Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Langkah Pertama di Kota
Naura menarik napas dalam-dalam ketika langkah kakinya menyentuh trotoar yang padat.
Kota ini hidup, begitu berbeda dari kampungnya yang tenang dan sunyi.
Hiruk-pikuk kendaraan, gedung-gedung menjulang, orang-orang berpakaian rapi yang berjalan cepat—semuanya terasa baru dan menakjubkan.
Dia menggenggam erat tas kecil yang berisi barang-barang penting miliknya.
Pekerjaan ini adalah harapan besar untuk keluarganya, dan di saat yang sama, langkah pertama menuju mimpi-mimpinya.
Setelah bertanya pada beberapa orang, Naura akhirnya menemukan kantor perusahaan tempatnya akan bekerja.
Bangunan itu tampak megah dengan kaca besar yang berkilauan memantulkan sinar matahari. Hatinya berdebar-debar antara gugup dan semangat.
“Semoga aku bisa melakukannya dengan baik,” gumamnya pelan, seperti doa yang ia ucapkan pada dirinya sendiri.
Baru saja ia melangkah masuk, suara seseorang membuatnya terhenti.
“Kamu Naura, 'kan?” Seorang pria berjas rapi menghampirinya dengan senyum ramah.
Naura mengangguk. “I-iya, saya Naura.”
“Aku Bimo Raharja, direktur di sini,” ujarnya, memperkenalkan diri sambil menjabat tangannya dengan hangat.
Naura tertegun sejenak. Direktur? Dia tidak menyangka akan langsung bertemu dengan seseorang sepenting itu.
“Senang bertemu dengan Bapak Bimo.”
“Panggil saja Mas Bimo,” kata Bimo sambil tersenyum.
“Selamat datang di perusahaan kami. Aku dengar kamu sangat direkomendasikan oleh rekan kami di kampus.”
Naura tersenyum canggung. “Terima kasih, Mas Bimo. Saya akan berusaha sebaik mungkin. Mohon bimbingannya juga ya, karena saya baru di sini.”
Bimo mengangguk sambil memandangnya dengan tatapan teduh, seolah ada rasa kagum di sana.
Bahkan, pria yang sulit tersenyum itu tanpa sadar mengulas senyum sejak ia berbicara dengan Naura.
“Ikuti aku, aku akan menunjukkanmu tempat kerja.”
Naura mengikutinya menyusuri lorong-lorong kantor yang tertata rapi. Di tengah perjalanan, Bimo berbicara, kali ini dengan nada yang lebih akrab.
“Jadi, kamu baru pertama kali tinggal di kota besar?” tanya Bimo, sambil sesekali mencuri pandang.
“Iya, ini pertama kalinya saya ke sini, Mas,” jawab Naura sambil menahan rasa grogi.
“Semuanya terlihat begitu besar dan ramai,” ucapnya kemudian.
Bimo terkekeh. “Awalnya memang terasa seperti itu, tapi lama-lama kamu akan terbiasa. Kota ini bisa menjadi tempat yang penuh kesempatan jika kamu berani mengambilnya.”
Naura tersenyum, meski di dalam hati, ia merasa sedikit ragu. Kota ini terasa begitu asing, tapi entah kenapa kehadiran Bimo memberinya sedikit rasa nyaman.
Sesampainya di ruang kerja, Bimo memberi Naura beberapa petunjuk dasar tentang tugas-tugasnya.
Saat ia menjelaskan, sorot matanya tampak lembut, memberikan perhatian penuh yang membuat Naura merasa dihargai.
Wanita mana yang tak suka disanjung? Wanita mana yang tak jatuh hati diperlakukan sebaik itu oleh pria mapan dan disegani banyak orang? Semua pasti memimpikannya bukan?
“Jika ada yang kamu butuhkan, jangan sungkan untuk bertanya padaku,” ucap Bimo sambil menatapnya.
“Aku ada di sini untuk membantumu beradaptasi.” Lagi, Bimo berusaha meyakinkan Naura.
“Baik, Mas. Terima kasih banyak atas bantuannya. Tapi, bukankah ada HRD dan Manager? Seharusnya tidak perlu repot untuk karyawati baru seperti saya.” Naura menunduk sedikit, menyembunyikan senyum kecil yang tak bisa ia tahan.
Ada sesuatu yang membuatnya nyaman berada di dekat pria ini, meskipun mereka baru saja bertemu. Aneh memang.
"Kamu beda, Naura. Bukankah kamu masuk ke kantor ini karena rekomendasi teman kampus saya? Eh, maksud saya Dosen kamu," terang Bimo dengan tatapan bangga.
Daya pikat Bimo memang luar biasa. Apalagi ia memiliki harta dan juga jabatan tinggi. Mudah baginya menarik perhatian gadis manapun.
*****
Beberapa hari berlalu, dan Naura semakin terbiasa dengan pekerjaannya.
Bimo sering mengajaknya berdiskusi di luar jam kantor, menunjukkan tempat-tempat indah di kota ini.
Ia memperlakukannya dengan sangat perhatian, dan perlahan-lahan Naura mulai merasakan perasaan yang berbeda setiap kali mereka bersama.
Gadis itu seolah lupa diri di mana ia berasal. Bahkan ia tidak peduli dengan gunjingan teman-teman kantornya.
Suatu malam, ketika Bimo mengajaknya makan malam di restoran yang tenang, Naura tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Mas Bimo, kenapa begitu baik padaku?”
