Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Kelana menilik lebih dekat benjolan kecil di leher sahabatnya. Benjolan sebesar biji rambutan itu pun berhasil membuat Kenala sedikit iba, namun saat mengingat penghianatan Adipati dengan Kadara, rasa iba itu pun kembali menjadi rasa benci.
“Kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya Kelana.
"Oh, saya tau, saya kan memang bukan sahabat baik kamu. Jadi nggak mungkin kamu cerita tentang penyakit kamu.” Kelana menjawab pertanyaannya sendiri.
“Saya nggak pernah cerita karena kamu nggak pernah punya waktu untuk dengar cerita saya. Kamu selalu sibuk membangga-banggakan Dara di depan saya. Jadi jangan salahkan saya, kalau saya tertarik pada Dara lewat cerita kamu,” sahut Adipati.
Kelana tertegun baru ingat, rasa cintanya pada Kadara dulu membuat ia disihir oleh perasaannya, hingga dalam setiap momen bersama siapa pun selalu Kadara lah yang dijadikan bahan pembicaraan.
“Oke, sekarang saya paham. Saya cukup tau aja, semoga penyakit kamu bisa sembuh,” sahut Kelana.
Adipati sedang berjuang untuk kesembuhannya. Kanker kelenjar getah bening yang masih berada di tahap stadium awal itu, seperti sebuah tamparan keras untuk Adipati. Pria yang sangat teliti itu pun langsung mengecek kesehatannya pada saat menemukan benjolan kecil di lehernya. Namun saat diagnosa dokter sudah keluar, alhasil Adipati jadi sering bolak-balik ke rumah sakit untuk melakukan penyembuhan sebelum penyakitnya semakin parah.
“Kamu nggak usah sok peduli lagi sama saya, Kelana. Kalau kamu benci, bilang aja. Kamu kecewa sama saya dan Dara, kan? Kalau gitu lepaskan Dara, biar saya yang bahagiakan dia,” sahut Adipati.
Kelana tersenyum miring. “Kamu ambil aja kalau memang Dara mau sama kamu. Kalau Dara bisa dilepaskan, mungkin udah dari dulu Dara lepas. Sayangnya dia lebih mencintai saya daripada kamu.”
“Ch, serakah sekali kamu. Memangnya kamu nggak puas sampai punya istri dua? Kamu punya kelainan seksual sampai menikahi anak di bawah usia? Atau kamu punya kelainan ingin melakukan hubungan dengan 2 wanita sekaligus?”
Kelana menarik dasi Adipati. “Jaga ucapanmu, Adipati yang terhormat. Kamu pikir saya pria gila? Asal kamu tau, sampai detik ini saya masih perjaka walaupun punya istri dua. Yang kamu tuduhkan itu sama sekali nggak ada di pikiran saya. Atau itu memang kelainan kamu? Dan apa tadi? Kamu udah tau usia Bening? Jadi kamu cari tau tentang Bening juga? Mau apa? Mau merebut Bening juga?”
Adipati menepis tangan Kelana dari dasinya. “Kalau mau bertarung jangan di sini, kita bisa adu kejantanan di agility ring.”
“Kenapa jadi kamu yang tantang saya? Kamu nggak mau kalah dari saya?”
“Kalau kamu berani, lawan saya. Kalau nggak berani, lepaskan Bening dan Dara. Atau kamu mau saya laporkan ke komisi perlindungan anak?”
Kelana tertawa. “Sekarang saya tau wajah asli kamu. Ternyata kamu bukan sahabat baik, selama ini kamu selalu pakai topeng, kan? Kamu iri dengan kehidupan saya? Kamu iri dengan asmara saya? Atau kamu iri ingin ambil jabatan saya? Kamu kenapa? Coba cerita, ada masalahnya apa kamu ingin melaporkan saya?”
“Karena kamu serakah. Dari jaman sekolah, kamu selalu merebut posisi saya untuk menempati rangking satu, saat kuliah pun selalu kamu yang selalu mengambil hati dosen, saat bekerja sekarang juga kamu mengambil jabatan manajer keuangan yang saya incar sejak lama, dan kamu malah hidup bahagia bersama wanita yang saya cinta.”
