Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Chakra menghajar Ikhsan dengan brutal, menghantam tubuh pria itu hingga terhempas kasar di lantai kamar. Pria itu jatuh tersungkur, mengusap wajahnya yang terluka sambil meludahkan darah dari sudut bibirnya. Dia menatap Chakra dengan tatapan penuh permusuhan, mata merah menyala, seakan siap membalas.
Chakra segera merampas Reina yang tengah menangis di pelukan Joshua dan mendorong pria yang berprofesi sebagai dokter itu menjauh. Joshua berusaha menenangkan gadis yang sudah dia anggap keponakan kecilnya yang tampak terguncang, namun tubuhnya terhuyung akibat dorongan Chakra. Dengan sengaja, Chakra menginjak aset berharga Ikhsan dengan keras, menyebabkan pria itu berteriak kesakitan sambil memegangi bagian tubuh yang terluka.
"Maaf, sengaja. Habisnya kau ingin merusak anak orang, sih," cemooh Joshua, sambil memasang wajah puas setelah berhasil menginjak bagian sensitif pria malang itu.
Ikhsan menatap Joshua dengan penuh permusuhan, berjanji akan membalas perbuatan mereka setelah ini.
"Maafkan aku, maaf," Chakra berkata lembut sambil memeluk Reina, menenangkan keponakan kecilnya yang masih terguncang.
'Sial! Aku kecolongan. Aku ingin sekali melemparnya dari jendela ini, tapi sayangnya dia orang berkuasa,' Chakra membatin kesal, melemparkan tatapan membunuh ke arah Ikhsan yang masih berguling-guling kesakitan.
Di balik tangisannya, Reina menyeringai. Dia berbisik pada Chakra yang tampak marah, "Apakah Om mendapatkan darahnya? Atau Om mendapatkan rambutnya? Kalau sudah, oleskan ke boneka jeramiku."
Chakra menatap Reina heran, "Untuk apa?"
"Kau akan tahu nanti," jawab Reina dengan senyum misterius di wajahnya.
Tiba-tiba, derap langkah kaki terdengar mendekat, dan Lina, Kian, serta Theo muncul di pintu, menatap ke dalam kamar dengan rasa penasaran.
"Astaga! Ikhsan!" pekik Lina saat melihat Ikhsan yang meringkuk kesakitan.
"Apa yang terjadi? Ada yang sakit?" tanya Lina berturut-turut. Kemudian, wanita itu menatap Chakra dan Joshua bergantian, "Apa yang terjadi?"
"Dia hendak melecehkan keponakanku," desis Chakra dingin, wajahnya menunjukkan kekesalan yang mendalam.
Kian dan Theo memilih diam, tidak ingin ikut campur. Dengan menguap lebar, Kian memilih untuk meninggalkan kamar Chakra.
"Tidak mungkin. Ikhsan bukan orang yang seperti itu. Ini pasti salah paham," Lina membela Ikhsan dan menatap Joshua dengan tatapan menuntut.
"Iya, salah paham dengan memasuki kamar orang. Apalagi ada anak perempuan di kamarnya yang sedang tidur siang," jawab Joshua dengan nada sarkastis, tak habis pikir melihat pembelaan Lina terhadap Ikhsan.
Joshua kemudian menceritakan bagaimana dia melihat Ikhsan mengendap-endap memasuki kamar Chakra, lalu mendekati pemilik apartemen yang sedang menyajikan minuman dan memberitahunya apa yang ia lihat.
"Om, aku perlu rambut tante itu juga," bisik Reina yang membuat Chakra semakin heran. Untuk apa gadis kecil itu menginginkan rambut seseorang?
Chakra akhirnya mengangguk, berniat menenangkan Reina yang melanjutkan tangisannya di pelukannya. Namun tanpa sadar, Reina menyeringai senang, membayangkan memiliki "mainan baru" untuk malam itu.
✨
Joshua menggendong Reina menuju jendela, mengajak gadis kecil itu untuk melihat pemandangan kota dari ketinggian. Joshua memperhatikan perubahan yang terlihat jelas pada Reina. Kulitnya yang tampak bersih dan wangi, rambut sebahu yang halus, tubuh yang sedikit berisi, dan bawah matanya yang tak lagi cekung. Apalagi, binar kebahagiaan terlihat jelas di matanya.
Joshua menebak, gadis kecil yang ada di gendongannya ini akan tumbuh menjadi gadis cantik yang diincar banyak orang.
"Kau terlihat lebih baik. Badanmu juga terasa sedikit berat," komentar Joshua sambil teringat pada saat pertama kali menemukan Reina.
"Paman selalu menjejaliku dengan makanan. Apalagi makanan buatannya sangat enak," Reina berkata dengan ceria, senyum mengembang di wajahnya.
Joshua tersenyum mendengar jawaban Reina, namun matanya melirik ke dalam ruangan, dimana ketegangan tampak menguar. Joshua pertama kalinya melihat Chakra semarah itu. Siapa pun pasti marah jika melihat anak gadis atau keponakannya yang hendak dilecehkan oleh orang terdekat atau orang lain di depan mata sendiri. Jika Joshua berada di posisi Chakra, dia pasti akan melakukan hal yang sama, atau bahkan lebih kejam.
