Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Putusan Pengadilan
"Baiklah Abah, aku akan berjanji tidak akan pergi ke club malam dan memakai pakaian mini lagi" jawab Aghnia, meskipun berat lebih baik ia meninggalkan club dan berpakaian mini daripada harus dikekang dengan aturan pondok tahfidz yang begitu membosankan baginya.
"Abah pegang ucapanmu. Sekali lagi kamu melanggar, maka bukan hanya pondok tahfidz, Abah akan menikahkan kamu dengan santri pilihan Abah", ustadz Lukman memberikan peringatan.
"Selama proses penyembuhan, umi akan menunggumu di sini. Abah akan urus bocah itu", lanjut ustadz Lukman. Nampak Aghnia hanya mengangguk patuh. Pandangan ustadz Lukman pun mengarah kepada Risti.
"Risti, awasi Aghnia. Kamu sudah menyembunyikan hal ini dariku. Apa kamu sudah tidak menganggap ku sebagai gurumu?", Risti nampak serba salah. Ia ditekan Aghnia karena dia putri gurunya. Karena itu lah dia tak berani melapor kepada ustadz Lukman.
"Saya minta maaf Abah. Mulai sekarang saya akan mengatakan yang saya tahu kepada Abah", janji Risti. Ustadz Lukman pun mengangguk. Ia tahu alasan Risti menyembunyikan hal ini pasti karena desakan Aghnia.
Waktu pun berlalu, hari ini, putusan hakim telah menyatakan bahwa Bimo bersalah dan dijerat hukuman 6 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni 12 tahun penjara karena luka parah yang diderita Aghnia akibat ulah orang suruhan Bimo.
"Yah, aku ngga mau membusuk di penjara", keluh Bimo.
"Diam lah bodoh! Ikut saja kataku", hardik Niko.
Ustadz Lukman memang kecewa karena pengadilan hanya memvonis separuh masa tahanan.
"Alhamdulillah, setidaknya dia sudah menerima sebagian hukuman", gumam ustadz Lukman, lantas menyerahkan segala urusan kepada kuasa hukumnya.
Bimo pun dijebloskan ke dalam sel penjara. Saat itu, Niko telah mengajukan proposal grasi melalui koneksinya.
"Kamu nikmati saja suasana di dalam karena kebodohanmu. Satu bulan sepertinya cukup untukmu. Setelah bebas, jangan berulah jika tak mau semakin parah", ucap Niko pada Bimo saat menjenguknya. Bimo hanya bisa tertunduk, ia harus menerima semua pengaturan ayahnya jika ingin segera bebas.
Ustadz Lukman dan keluarganya tidak mengetahui jika Bimo mendapat potongan masa tahanan lagi berkat koneksi ayahnya. Ayah Bimo rela merogoh uang lebih besar agar kasus anaknya tidak mencoreng nama baik keluarga dan Perusahaan yang telah ia bangun, pria itu juga sudah memindahkan anaknya dari kampus Islamik tanpa harus menunggu drop out.
Malik melihat Aghnia sedang menjelaskan di depan, pria itu tersenyum melihat Aghnia mengerlingkan mata, gadis itu menggambar grafik di papan tulis, sesekali menoleh melihat ke arah Malik. Malik menopang dagunya, tersenyum memandang Aghnia.
"Woy! Kesambet apa sih?" Tanya Bagas, menepuk pundak Malik dengan kencang.
"Kalem dong, sakit nih" keluh Malik, ia mengusap pundaknya
"Ototmu asli apa gimmick sih? Gitu doang sakit. Kenapa senyam senyum dari tadi?" Cecar Bagas
"Itu Aghnia" ucap Malik singkat, pria itu tersenyum memandang wajah Aghnia di depan.
Bagas seakan paham apa maksud Malik, melihat ke depan lalu melihat ke arah Malik, pria itu tidak melihat Aghnia di depan, hanya ada dosen wanita yang sudah berumur sedang menjelaskan. Bagas menepuk jidat Malik menyadarkan temannya yang sedang berhalusinasi.
"Apasih babi ganas" ledek Malik
"Huh! Nih orang, gaada akhlak emang ganti ganti nama" dengus Bagas
"nggak ada Aghnia di depan bego! Dasar tukang bubur!" jelas Bagas dengan wajah masam
Malik memandang wajah kusam Bagas lalu memperhatikan ke depan, Aghnia berubah menjadi dosen wanita tua. Tidak ada senyum manis, tidak ada kerlingan mata, hanya ada wajah keriput dan kaku tanpa senyum. Malik menggaruk tengkuknya heran.
Monica duduk di belakang Malik mendengar semua percakapan pria yang ia suka dengan Bagas, gadis itu menghela nafas panjang. Percintaannya begitu rumit. Apakah dirinya harus mundur, atau maju terus, meski harus berujung sakit hati.
Gadis itu tau Malik menyimpan rasa pada Aghnia, pesona sahabatnya itu memang tidak ada tandingannya. Namun Monic juga mencintai Malik. Ia mengingat pertama kali bertemu dengan pria itu.
Monica saat itu menjalankan misi mencari tanda tangan mahasiswa tingkat atas yang terlibat dalam orientasi studi dan pengenalan kampus, gadis itu berjalan menunduk memperhatikan buku yang ia pegang, menghitung jumlah tanda tangan yang ia dapat. Tak disangka ia menabrak punggung kekar.
"Aduh" lirih Monica, gadis itu mundur selangkah, mendongak memperhatikan siapa yang ia tabrak.
Pria itu membalikkan badannya, melihat tersangka yang menabrak dirinya.
"Eh, itu maaf aku tidak sengaja" ucap Monic tanpa melepas pandangannya dari pria di depannya. Paras pria di depannya membuat bunga bunga bermekaran di hati Monica.
"Namaku Monica" gadis itu mengulurkan tangan kanannya, mengajak Malik berkenalan.
Malik memandang tangan Monica, pria itu tersenyum lalu pergi tanpa menjabat tangan Monica. Jika wanita biasa pasti akan marah dan mengatai Malik sombong, berbeda dengan Monica, ia sedang dilanda kasmaran, gadis itu menarik tangannya. Memperhatikan Malik yang berjalan semakin jauh.
"Tunggu, pita di pundaknya warna kuning, sama denganku. Jadi kita satu jurusan. Yes!" Girang Monica, akan lebih banyak waktu berkenalan dengan Malik.
Monica bahkan sangat bahagia saat tahu Malik tidak hanya satu jurusan dengannya, tapi juga satu UKM. Keberuntungan yang tidak akan Monica sia siakan untuk mendekati Malik.
"Tadi Malik, sekarang Monica yang senyum senyum sendiri. Kalian ini kenapasih?" Ucap Bagas mengangetkan Monica yang sedang bernostalgia.
"Apasih Bagas, ganggu aja" protes Monica cemberut.
"Pinjem flashdiskmu, mau menyalin dokumen matematika ekonomi" pinta Bagas.
Monica mengambil flashdisk dalam tasnya, menyerahkan pada Bagas sekaligus menoyor kepala pria itu. Hingga pria itu mengaduh kesakitan.
Monica tidak melihat Malik di kursi samping Bagas, lalu ia melihat ke depan, dosen sudah pergi dan beberapa kursi juga kosong. Monica meringis, keasyikan bernostalgia sampai tak tahu jika kelas sudah bubar.
Di kontrakan, Aghnia tidur dipelukan uminya. Senakal nakalnya Aghnia, ia tetap merindukan sentuhan kasih sayang uminya. Faizah mengelus rambut anaknya dengan sayang, mencium puncak kepala gadis itu.
"Aghnia, putriku, apapun pola pikirmu, jangan lepas kehormatanmu dan jangan sekalipun menjual dirimu. Ingat itu ya sayang!" Pesan Faizah, mengusap punggung aghnia dengan sayang.
Aghnia memandang wajah Faizah, gadis itu mengangguk lalu menyembunyikan wajahnya di dada Faizah. Merasa sangat nyaman berada di pelukan umi Faizah.
"Apa perutmu masih sangat sakit?" Tanya Faizah.
"Tinggal sedikit nyerinya umi" Jawab Aghnia pelan.
"Apa tidak sebaiknya kamu mengajukan cuti di kampus dan umi rawat di rumah?" Tawar Faizah, karena akan lebih leluasa memasak dan merawat Aghnia jika dirumah sendiri.
Aghnia menggeleng, gadis itu enggan pulang kerumah. Akan sering bertemu abahnya ketika ia dirumah, gadis itu masih sedikit takut mengingat wajah abahnya saat marah.