Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Hari-hari setelah Delisa dan Azka mengakui perasaan mereka, terasa seperti mimpi bagi Delisa. Ia dan Azka tidak perlu lagi berpura-pura, mereka kini resmi sebagai pasangan yang nyata. Namun, kebahagiaan Delisa seolah diuji ketika Dina, si gadis baru, semakin sering muncul di antara mereka. Dina seolah tidak peduli bahwa Azka kini sudah memiliki Delisa sebagai pacarnya, bahkan dia terus menggoda Azka di mana pun dan kapan pun.
Suatu pagi di kantin, Delisa sedang duduk bersama Caca sambil menikmati makanan ringan. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok Dina yang tengah berjalan menuju meja Azka. Dina mengenakan pakaian yang lebih modis dari biasanya, dengan rambut yang digerai cantik dan senyuman manis yang sengaja ia lemparkan pada Azka. Delisa bisa melihat dengan jelas bagaimana Dina dengan sengaja mencondongkan tubuhnya, mendekati wajahnya pada Azka sambil berbicara dengan nada lembut.
“Kenapa sih dia terus deketin Azka?” gumam Delisa kesal.
Caca yang duduk sambil menghela napas panjang. “Hmm kayaknya Dina gak peduli, Lis. Mungkin dia tidak percaya sama kalian. Apa mungkin dia pikir lo dan Azka masih pura-pura pacaran?”
Delisa kesal. “Tapi sekarang kan kita udah beneran pacaran. Masa dia gak paham?”
Caca tersenyum simpul. “Mungkin dia ngerti, tapi pura-pura gak paham biar punya alasan buat deketin Azka.”
Rasa kesal Delisa semakin menjadi saat ia melihat Dina dengan sengaja menyentuh lengan Azka sambil tertawa kecil. Azka, yang sepertinya bingung harus bereaksi seperti apa, hanya tertawa canggung. Delisa tidak tahan lagi; ia bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan Caca yang masih tercengang.
“Lo mau kemana, Lis?” tanya Caca, tapi Delisa tidak menjawab. Ia langsung berjalan cepat menuju meja Azka dan Dina.
“Aku mengganggumu?” Delisa berkata dengan nada yang sedikit ketus sambil menatap Dina dengan tajam.
Dina yang terkejut hanya tersenyum kecil. “Oh, hai, Delisa! Gak kok, aku cuma ngobrol sama Azka. Ada yang salah?”
Azka menatap Delisa dengan wajah bingung, lalu berusaha mencairkan suasana. “Eh, Del, sini duduk. Dina cuma nanya soal tugas kemarin.”
Delisa menatap Azka dan Dina secara bergantian. “Oh, tugas, ya? Kok kelihatannya serius banget sampai harus pegang-pegang tangan segala?”
Dina tersenyum tipis dan sedikit mendekatkan tubuhnya ke arah Azka. “Ya kan kadang, kita perlu lebih dekat biar diskusinya lebih nyambung, Delisa. Aku yakin kamu mengerti maksudnya.”
Delisa menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Oke, kalau memang cuma diskusi tugas, aku gak masalah.” Namun, di lubuk hatinya, Delisa tidak bisa mengabaikan rasa cemburu yang semakin membesar.
Setelah kejadian di kantin, Delisa mulai menyadari bahwa Dina tidak akan menyerah begitu saja. Dina terus mencari-cari kesempatan untuk mendekati Azka, seolah sengaja mengabaikan kehadiran Delisa. Bahkan di kelas pun, Dina sering kali mengirim catatan kecil pada Azka, yang tentu saja membuat Delisa semakin tidak nyaman.
Saat istirahat siang, Delisa dan Azka sedang berjalan menuju taman sekolah ketika Dina tiba-tiba muncul dari balik pohon, membawa setumpuk buku.
“Azka, bisa bantu aku membawa buku-buku ini ke perpustakaan? Rasanya berat banget,” kata Dina sambil menatap Azka dengan mata memohon.
Azka tersenyum sopan dan mengambil beberapa buku dari tangan Dina. “Oh baiklah. Kebetulan aku memang mau ke perpustakaan.”
Delisa hanya bisa menatap sambil terkekeh ketika Azka berjalan bersama Dina, meninggalkannya sendirian. Perasaan cemburu membakar hatinya, tapi ia mencoba menenangkan diri. “Ah, mungkin Azka cuma mau bantuin aja,” pikirnya, meski dia belum sepenuhnya yakin.