Kelana tertegun tak menyangka. Ia baru tahu topeng Adipati yang memang srigala berbulu domba. Kelana pikir, Adipati adalah sahabat seperjuangannya. Namun Adipati berpikir sebaliknya, dan menjadikan Kelana sebagai saingannya.
“Oke, finish. Saya udah tau siapa kamu sekarang. Ternyata saya memang nggak punya satu pun sahabat di dunia ini. Lanjutkan aja perjuangan kamu untuk mengalahkan saya. Saya udah nggak peduli sama kamu, saya cuma mau fokus sama kehidupan saya.”
**
**
**
“Bening, kenapa sih kamu mau pacaran sama Abang kantoran itu? Kamu lebih suka cowok dewasa ketimbang yang seumuran?” tanya Sabit.
Sabit membawa Bening berbicara empat mata di bawah pohon mangga yang langsung menghadap ke lapangan basket sekolah.
“Bang Kelana itu bukan cowok, tapi pria,” sahut Bening.
“Bedanya cowok sama pria apa? Perasaan sama aja.” Sabit garuk-garuk kepala.
“Cowok itu remaja kayak kamu, sedangkan pria itu laki-laki yang udah matang dan mapan kayak pacar aku. Aku lebih suka pria daripada cowok.” Bening senyum-senyum karena di benaknya sedang terlintas wajah suaminya.
“Tapi aku suka sama kamu, Bening. Aku yang lebih cocok jadi pacar kamu, bukan Abang itu.”
Bening tertegun baru tau. “Kamu suka aku?”
Sabit mengangguk. “Aku suka sama kamu dari pertama kali kamu pindah ke sekolah ini. Kamu itu cantik, Bening. Siapa pun pasti suka kamu.”
“Tapi aku udah punya pacar dan nggak suka sama kamu. Kamu itu teman aku, kita semua temenan.”
“Tapi –“
“WOY!” Ke sembilan teman Bening menghampiri mereka. 8 siswa dan 1 siswi itu kompak memegang plastik siomay di genggaman mereka.
“Kalian ngapain mojok di sini?” tanya Rawa.
“Kalian nggak jajan? Tukang somaynya masih ada di depan tuh,” ujar Adara.
“Bening, tadi semua murid ngomongin kamu tau, bahkan guru-guru juga udah pada tau kamu syuting di sinetron anak sekolah,” sambung Arang.
“Ya biarin aja mereka semua tau kalau Bening mau jadi artis. Aku lagi nggak mood jajan somay, Bening abis tolak aku,” sahut Sabit.
“HAH, TOLAK?” Ke 9 bocil itu terkejut.
“Kamu ditembak Sabit, Ning?” tanya Adara.
“Iya, aku juga heran kenapa Sabit tembak aku. Padahal kan aku udah punya pacar. Aku itu cuma mau berteman sama kalian,” sahut Bening.
“Oke, maafin aku karena suka sama kamu. Tapi aku nggak akan nyerah, aku akan tungguin kamu sampai putus dari Abang kantoran itu,” ujar Sabit.
“Ya udah, tungguin aja sampai kiamat,” sahut Bening.
“Udah-udah, pokoknya kita semua harus tetap temenan. Btw, kita semua udah sepakat untuk nobar sinetron perdananya Bening. Kita boleh ke rumah kamu untuk nobar, kan?” tanya Adara.
“Nobar?”
“Iya, kita mau live sama bikin vlog langsung sama kamu biar viewers pada percaya kalau artisnya teman kita,” sahut Rawa.
“Oke, deh. Tapi aku harus izin dulu sama pacar aku.”
**
**
**
Kadara sudah berkamuflase memakai baju muslim, namun menolak dipakaikan hijab. Istri ke dua Kelana itu tampak tak nyaman memakai baju panjang untuk kali pertamanya, di hadapan kakek dan neneknya yang sedang merapalkan doa di hadapan Kadara dan Dewi.
