Andhira baru saja kehilangan suami dan harus melahirkan bayinya yang masih prematur akibat kecelakaan lalulintas. Dia diminta untuk menikah dengan Argani, kakak iparnya yang sudah lama menduda.
Penolakan Andhira tidak digubris oleh keluarganya, Wiratama. Dia harus tetap menjadi bagian dari keluarga Atmadja.
Akankah dia menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya kali ini, sementara Argani merupakan seorang laki-laki dingin yang impoten?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Kisah Masa Lalu Andhira (2)
Bab 29
Mama Aini memeluk Andhira yang tiba-tiba berteriak histeris sambil memegangi kepalanya. Papa Anwar berlari ke kamar karena Arya yang sedang tidur menangis. Seakan anak itu satu hati dengan ibunya.
"Tante! Tante! Aaaaaaa!" Andhira masih berteriak dengan mata terpejam yang mengeluarkan cairan bening.
Argani masih diam membeku. Jiwa dan pikirannya seperti ketarik ke zaman dia masih remaja. Dia baru pulang dari sekolah bersama Andhika. Mereka melihat tantenya berlari ke arah tengah jalan, lalu ketabrak mobil yang melaju kencang sehingga terlempar dan terlindas.
Seketika Argani muntah-muntah karena mengingat kejadian yang sudah dilupakan. Kejadian itu merupakan ingatan terburuk dalam hidup Argani sampai hilang dalam memorinya.
"Mobil Jeep hitam. Seorang laki-laki berambut keriting, jam tangan emas," ucap Argani secara tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Gani?" tanya Papa Anwar yang baru saja kembali sambil menggendong Arya.
Keadaan ruang keluarga sedikit kacau. Mereka abaikan itu karena ada yang lebih penting. Mama Aini menutupi cairan di lantai yang keluar dari mulut putranya dengan tisu.
"Mama ... Papa!" Arya minta digendong oleh kedua orang tuanya.
Saat ini kondisi Andhira dan Argani sedang tidak baik. Jadi, Mama Aini yang menggendong dan mendudukkan sang cucu dekat ibunya.
"Kecelakaan itu, Pah! Mobil yang menabrak Tante Ainun adalah sebuah mobil Jeep berwarna hitam. Orang yang mengemudikan itu seorang laki-laki yang rambutnya keriting, dan memakai jam tangan berwarna kuning emas," jawab Argani dengan suara bergetar. Bayangan tubuh yang hancur dan berwarna merah darah kini terasa menari-nari di pelupuk matanya.
Papa Anwar dan Mama Aini saling beradu pandang. Dahulu memang hanya ada anak-anak itu yang ada di tempat kejadian. Tidak ada seorang pun yang bisa dimintai keterangan. Andhika sampai tahun tidak bisa diajak bicara selama seminggu.
Argani tidak ingat dengan sosok anak kecil perempuan yang ada di lokasi kejadian. Dia tahu tantenya seperti sedang melakukan sesuatu sebelum tertabrak mobil itu tepat di depan matanya. Siapa yang tidak shock ketik melihat keluarga sendiri meregang nyawa di depan mata.
"Apa Papa tahu siapa pelakunya?" tanya Argani.
"Tidak. Dulu tidak ada saksi dan bukti yang bisa menunjukkan siapa pelakunya. Kalian yang ada di tempat kejadian saja semua pada diam tidak bisa dimintai keterangan," jawab Papa Anwar.
"Mama," panggil Arya karena ingin dipeluk oleh ibunya, tetapi tidak direspon.
Sementara itu, Andhira mulai ingat semua kenangan buruknya yang terus menerus bermunculan kembali dan saling tumpang tindih secara acak, membuat kepalanya sakit tidak tertahankan. Dia meringis kesakitan dan pada akhirnya hilang kesadaran.
"Mama ...!" Arya menangis memanggil ibunya dan ini membuat mereka mengalihkan perhatian kepada Andhira.
"Sayang!" Argani meraih tubuh Andhira yang basah oleh keringat dingin. Lalu, dia membawanya ke kamar.
Papa Anwar segera menghubungi dokter langganan keluarga. Dia takut terjadi hal buruk kepada sang menantu.
"Sepertinya Nyonya Dhira sedang hamil muda," ucap dokter yang baru selesai memeriksa keadaan Andhira. "Untuk lebih jelasnya besok lakukan tes urin, jika hasilnya dua garis, bisa lakukan USG untuk lebih jelas berapa usia kandungannya."
"Ha-mil?" Argani dan kedua orang tuanya terkejut.
"Pantas saja Dhira sekarang lebih emosional dan lebih suka bermanja dan juga rebahan," ucap Argani yang selama di Lombok istrinya lebih suka menghabiskan waktu mereka di kamar hotel, paling jauh jalan-jalan di sekitar pantai yang tidak jauh dari hotel," ujar Argani sambil membelai rambut Andhira.
Papa Anwar dan Mama Aini senang mendengar kabar kehamilan Andhira. Namun, di sisi lain mereka juga khawatir dengan keadaan menantunya saat ini. Di mana dirinya sedang menghadapi kenangan buruk yang pernah menimpanya.
"Kenapa jadi seperti ini? Mama tidak menyangka kalau ini membuat Andhira kesakitan seperti ini, Pah. Ternyata ada baiknya Andhira tidak ingat dengan semua kejadian dulu," ucap Mama Aini dengan lirih dan wajah sendu.
"Papa juga tidak menyangka kalau Andhira bisa mengingat membali ingatannya sewaktu kecil setelah dia dewasa dan efeknya seperti ini," balas Papa Anwar dengan wajah sedih.
Argani sebenarnya juga merasa sakit di kepala dan perutnya mual. Siapa yang akan baik-baik saja ketika ingatan buruk terus berseliweran di dalam otaknya.
Sambil menunggu Andhira sadar, Argani duduk di samping ranjang sambil memegang tangannya. Dia meminta kenalannya yang seorang polisi untuk mencari tahu kejadian krimiinal yang pernah menimpa Andhira.
Argani jadi kepikiran tentang Andhika. Adiknya itu tidak pernah membicarakan kejadian mengerikan itu.
"Apa dia juga sama seperti aku yang melupakan kejadian itu?" batin Argani.
Andhira bangun ketika tengah malam. Dia melihat suaminya sedang duduk sambil memangku laptop.
"M-mas," ucap Andhira dengan suara serak, tetapi pelan.
Argani yang sedang fokus membaca berita krimiinal belasan tahun yang lalu, dibuat terkejut oleh suara istrinya. Dia pun segera meletakkan benda elektronik itu ke atas nakas.
"Ya, ada apa, Sayang? Kamu harus?" tanya Argani dan Andhira mengangguk.
Andhira duduk bersandar kepada Argani. Dia minum langsung menghabiskan air segelas.
"Apa yang sedang kamu rasakan saat ini?" tanya Argani, wajahnya memperlihatkan kecemasan.
"Kepala aku sakit sekali, Mas. Ingatan aku sewaktu kecil terus bermunculan. Orang-orang yang tidak aku kenal muncul satu persatu dalam ingatan aku," jawab Andhira.
"Kamu jangan terlalu memaksakan diri. Jaga kesehatan dan pikiran kamu, Sayang. Saat ini kamu sedang hamil," ucap Argani sambil membetulkan letak rambut yang menutupi kening.
"Apa, hamil?" Andhira terkejut sambil memegang perutnya.
***