"Aaarrgghhh!!!!"
Reina dan Joshua terkejut mendengar jeritan kesakitan yang menggema di ruangan itu. Terlihat Chakra meringkuk kesakitan sambil memegang wajahnya, sementara di depannya berdiri Theo dengan sebelah tangan memegang sebuah botol berisi cairan yang sudah tersisa setengah.
"Paman!" pekik Reina, segera menurunkan dirinya dari pelukan Joshua. Gadis kecil itu hendak menghampiri Chakra, tetapi dicegah oleh Joshua.
"Jangan dekati dia, Nak. Pamanmu disiram air keras. Itu sangat berbahaya!" Joshua berkata dengan tegas, wajahnya tegang.
Reina menatap Joshua dengan tatapan cemas, "Apakah pamanku akan baik-baik saja?" tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran.
Joshua memaksakan senyum ramahnya kembali, berusaha menenangkan Reina, "Dia harus dilarikan ke rumah sakit. Kau tunggu di sini sebentar, ya."
Reina mengangguk, meskipun kecemasan masih terbayang di wajahnya. Joshua mendekati Chakra yang tengah menahan sakit. Pria yang berprofesi sebagai dokter itu berjongkok dan memeriksa kondisi wajah Chakra yang sudah melepuh dan mengelupas. Setelah itu, Joshua berdiri dan menatap Theo dengan penuh amarah.
"Apa yang kau lakukan, hah?! Menyakitinya di depan seorang anak kecil?!" hardik Joshua, suaranya keras dan penuh kemarahan.
"Dia tidak sengaja, Josh," ucap Lina dengan mata berkaca-kaca, berusaha membela Theo.
"Tidak sengaja menyiram wajahnya dengan air keras?" Joshua balas sarkastis, membuat Lina menundukkan kepala dan tubuhnya bergetar ketakutan.
"Jangan bentak Lina, Joshua!" Ikhsan berteriak marah, menatap Joshua dengan penuh amarah.
Joshua mengabaikan teriakan Ikhsan dan berjalan menuju tas kerjanya yang terletak di atas nakas dekat dapur. Dengan cepat, dia mengambil perlengkapannya dan kembali mendekati Chakra.
Joshua memapah Chakra dengan hati-hati, membantunya berjalan menuju kamarnya. Mereka meninggalkan empat orang itu di ruang tamu, yang tampak memasang wajah kemenangan, tidak menyadari bahwa seorang anak kecil sedang mengamati mereka dengan seringai tipis.
Reina berekspresi layaknya anak kecil yang penuh rasa ingin tahu. Dengan langkah cepat dan penasaran, dia berlari menuju pintu kamar Chakra. Tanpa ragu, gadis kecil itu menggedor pintu kamar sambil berteriak.
"Paman! Apakah pamanku baik-baik saja? Jangan sakiti pamanku! Aku tidak punya siapapun lagi! Ku mohon buka pintunya!"
Keempat orang itu tersentak dan menatap Reina dengan tatapan rumit. Mereka tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
'Cklek'
Pintu kamar Chakra terbuka sedikit, dan Joshua muncul hanya dengan melongokkan kepalanya. Dia menatap Reina dengan senyum ramah yang dipaksakan.
"Dia baik-baik saja," kata Joshua dengan suara tenang, berusaha menenangkan Reina.
"Aku ingin bertemu pamanku. Apakah dia tidak apa-apa?" Reina terisak, membuat Joshua sedikit panik. Suara tangisannya menggema di ruangan itu.
Joshua mempersilakan Reina memasuki kamar Chakra, lalu pria itu menatap tajam keempat orang yang masih setia di sana.
"Pergi dari sini, sialan!" ujar Joshua dengan suara tegas, membuat keempatnya terkejut dan langsung melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.
Joshua menutup pintu dengan hati-hati setelah Reina masuk, memastikan anak itu berada dalam keadaan aman dan tenang.
✨
Reina menatap Chakra yang tak sadarkan diri dengan tatapan datar. Entah kenapa, pria yang berstatus sebagai pamannya ini memiliki perjalanan hidup yang begitu berat. Untungnya, Joshua segera menangani Chakra, sehingga wajahnya tidak mengalami luka yang serius meski harus menjalani rawat inap di rumah sakit untuk mencegah hal yang tak diinginkan.
'Cklek'
Reina mengalihkan perhatiannya dan mendapati Joshua memasuki ruangan dengan ekspresi murung. Reina, dengan kemampuannya untuk membaca pikiran, mendengar suara hati pria baik hati itu.
'Sial! Kenapa bisa seperti ini? Aku kehilangan pekerjaan dan di-blacklist dari seluruh rumah sakit?! Sial!'
"Om," panggil Reina pada Joshua, suaranya mengalun lembut.
Joshua menoleh dan mendapati Reina yang menatapnya dengan rasa penasaran. Wajah pria itu langsung berubah menjadi ramah saat berhadapan dengan gadis kecil itu, dan dia mendekat.
