Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keluarga Calista
"Selamat sore," sapa Mama Jessy dengan lembut ketika pintu dibuka.
"Selamat sore, Bu," jawab Mama Yesa dengan senyum tipis. "Ada apa ya?" tanyanya, meski raut wajahnya terlihat sedikit cemas.
"Saya ke sini untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting tentang Calista," Papa Damar menjawab dengan nada tenang namun tegas.
"Oh, baiklah, mari masuk. Silakan duduk di ruang tamu," Mama Yesa segera mempersilakan mereka masuk, walaupun rasa penasaran mulai menyelimutinya. Setelah mempersilakan duduk, ia memanggil anggota keluarga lainnya, "Papa! Calista! Juan! Resa! Sini, ada tamu," panggilnya dengan suara lantang. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk berkumpul di ruang tamu.
"Ada apa ini?" tanya Papa Artama, yang baru saja turun dari lantai atas, tampak bingung dengan situasi yang tiba-tiba.
Sementara mereka berbincang santai, sesekali bercanda mengenai Kenneth dan Calista, suasana mulai agak mencair. Namun di sudut ruangan, wajah Calista tampak sangat tegang. Berbeda dengan Kenneth yang sudah mulai lebih lega sejak mereka memutuskan untuk mengungkapkan semuanya hari ini.
"Sebelumnya, saya ke sini untuk memohon maaf atas kesalahan anak saya," ujar Papa Damar, mulai membuka pembicaraan serius.
"Maaf? Maaf apa, Pak? Saya tidak paham," tanya Papa Artama dengan bingung.
"Baiklah, langsung saja ke intinya. Anak saya, Kenneth, siap bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dibuatnya, karena Calista kini sedang mengandung anaknya," jelas Papa Damar dengan hati-hati.
"Calista?!" Resa dan Juan menatap ke arah Calista dengan kaget. Wajah mereka dipenuhi pertanyaan dan ketidakpercayaan.
"Apa maksudnya ini?" Mama Yesa menoleh tajam ke arah Calista, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.
Kenneth, dengan suara yang tenang namun tegas, menjawab, "Saya, Kenneth, telah membuat Calista hamil, dan saya datang ke sini untuk meminta izin menikahinya. Saya berjanji akan bertanggung jawab sepenuhnya atas hidup Calista dan anak kami."
"Apa yang kamu katakan?!" teriak Juan kaget, hampir berdiri dari duduknya.
"Calista!" Papa Artama berteriak, suaranya terdengar marah. "Cepat bilang ke Papa kalau ini tidak benar! Biar Papa tidak salah paham. Cepat!" Nada suaranya tegas, menuntut penjelasan.
Dengan suara bergetar, Calista mengangguk sambil mulai menangis, "Maaf, Pa. Calista memang hamil anak Kenneth."
"Astaga, Calista!" seru Resa, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
"Jangan bercanda, Calista! Papa serius ini!" Papa Artama semakin marah, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Papa!" teriak Calista, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Aku benar-benar hamil anak Kenneth. Ini bukan bercanda!" teriaknya lagi, membuat semua orang di ruangan itu terdiam.
"Dimana harga dirimu, Calista?! Kamu bikin malu keluarga!" teriak Papa Artama sambil berdiri, hendak menampar Calista.
"Papa!" "Om!" Kenneth, Resa, dan Juan serentak menahan Papa Artama sebelum tangannya sempat melayang ke wajah Calista. Kenneth segera berdiri di depan Calista, melindunginya.
Resa memeluk erat adiknya yang mulai menangis tersedu-sedu. "Papa, jangan tampar Calista! Dia adikku! Kalau Papa mau nampar dia, Papa harus tampar aku juga!" katanya tegas, dengan suara penuh emosi.
Juan juga mencoba menenangkan Papa Artama, "Papa, Calista sedang hamil. Jangan lakukan itu."
Kenneth, yang masih berdiri di depan Papa Artama, berkata dengan tenang namun penuh ketegasan, "Om boleh nampar saya, tapi saya mohon jangan sakiti Calista. Dia mengandung anak saya, dan saya tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada mereka."
Papa Artama menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Sementara itu, Mama Yesa mulai menangis, dan Resa serta Juan sibuk menenangkan Calista yang merasa bersalah dan ketakutan.
"Kalian pikir jadi orang tua itu mudah?!" Mama Yesa tiba-tiba bersuara, nada suaranya terdengar penuh kekecewaan. "Menjadi orang tua itu sangat sulit! Mama pikir selama ini Mama sudah mendidik kamu dengan baik, Calista. Tapi ternyata Mama salah! Mama gagal mendidik kamu jadi anak yang bermartabat!" suaranya bergetar karena emosi yang memuncak.
"Menjadi orang tua itu bukan hanya soal siap secara lahir, tapi juga batin!" lanjut Mama Yesa sambil menyeka air matanya. "Kalian tidak boleh hanya memikirkan enaknya saja. Kalian harus memikirkan tanggung jawab besar yang ada di depan mata."
Mama Yesa berhenti sejenak, menatap dalam-dalam ke arah Calista dan Kenneth. "Kamu lihat kakakmu, Resa, ketika hamil Jehar? Kakakmu mengalami kesakitan luar biasa, meskipun dia sudah cukup matang untuk menjadi ibu. Dan kamu, Calista, masih muda. Bagaimana kamu nanti?"
Juan, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. "Sekarang semua sudah terjadi, kita harus fokus pada solusinya. Kalian harus segera menikah," sarannya dengan nada bijak.
Papa Artama, yang sudah sedikit tenang, menatap Kenneth dengan tajam. "Kalau kamu mau menikahi anak saya, kamu mau kasih makan dia apa? Kalian berdua masih kuliah. Bagaimana rencanamu?"
Kenneth, dengan penuh keyakinan, menjawab, "Saya akan bekerja, Pak. Saya akan mencari nafkah untuk Calista dan anak kami. Saya berjanji akan berjuang keras demi mereka."
Mendengar jawaban Kenneth, Papa Damar dan Mama Jessy yang duduk di sampingnya terharu. Mereka merasa bangga bahwa anak mereka berani bertanggung jawab atas perbuatannya.
Juan menambahkan, "Kenneth bisa bekerja sementara di perusahaan saya sampai dia lulus kuliah. Dia bisa mulai kapan saja."
Mendengar hal itu, Papa Artama kembali membuka suaranya, kali ini dengan nada yang lebih tenang, "Baiklah. Kalau memang begitu rencananya, kalian harus menikah secepatnya."
Suasana yang semula tegang mulai mencair. Semua orang mulai menghela napas lega, meski perjalanan ke depan masih panjang. Kenneth menatap Calista dengan tatapan penuh kasih, sementara Calista, meski masih penuh rasa takut, tahu bahwa dia tidak sendiri. Keluarga mereka kini telah menerima kenyataan, dan mereka akan menempuh jalan ini bersama-sama.
Kenneth meraih tangan Calista, menggenggamnya erat sebagai bentuk janji dan dukungan. Di tengah-tengah kebingungan, kecemasan, dan air mata, mereka tahu satu hal: mereka akan menghadapi semuanya bersama. Dengan restu keluarga, mereka kini bersiap untuk memasuki fase baru dalam hidup mereka—menjadi orang tua muda yang penuh tanggung jawab.