Namun, rasa cenderung mencapai puncaknya saat sakit itu, ketika ia melihat Dina dan Azka duduk berdua di tangga perpustakaan. Dina tampak tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut Azka dengan gemas. Delisa merasa darahnya mendidih. Ia mendekat dan menatap Dina dengan tajam.
“Aku bisa tahu apa yang lucu sampai harus megang-megang rambut Azka kayak gitu?” kata Delisa dengan nada yang lebih tajam dari biasanya.
Dina hanya tersenyum seolah tidak merasa bersalah. “Oh, aku cuma bilang rambut Azka terlihat berantakan, jadi aku rapihkan. Gak apa-apa kan, Delisa?”
Azka yang tampak gugup mencoba menjelaskan, “Del, Dina hanya bercanda kok. Gak ada maksud apa-apa.”
Namun, Delisa sudah merasa sangat kesal. Ia memutar tubuhnya dan langsung pergi, meninggalkan Azka dan Dina yang masih ingat di tempatnya.
...****************...
Hari berikutnya, Delisa hampir tidak mau berbicara dengan Azka. Ia merasa sakit hati karena Azka tidak berusaha menjaga jarak dengan Dina. Azka yang merasa ada sesuatu yang tidak beres, akhirnya menemui Delisa di taman belakang sekolah saat jam istirahat.
“Del, kamu marah sama aku, ya?” tanya Azka dengan nada khawatir.
Delisa hanya menatapnya dengan tajam. “Gimana aku gak marah Ka? Dina itu jelas-jelas suka sama kamu, tapi kamu kayak gak peduli. Kamu malah membantu dia setiap kali dia minta, dan gak pernah nolak.”
Azka terlihat bingung. “Tapi, Del, aku cuma berusaha jadi teman yang baik. Lagipula, kamu bisa tahu kalau aku cuma suka kamu.”
Delisa mendesah panjang. “Aku tahu, Ka. Tapi kamu juga harus menjaga perasaanku. Dina bantuan itu gak cuma sekedar temen yang butuh. Dia suka sama kamu, dan itu jelas banget.”
Azka mengangguk pelan. “Oke, Del, aku akan berangkat sekarang. Maaf kalau aku bikin kamu ngerasa gak nyaman. Aku akan lebih berhati-hati jika sama Dina.”
Delisa tersenyum kecil, meski hatinya masih sedikit ragu. “Aku cuma pengen kamu sadar, Ka. Kalau kamu sayang sama aku, tolong jangan biarkan orang lain mendekat terlalu dekat.”
Azka menggenggam tangan Delisa. “Tenang aja, Del. Mulai sekarang, aku bakal lebih jaga jarak sama Dina. Aku gak mau kehilangan kamu.”
Delisa merasa lega, meski masih ada sedikit kekhawatiran di hatinya. Setidaknya, Azka sekarang tahu betapa pentingnya menjaga perasaannya.
Namun, meski Azka sudah berusaha menjaga jarak, Dina tak menyerah. Setiap kali Azka menolak bantuannya, Dina selalu mencari alasan lain untuk tetap berada di dekat Azka. Bahkan suatu hari, Dina sengaja membuat buku catatannya jatuh di dekat Azka dan Delisa, seolah-olah agar Azka membantu mengambilnya.
“Azka, aku lupa membawa buku catatanku. Boleh gak pinjam catatan kamu sebentar?” tanya Dina dengan senyum manis.
Azka menghela nafas panjang dan menoleh ke Delisa yang sudah melihatnya dengan penuh makna. “Eh Dina, mungkin kamu bisa tanya temen yang lain. Aku lagi sibuk sama Delisa.”
Dina tampak kecewa, tapi tidak menyerah. “Oh, udah, deh. Maaf mengganggu kalian berdua. Aku pergi dulu ya.”
Delisa menatap Azka dengan senyum lebar. “Eh, gitu dong. Sekali-kali kamu bisa nolak.”
Azka menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tertawa. “Aduh, Del, ternyata memang gak gampang nolak orang yang lagi minta bantuan.”
Delisa tertawa pelan. “Gak apa-apa, yang penting kamu mengerti batasnya.”
Namun, jauh di dalam hati Delisa, ia tahu bahwa perasaan cemburu ini belum sepenuhnya hilang. Mungkin ia memang perlu waktu untuk percaya bahwa Azka hanyalah miliknya.