“Pakai hijab kamu, Dara.” Dewi mengambil hijab pasmina yang mengait di pundak untuk berpindah ke kepala putrinya, namun hijab itu ditarik Kadara hingga berlabuh di pundak lagi.
“Aku belum siap pakai hijab, Bu. Aku bukan wanita suci yang pantas pakai hijab. Aku nggak cocok pakai hijab,” sahut Kadara.
“Tapi kamu–“ Ucapan Dewi terhenti saat Abah dan uminya selesai merapalkan doa.
“Neng Dara minum ini, ya. Air ini udah Abah doakan.” Abah meletakan sebotol air minum yang sudah didoakan. Pria tua yang penampilannya sangat agamis itu memang sering dipintai air doanya oleh warga sekitar untuk penyembuhan.
“Ini air apa, Bah? Air rukiyah? Aku nggak kesurupan, kenapa kalian masih percaya sama hal begituan?” Kadara yang merupakan generasi gen Z pun tak pernah percaya dengan air-air doa.
“Ini bukan air rukiah, neng. Ini air suci yang punya kekuatan spiritual dari Allah untuk ikhtiar penyembuhan dan perlindungan,” sahut Umi.
“Dara, tolong percaya sama Abah dan Umi, mereka nggak mungkin ingin menjerumuskan kamu. Kamu minum airnya ya, nak. Setelah ini kita ke rumah sakit,” ujar Dewi.
Kadara mengentak napas berusaha bersabar, lantas meneguk air doa itu meskipun tak percaya dengan hasilnya.
“Neng Dara harus minum air ini setiap hari, ya. Abah akan siapkan air ini untuk neng Dara setiap hari,” tutur Abah.
“Iya, Bah.” Akhirnya Kadara menuruti demi kebaikannya sendiri.
“Assalamualaikum ....” Suara seorang pria membuat ke empat manusia itu menoleh.
Namun Kadara terkejut saat melihat Adipati datang ke kediaman Abah dan uminya di Cianjur. Jantung Kadara berdebar dengan mata melebar, karena tak menyangka Adipati sampai mau datang menyusulnya.
“Adipati, ngapain kamu ke sini? Memangnya kamu nggak kerja?” tanya Kadara.
“Aku izin pulang cepat, Dara. Pihak personalia sudah tau kalau aku sedang dalam masa pengobatan, mereka memberiku keringanan izin pulang,” sahut Adipati.
Kadara sudah tahu tentang Adipati yang mengidap kanker kelenjar getah bening. Bahkan Adipati pun sudah tau alamat lengkap Abang dan uminya di Cianjur, karena mantan pacarnya itu pernah memberitahu pada saat mereka pulang jalan-jalan dari puncak, tanpa sepengetahuan Kelana.
“Terus ngapain kamu ke sini? Kita udah putus, mendingan kamu fokus sama pengobatan kamu.” Nada Kadara setengah mengusir.
“Aku khawatir sama kamu, Dara. Kelana bilang, kamu punya penyakit? Kamu sakit apa?”
“Masuk dulu, A’,” titah Abah.
“Terima kasih.” Akhirnya Adipati masuk dan duduk di hadapan ke 4 anggota keluarga itu.
“Kamu siapa?” tanya Dewi.
“Saya Adipati, pacarnya Dara.”
Dewi terkejut. “Jadi kamu selingkuhan Dara?”
“Kami udah putus, Bu,” sahut Dara.
“Tapi aku tetap nggak mau putus dari kamu, Dara. Apa sih yang kamu pertahankan dari Kelana? Kalau Kelana lebih mencintai istri pertamanya, gimana?” Pertanyaan Adipati membuat Kadara berkaca-kaca.
Ada perasaan takut di relung hati Kadara akan kehilangan cinta dari pria yang sangat dicintainya itu. Namun Kadara sadar, kesalahannya lah yang membuatnya berada di posisi itu.
“Kenapa sih kamu nggak pilih hidup denganku aja, Dara? Aku itu beneran cinta sama kamu,” sambung Adipati.