"Iya, Nak. Apa kau butuh sesuatu?" tanya Joshua dengan suara tenang.
"Kenapa mereka begitu pada paman? Dan padaku juga?" tanya Reina dengan wajah murung, matanya mengandung kebingungan dan ketakutan.
Joshua menghela napas lelah, merasa bingung dengan situasi ini. Dia juga tidak menyangka bahwa mereka berempat bisa begitu kejam pada Chakra, yang notabene adalah sahabat mereka sendiri. Seingatnya, Chakra tak pernah memiliki musuh, dan tak pernah berbuat masalah.
"Entahlah. Om juga tidak tahu," jawab Joshua sambil menggelengkan kepala, merasa lelah dan tak tahu harus berkata apa.
"Paman bilang mereka itu penguasa," ujar Reina, dengan nada menggoda, seolah ingin memancing Joshua untuk melanjutkan pembicaraan.
Joshua menoleh ke arah Reina dengan tatapan tajam, penasaran dengan apa yang dia katakan. "Benar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Orang tua mereka orang-orang kaya yang memiliki perusahaan besar. Sementara Chakra, tidak diketahui asal usulnya, apalagi setelah dia keluar dari penjara. Mereka berubah sejak saat itu."
Reina tersenyum tipis, ekspresinya penuh dengan teka-teki. "Apa karena pamanku miskin?" tanya Reina sambil memasang wajah polos.
Joshua terkejut dan melotot ke arah Reina. "Hei, darimana kau tahu tentang itu?!" pikir Joshua dengan bingung.
Reina yang membaca pikiran Joshua hanya terkekeh kecil, senyumnya nakal. "Soalnya nenek pernah bilang kalau ibuku orang miskin yang tak diketahui asal-usulnya, dan pantas diperlakukan seperti hewan. Dan katanya orang miskin itu tidak pantas bahagia," Reina melanjutkan perkataannya sambil mengenang kata-kata dari neneknya yang dipenuhi kebencian.
Joshua menatap Reina dengan tatapan sulit diartikan, perasaan cemas menggelayuti hatinya. "Semua makhluk pantas bahagia. Baik manusia atau hewan. Cara mereka bahagia itu berbeda-beda dan tak selalu sama. Dari mana nenekmu mendapatkan perkataan semacam itu?" tanya Joshua dengan rasa tak habis pikir.
"Entahlah, Om. Soalnya nenek selalu bicara seperti itu," jawab Reina sambil mengangkat bahunya, seolah sudah terbiasa dengan perkataan neneknya yang kejam.
Joshua terdiam, terkejut dengan kenyataan bahwa anak sekecil ini sudah harus menerima hal-hal begitu keras. Apa yang sudah Reina alami dalam hidupnya? "Lalu ayahmu?" tanya Joshua, mencoba menggali lebih dalam.
Reina menggelengkan kepalanya. "Aku tak pernah melihatnya. Yang aku tahu, dia hanya pergi pagi pulang pagi, atau tidak pulang sama sekali. Jika dia libur, dia pergi bersama nenek dan lainnya. Sementara aku dan ibu hanya di rumah." Reina menceritakan ingatannya, namun dalam hatinya, ada niat tersembunyi. Ia merencanakan balas dendam manis terhadap mereka yang telah menyakiti orang-orang yang dia sayangi.
Joshua terdiam, hatinya berat. Keponakan sahabatnya, yang masih belia, harus mengalami hal-hal yang tak seharusnya dialami anak seusianya. Kini, dia melihat satu-satunya keluarga yang dimilikinya tengah terbaring tak sadarkan diri. Joshua sendiri juga kehilangan pekerjaannya karena menolong Chakra, dan dia merasa ada kejanggalan dalam kejadian ini—seperti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.
Joshua akhirnya meninggalkan Reina di kamar Chakra, menyuruhnya untuk beristirahat. Dia merasa berat hati, namun dia tahu harus segera menyelidiki lebih lanjut. Setelah menutup pintu kamar dengan hati-hati, dia melangkah keluar menuju ruang tamu, di mana Theo dan yang lainnya masih tampak terdiam, seolah menunggu reaksi dari Joshua.
Joshua mendekat dengan langkah pasti. "Ada yang ingin kalian bicarakan?" tanyanya dengan suara tegas, matanya menyiratkan ancaman.
Theo yang tampak paling tidak sabar akhirnya berbicara, "Kau tahu, Joshua, ini semua sudah melewati batas. Kami tidak bisa membiarkan Chakra begitu saja, dan kau seharusnya tak terlibat. Kami hanya melindungi kepentingan kami."
Joshua menatap tajam ke arah Theo. "Kepentinganmu? Sejak kapan kalian mulai berpikir begitu kejam terhadap sahabat sendiri? Jangan kira aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Lina menunduk, tidak mampu menghadapinya, sementara Ikhsan hanya diam, tampaknya sudah putus asa untuk mencoba membela diri.
Joshua melangkah lebih dekat, wajahnya semakin keras. "Kalian harus berhenti. Kalian pikir ini semua hanya permainan, tetapi kalian sudah merusak hidup banyak orang. Termasuk Reina."