Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7 (Sejanak bebas di pelukan alam)
Pagi itu, meja makan di rumah Sasa terasa sunyi, namun bukan sunyi yang nyaman. Mama dan Papa Sasa sudah duduk di sana, wajah keduanya masih menyiratkan sisa amarah dari malam sebelumnya. Mereka duduk dengan tubuh tegap, namun tampak dingin dan tak berusaha menyapa satu sama lain.
Sasa membuka pintu kamarnya, lalu berjalan perlahan menuruni tangga. Ia tahu suasana yang menyelimuti rumah pagi ini masih penuh ketegangan. Saat Sasa tiba di ruang makan, Mama-nya mencoba berbicara, meski suaranya terdengar tegang.
"Sasa, sarapan dulu. Kita sudah siap di sini," ajaknya dengan nada pelan.
Tanpa berkata-kata, Sasa duduk di meja makan. Setiap gigitan terasa berat, dan tidak ada seorang pun yang berusaha memecah kebekuan yang menggantung di udara. Tatapan masing-masing anggota keluarga hanya terfokus pada piring di depan mereka. Sasa segera menyelesaikan makanannya, lalu bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan pelan.
Setelah beberapa saat, satu per satu dari mereka pergi dengan agenda masing-masing. Papa Sasa keluar rumah tanpa menoleh atau berbicara dengan siapapun. Mama Sasa kemudian beranjak, dan dari balik pintu kamar, Sasa mendengar ibunya berpamitan singkat.
"Sasa, Mama pergi dulu, ya," ucapnya dari luar kamar.
Sasa hanya mengiyakan tanpa membuka pintu atau mengucapkan kata lebih. Saat pintu depan tertutup, rumah akhirnya menjadi sunyi sepenuhnya.
Di dalam kamarnya, Sasa merasa lega. Ia segera mengambil ponselnya dan menelpon Algar. “Al, lo bisa jemput gue sekarang? Gue pengen keluar dari sini sebentar.”
Algar, yang sudah akrab dengan situasi Sasa, mengiyakan tanpa banyak bertanya. “Oke, gue otw ke sana, Sa.”
Beberapa saat kemudian, Algar sampai di depan rumah Sasa. Sasa keluar dan tersenyum tipis saat melihatnya. Mereka berbicara sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat rahasia mereka—rumah pohon di tepi kota, tempat yang selalu menjadi pelarian mereka saat ingin merasakan kebebasan.
Sesampainya di rumah pohon, suasana hati Sasa mulai membaik. Matahari memancarkan sinar hangat di antara dedaunan, dan suara angin berdesir lembut seakan menghapus semua perasaan resah dalam hatinya. Algar, yang selalu tahu cara membuat Sasa tersenyum, mengambil sebuah alat gelembung yang kebetulan ia bawa dan meniupkan gelembung-gelembung sabun ke udara.
Sasa tertawa, melupakan semua beban untuk sesaat, sambil mencoba menangkap gelembung-gelembung itu. Ia tertawa lepas, dan Algar ikut tertawa bersamanya. Setiap tawa dan senyuman mereka seolah menghapus sejenak kenangan buruk dari pagi yang suram.
Di rumah pohon itu, mereka menciptakan momen-momen kecil yang indah. Mereka tertawa, bercanda, dan berbicara tentang hal-hal sederhana—tanpa ada tekanan atau pertengkaran. Bagi Sasa, momen ini adalah pengingat bahwa ada kehangatan di luar sana, meski di rumahnya penuh ketegangan.
Di tengah tawa bahagia mereka, Algar tiba-tiba menunjuk sebuah perahu kayu yang ditambatkan di tepi danau. Tanpa pikir panjang, mereka memutuskan untuk menaikinya. Algar membantu Sasa naik dengan hati-hati, memastikan ia nyaman di bangku kecil perahu tersebut. Dengan dayung di tangannya, Algar mulai mengayuh, membawa perahu mereka meluncur perlahan ke tengah danau yang tenang.
Air danau itu begitu jernih, memantulkan bayangan langit biru dan pepohonan di sekelilingnya. Suara air yang menyentuh perahu terdengar lembut, seperti bisikan yang membawa ketenangan. Sesekali terdengar burung-burung bernyanyi di kejauhan, menambah damai suasana. Sasa duduk dengan tenang, memandang jauh ke permukaan danau, merasakan ketenangan yang perlahan-lahan mengikis kesedihannya.
"Al, gue beneran capek," kata Sasa pelan, akhirnya membuka suara.
Algar menatapnya penuh perhatian, menghentikan dayungnya sejenak agar mereka benar-benar bisa menikmati kedamaian di tengah danau. "Capek kenapa, Sa?" tanyanya lembut, memancing Sasa untuk bercerita, walau ia sebenarnya tau bahwa yang akan di cerita ada hal yang sama tapi algar mencoba untuk cerita kali ini.
Sasa menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Rasanya, gue nggak punya ruang untuk jadi diri sendiri di rumah. Papa terus-terusan maksa aku buat jadi dokter, tapi gue nggak pernah merasa itu jalan yang gue mau.”
Algar mengangguk, menatap Sasa dengan simpati. “Dan lo nggak pernah punya kesempatan buat ngomong ke Papa soal ini?”
Sasa tersenyum miris. “Udah. Berkali-kali. Tapi setiap kali aku bilang, Papa cuma bilang aku belum dewasa, belum ngerti masa depan. Padahal, aku cuma pengen punya masa depan yang aku pilih sendiri.”
Angin berembus pelan, membuat permukaan air danau beriak lembut di sekitar perahu. Suara riak air menjadi irama yang menenangkan, seolah ikut mendengarkan curahan hati Sasa.
“gue tahu kamu capek, Sa. Mungkin berat rasanya ketika nggak ada satu orang pun di rumah yang ngerti apa yang lo rasakan.” Algar meletakkan dayungnya dan menatap Sasa. “Tapi, gue di sini buat kamu. Setiap kali Lo butuh, aku akan ada.”
Sasa menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku selalu ngerasa bersalah karena nggak bisa memenuhi harapan Papa. Tapi di satu sisi, aku juga nggak mau mengorbankan apa yang aku inginkan.”
Algar menggenggam tangannya, memberinya kehangatan. “Sa, lo berhak untuk bahagia dengan pilihanmu sendiri. Harapan orang tua itu penting, tapi kebahagiaan lo juga nggak kalah penting.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati suara tenang danau yang hanya diiringi gemericik air dan semilir angin. Burung-burung berterbangan rendah, sementara perahu kecil mereka melayang di tengah danau yang seakan-akan mengerti betapa berat beban hati Sasa.
“gue cuma takut, Al… takut kalau nanti gue buat Papa kecewa lebih besar lagi,” lanjut Sasa, suaranya hampir berbisik.
Algar tersenyum, menepuk pundaknya pelan. “Tapi Lo juga berhak memilih kebahagiaanmu, Sa. Kalau pun butuh waktu buat Papa ngerti, setidaknya lo bisa bilang lo berusaha jujur dengan dirimu sendiri.”
Mereka duduk di sana dalam keheningan yang nyaman, di atas danau yang tenang, membiarkan air membawa perahu mereka pelan-pelan. Di tempat ini, Sasa merasa aman, merasa bebas, merasa seperti dirinya sendiri. Di hadapan Algar, ia tidak perlu menyembunyikan ketakutannya atau berpura-pura kuat.
Sore semakin larut, tapi dalam dekapan keheningan dan kejujuran di atas perahu kecil itu, Sasa merasa semua rasa sakit dan kesedihan yang menumpuk perlahan memudar. Di danau yang tenang, ia melepaskan sebagian dari beban yang selama ini ia simpan sendiri.
Tq All, jangan lupa dukung.
LIKE
KOMENT
VOTE
HADIAH
FAVORIT
#Typo bertebaran
...
..
.
.
.