“Tapi kamu tau aku lebih cinta sama Mas Kelana. Kamu itu cuma dompet sampingan buat aku. Aku nggak mau pilih kamu, apalagi kamu sakit,” jawab Kadara.
“Tapi kata dokter, penyakitku masih punya harapan untuk sembuh, Dara. Sebentar lagi aku punya jadwal operasi pengangkatan tumor. Aku pun nggak peduli kamu sakit apa, aku akan terima walaupun kamu sakit jaga.”
Kadara tersenyum dalam mata berkaca-kaca. “Serius kamu bisa terima aku apa adanya?”
“Tentu serius, Dara. Aku ingin menikah sama kamu. Kamu akan jadi istri satu-satunya kalau menikah sama aku.”
“Walau pun aku punya penyakit menular seksual?” Pertanyaan Kadara membuat Adipati terkejut.
**
**
**
“Dung, kamu tau nggak, sekarang aku udah punya pacar loh. Pacar aku itu Bang Kelana, suami aku sendiri.” Bening curhat pada Dudung yang sedang mematuki pur ayam.
“Kalau kamu ketemu Bapak, tolong bilangin sama Bapak ya, sekarang aku udah punya sosok Bang Kelana yang bisa lindungin aku seperti Bapak yang selalu lindungin aku. Aku bahagiaaaaa banget. Aku jadi pingin cepet dewasa biar bisa nikah secara negara sama Bang Kelana.”
Bening sedang memberi makan ayam pelungnya di depan rumah Kelana, sekaligus menunggu suaminya pulang bekerja. Agustina dan Ajeng pun ada di sana, namun ke dua ibu-ibu itu sedang menikmati secangkir teh hangat ditemani sempol ayam di teras rumah, sambil menikmati cahaya keemasan sore yang cerah.
“Bening, ngapain kamu bicara sama ayam, nak?” tanya Agustina, yang gigi palsunya sudah copot.
Satu gigi seri atas itu hilang gara-gara lengkuas dari hajatan Pak RT. Bahkan seluruh penghuni rumah itu sudah mencari gigi palsu Agustina di sekitar area jatuhnya, namun sampai sekarang belum ditemukan.
“Iya, Bu,” sahut Bening yang sedang cuci tangan.
“Bening udah biasa ngobrol sama Dudung, Bu. Persis seperti Bapaknya,” sahut Ajeng.
“Oh, gitu.” Agustina mengigit sempol ayam menggunakan gigi yang ompong satu.
Bening pun menghampiri ke dua ibunya untuk berbicara sesuatu. Tadinya ia ingin berbicara pada Kelana terlebih dulu, namun karena Kelana pulangnya lama, alhasil harus meminta izin pada mertuanya.
“Bu, besok teman-temanku ingin main ke sini. Mereka ingin nobar sinetron pertama aku sambil bikin vlog, Bu. Tapi apa ibu membolehkan semua teman aku datang ke sini?” izin Bening.
“Wah, rumah Kelana jadi rame dong kalau gitu. Boleh, Bening. Ini kan rumah suami kamu, ibu cuma numpang di sini,” sahut Agustina.
“Kok ibu bilang gitu? Ibu nggak numpang di rumah anak ibu. Di sini saya dan Bening yang numpang, Bu,” jawab Ajeng.
“Tapi pada kenyataannya rumah ini kan memang hasil jerih payah Kelana, Bu. Rumah ini atas nama Kelana, jadi Bening dan Dara sangat berhak atas rumah ini dari pada saya. Kalian jangan sungkan lagi sama saya, ya. Kalian ini udah jadi bagian keluarga di rumah ini, jadi kalau ingin melakukan hal apa pun yang positif, kalian nggak perlu izin lagi sama saya.”
“Bu –“ Ajeng menggenggam tangan Agustina dalam mata berkaca-kaca, namun air mata itu mendadak surut karena yang Ajeng genggam malah sempol ayam yang sedang Agustina genggam.
“Astagfirullah, maaf, Bu.” Ajeng mengambil sempol Agustina. “Ini saya ganti.” Ia memberikan sempol yang baru hingga membuat Agustina dan Bening tertawa.