Bimo menatapnya dalam, seolah mempertimbangkan jawabannya.
Entah apa yang terlintas di pikirannya.
“Karena kamu istimewa, Naura. Kamu membawa kesederhanaan dan ketulusan yang sudah jarang aku temui di kota ini.”
Naura terdiam, hatinya berdebar tak karuan. Ia tak pernah merasa diperhatikan seperti ini sebelumnya.
Namun, di balik kebahagiaannya, terselip kekhawatiran yang samar. Apakah perasaan ini nyata? Atau hanya sekadar permainan hati? Entah.
****
Hari itu berlalu seperti biasa di kantor. Naura mulai merasa lebih percaya diri dalam pekerjaannya.
Namun, ketika ia baru saja selesai mengatur dokumen di mejanya, teleponnya berdering.
Melihat nama ibunya di layar, Naura segera mengangkatnya.
“Halo, Bu? Ada apa?” tanyanya sambil merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan.
“Naura …,” suara ibunya terdengar gemetar, penuh kecemasan. “Ayahmu … jatuh pingsan tadi pagi. Sekarang ada di rumah sakit.”
Dunia Naura seolah berhenti berputar. Jantungnya berdetak kencang.
“Apa? Kenapa Ayah? Sakit apa, Bu?” tanya Naura. Guratan wajahnya berubah cemas.
“Dokter bilang ada masalah serius di jantungnya. Dia butuh operasi secepatnya. Tapi... biaya operasinya sangat besar, Naura. Kami tidak tahu harus bagaimana.” Suara ibunya pecah menjadi isakan.
Naura meremas ponselnya, matanya berkaca-kaca.
“Berapa biaya yang dibutuhkan, Bu?” tanyanya dengan suara parau bercampur isakan tertahan.
“Dokter bilang sekitar lima puluh juta, Nak. Kami tidak punya uang sebanyak itu ....”
Tubuh Naura terasa lemas. Jumlah itu terlalu besar bagi keluarganya. Mereka hanya petani kecil di desa. Naura menelan ludah, berusaha menenangkan pikirannya.
“Bu, tenang, ya. Naura akan cari cara. Aku pasti akan membantu Ayah.”
Setelah panggilan berakhir, Naura duduk termenung di mejanya. Pikiran tentang ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit terus menghantui.
Rasa bersalah dan putus asa berkecamuk dalam dirinya. Belum lama ia bekerja, tabungannya belum cukup untuk menutupi kebutuhan sebesar itu.
“Naura?”
Suara itu membuatnya tersentak. Bimo berdiri di samping mejanya, menatapnya dengan dahi berkerut.
“Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat.”
Naura mencoba tersenyum, meski jelas terlihat dipaksakan.
“Ah, tidak apa-apa, Mas. Saya hanya sedikit pusing.”
Namun, Bimo tidak percaya begitu saja.
“Katakan apa yang terjadi. Kalau ada masalah, mungkin aku bisa membantu.”
Naura ragu sejenak. Ia tahu bahwa Bimo selalu bersikap baik, tetapi menceritakan masalah keluarga ini terasa berat.
Akhirnya, ia menyerah pada desakan Bimo dan menceritakan semuanya.
Bimo mendengarkan dengan serius, lalu menghela napas panjang.
“Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku bisa meminjamkan uang itu untukmu.”
Mata Naura membelalak. “Mas Bimo ... aku tidak bisa meminjam sebanyak itu. Aku tidak punya jaminan untuk mengembalikan.”
“Naura,” ujar Bimo lembut, sambil menggenggam tangannya. “Aku tidak membutuhkan jaminan. Anggap saja ini bantuanku untukmu.”
Naura terdiam. Tawaran itu terdengar seperti solusi dari semua masalahnya, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya merasa ragu. Entah apa itu.
“Tapi, Mas... aku ....”
“Percayalah padaku, Naura,” Bimo menyela.
“Aku hanya ingin memastikan ayahmu mendapatkan perawatan terbaik.”
Naura menatap mata Bimo. Tatapan itu tampak tulus, tapi ia tidak bisa menghilangkan rasa gelisah yang muncul entah dari mana. Akhirnya, ia mengangguk pelan.
“Baik, Mas. Terima kasih. Saya akan mengembalikannya sedikit demi sedikit.”
Bimo tersenyum. “Jangan khawatirkan itu sekarang. Fokus saja pada ayahmu.”
Namun, malam harinya, saat Naura tengah mengemasi barang-barangnya untuk kembali ke rumah sakit di desa, ia menerima sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
Pesan itu hanya berisi satu kalimat:
[Berhati-hatilah pada Bimo. Dia bukan seperti yang kamu pikirkan.]
Pesan itu membuat darahnya membeku. Naura memandangi layar ponselnya dengan mata melebar. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan apa maksudnya?
Sebuah perasaan dingin menjalar di punggungnya, menimbulkan kekhawatiran yang tidak bisa ia abaikan.
Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, suara panggilan dari ponsel kembali berdering.
“Naura, Ayahmu kondisinya semakin kritis. Dokter bilang operasinya harus dilakukan besok pagi, atau ....”
Kalimat ibunya terhenti.
Naura terpaku, hatinya mencelos. Waktu semakin menipis, dan ia tidak punya pilihan selain menerima bantuan dari Bimo, meskipun pesan misterius itu terus menghantui pikirannya.
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan