidupmu akan jadi 'seru' di tempat rehabilitasi," balas Leon tajam, meski ada nada humor terselip di suaranya.
"Ayah, aku kan anak yang paling patuh. Aku nggak pernah bikin masalah besar kok," ucap Reina dengan wajah sok polos.
Leon hanya memutar matanya, sementara Althea tertawa kecil. "Kak Reina, kau pasti punya definisi 'masalah besar' yang berbeda dari orang normal."
"Jangan lupa, Thea, aku ini spesial," balas Reina sambil menyeringai, lalu melirik Leon. "Ngomong-ngomong soal masalah, Ayah, aku punya informasi penting yang mungkin bisa sedikit membantu melampiaskan frustrasimu."
Leon menatap Reina dengan minat, meski tetap waspada. "Apa itu?"
Reina mengulurkan ponselnya, memperlihatkan data yang baru saja dikirimkan oleh jaringan informannya. "Salah satu manajer perusahaan cabang sedang mencoba menggelapkan dana. Aku sudah menyelidikinya. Kalau Ayah setuju, aku bisa langsung mengurusnya."
Leon mempelajari data itu dengan teliti, ekspresinya berubah serius. "Kau yakin dengan informasi ini?"
"Seperti biasa, aku tidak pernah salah." Reina menyeringai bangga.
Leon menghela napas, lalu menatap Althea. "Kalau begini terus, aku mulai khawatir apa dia akan menjadi pebisnis hebat atau kriminal yang terlalu cerdas."
Althea tertawa. "Kenapa tidak dua-duanya, Ayah? Kak Reina kan unik."
"Unik, ya?" Leon bergumam, menyerahkan ponsel Reina kembali. "Baiklah, urus ini, tapi jangan sampai melibatkan nama keluarga kita. Dan kalau kau membuat masalah terlalu besar, aku akan menyerahkanmu ke polisi, Reina."
Reina terkikik, berdiri dengan semangat. "Tenang saja, Ayah. Aku akan membereskan ini dengan rapi."
Sebelum pergi, Reina menepuk pundak Althea. "Thea, kalau aku ditangkap, kau harus menjengukku, oke? Jangan lupa bawa makanan."
"Aku bawa makanan? Kalau kau ditangkap, aku malah bakal merekam momen itu dan menyebarkannya ke internet!" balas Althea sambil tertawa.
Leon hanya bisa menghela napas panjang lagi, bertanya-tanya bagaimana dia bisa bertahan hidup dengan dua gadis yang tak pernah kehabisan cara untuk membuat hidupnya lebih rumit.