“Ibu kamu lucu banget, Bening. Ibu jadi semakin sayang sama kalian, ibu benar-benar punya keluarga yang bisa menemani hari tua ibu,” ujar Agustina setelah menertawakan sempolnya.
“Aku juga bahagia bisa kenal ibu dan Bang Kelana. Kalian hadiah terindah dari Tuhan setelah Bapak ninggalin aku,” sahut Bening.
TIN! TIN!
Mobil Kelana akhirnya masuk ke halaman luas itu. Mimik Bening menjadi lebih senang saat melihat Kelana keluar dari mobilnya.
“Bening, sambut suami kamu. Layani sebagai seorang istri, ya,” titah Ajeng.
“Siap, Bu.” Bening berlari menghampiri Kelana dengan mimik cerianya.
“Assalamualaikum, Bening,” sapa Kelana.
“Waalaikum salam, Bang pacar.” Bening mencium punggung tangan Kelana. “Tasnya biar aku yang bawa, Bang.”
“Nggak usah, sayang. Kamu nggak perlu capek-capek,” tolak Kelana, lantas mencium kening Bening.
Bening tersenyum hingga pipinya merah muda, lantas mengusap kening yang dicium oleh suaminya.
"Kamu udah makan?" tanya Kelana.
"Belum, Bang. Kata ibu, aku makannya harus nunggu Abang pulang dulu. Tasnya biar aku yang bawa, Bang." Bening merebut tas Kelana.
"Besok lagi, kamu nggak perlu nungguin Abang pulang ya. Kalau lapar, langsung makan aja. Tasnya biar Abang yang bawa." Kelana merebut tasnya lagi.
“Kenapa? Aku kan ingin makan bareng sama Abang, aku juga ingin bawain tas Abang. Aku ingin melayani Abang seperti seorang istri.”
“Abang nggak mau dilayani, Abang akan minta tolong kalau memang lagi butuh bantuan.” Kelana menggenggam tangan Bening untuk menghampiri ke dua ibunya.
“Assalamualaikum.” Kelana mencium tangan ke dua ibunya.
“Waalaikum salam, kamu kenapa, Kelana?” Agustina bisa membaca raut Kelana yang sedang gusar.
“Aku sedang kecewa sama Adipati, Bu. Ternyata selama ini dia pura-pura jadi sahabat baik. Bahkan dia mau laporkan aku ke Komnas perlindungan anak karena sudah menikahi Bening.”
“Astagfirullah, masa sih Adipati begitu?” Agustina terkejut tak menyangka.
“Entah lah. Aku tinggal tunggu tanggal main dari Adipati, sepertinya dia beneran benci dan ingin aku jatuh.”
“Sebentar, ibu harus telepon Bu Cicih.” Agustina membuka ponsel untuk menghubungi ibu kandung Adipati.
“Buat apa, Bu? Nggak usah, aku dan Adipati bukan anak kecil lagi. Dulu selalu kalian yang menyelesaikan masalah kami saat aku dan Adipati bertengkar, tapi sekarang kami sudah dewasa. Aku dan Adipati akan menyelesaikan masalah kami secara pria.”
“Oke, ibu percaya sama anak ibu. Kamu pasti bisa mengatasi semuanya.” Agustina meletakan ponselnya.
“Ya sudah, aku masuk dulu.” Kelana kembali menggenggam tangan Bening.
“Iya.”
Kelana membawa istri pertamanya masuk langsung ke dalam kamar, lantas menutup pintu kamar itu dengan ekspresi tetap gusar.
Bening memperhatikan Kelana yang meletakan tas kerjanya menggunakan sedikit tenaga, lantas menarik dasinya dengan pikiran ke mana-mana.
“Aku bantu, Bang.” Bening membantu melepas dasi Kelana menggunakan jari jemari lentiknya.
Sedangkan Kelana memandang lamat wajah Bening yang tampak polos dengan jeda yang tersisa. Postur tubuh Bening yang tinggi itu pun membuat aroma napas Bening dapat terhirup langsung ke indra pembau pria itu.
“Komnas perlindungan anak itu apa, Bang? Apa semacam polisi? Apa Abang akan dipenjara?” tanya Bening, setelah berhasil melepas dasi Kelana.
“Komnas perlindungan anak itu semacam organisasi yang melindungi hak-hak anak di bawah umur, Bening. Abang telah melanggar peraturan negara dengan menikahi kamu yang masih di bawah umur. Abang bisa kena tindakan pidana kalau sampai ada yang melaporkan. Bahkan Abang bisa dipenjara paling lama 9 tahun masa tahanan.”
Bening refleks menutup bibir terkejutnya. “Memangnya siapa yang mau melaporkan Abang?”
“Adipati.”
“Selingkuhannya Mbak Dara yang aku follow waktu itu?”
“Iya, ternyata dia iri dengan semua pencapaian dalam hidup Abang. Entah Abang yang merebut itu darinya, atau memang Abang yang dapat duluan. Yang jelas Abang nggak nyangka, ternyata selama ini sahabat Abang pura-pura baik dan pura-pura simpati sama Abang.”
“Terus kalau om Adipati laporin Abang, gimana? Aku nggak mau Abang dipenjara.” Tanpa sadar Bening berkaca-kaca, hingga jatuhlah bulir beningnya.
Kelana menghapus air mata di pipi Bening sangat lembut. Pria itu jadi tak tega melihat wajah ceria yang berubah drastis menjadi sedih.
“Sekarang Abang mau bicara serius sama kamu. Jujur, sebenarnya Abang merasa bersalah karena udah ceroboh ingin menikahi kamu tanpa berpikir panjang. Yang Abang pikirkan saat itu cuma ingin balas dendam. Tapi sebelum kita punya perasaan yang lebih jauh, Abang mau kasih pilihan lagi sama kamu, kamu masih bisa lari dari Abang.”
Bening memeluk Kelana dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Aku nggak mau lari dari Abang. Aku mau jalan sama-sama sama Abang. Aku udah bahagia bisa jadi istri sekaligus pacar Abang, Abang mau ambil kebahagiaan aku dalam sekejap?”
Kelana balas memeluk Bening. “Bukan itu maksud Abang, Abang cuma nggak ingin kamu masuk ke dalam masalah Abang. Abang nggak ingin kamu terluka di tengah jalan. Jadi sebelum kita sama-sama saling mencintai, lebih baik hentikan perasaan itu agar jangan tumbuh lagi.”
“Tapi aku udah cinta sama Abang. Aku suka sama Abang.”
Pertanyaan Bening membuat Kelana mendorong dekapan Bening dengan pelan, lantas menggenggam ke dua pundak istrinya itu.
“Kamu cinta dan suka sama Abang?” Kelana menatap pupil Bening sangat dekat.
Bening mengangguk sambil menangis. “Aku nggak pernah sebahagia ini saat dekat dengan lelaki mana pun, Bang. Aku nggak pernah sekagum ini sama pria mana pun selain sama bapak. Aku juga nggak pernah senyaman ini dipeluk sama pria. Cuma Abang laki-laki yang bisa buat aku bahagia, kagum, nyaman, dan aman setelah Bapak.”
“Tapi negara kita punya peraturan, Bening. Saya yakin Adipati pasti akan melaporkan saya ke Komnas perlindungan anak.”
“Tapi aku nggak mau pergi dari Abang. Siapa pun yang ngeliat aku, pasti nggak akan nyangka kalau aku masih kecil, Bang. Tolong bilang sama teman Abang itu, tolong jangan hancurkan kebahagiaan aku.” Tangis Bening pun pecah saat Kelana menghapus air matanya.
Kelana memandang Bening dengan perasaan aneh yang baru disadari. Rasa kagumnya pada Bening yang memiliki wajah dan tubuh yang sempurna itu ternyata bukan hanya rasa takjub saja, melainkan ada perasaan lain yang membuatnya berat untuk melepaskan Bening.
“Bang, Abang nggak akan tinggalin aku, kan?” Bening memeluk Kelana sangat erat, seperti seorang anak yang takut kehilangan ayahnya.