Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dihukum
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Suram.
Seperti itulah kalau digambarkan selama dua minggu terakhir di hidup gue.
Gue dikurung, cuma boleh keluar rumah buat sekolah, dan harus langsung pulang begitu bel sekolah berbunyi.
Walaupun sudah bersumpah mati di depan nyokap kalau Anan enggak ada di hidup gue, tapi gue tetap dihukum.
Gue, sih jalanin saja, soalnya nyokap benar juga. Gue memang salah. Mungkin kalau Anan benaran jadi pacar secara resmi, gue punya alasan buat bela diri, dan nyokap bakal mengerti. Tapi kalau begini hubungan gue sama Anan, gue enggak bisa berharap Nyokap bisa ngertiin kenapa gue mau sama cowok yang enggak niat punya hubungan serius.
Terakhir kali ketemu Anan dia baik banget. Tapi dia enggak bisa bilang kalau gue ini spesial buat dia. Gue enggak butuh dia ngomong "gue cinta lo," gue cuma ingin dia kasih gue sedikit kepastian, bukti kalau dia merasakan sesuatu buat gue, bukan sekadar nafsu doang.
Dua minggu ini gue enggak dengar kabar apa-apa dari Anan. Gue juga enggak pernah mengintip dari jendela buat cari tahu tentang dia.
Buat apa juga?
Apa yang bakal gue dapat?
Menyakiti diri sendiri lebih parah lagi?
Enggak. Gue sudah cukup babak belur.
Ada satu sisi dari diri gue yang merasa obrolan sama nyokap kemarin bikin gue balik lagi ke diri gue yang dulu. Kepolosan yang gue punya dulu seperti muncul kembali.
Walaupun dari semua yang gue kasih ke Anan, itu sebenarnya bukan salah dia. Dia enggak memaksa, gue yang memutuskan buat kayak begini.
Terus, yang paling nyesek dari semua ini apa?
Gori.
Anehnya, bukan tamparan nyokap yang bikin hati gue remuk. Tapi Gori.
Gue merasa dikhianati, sumpah.
Gori cerita semuanya ke nyokap gue, semuanya.
Rasanya sakit banget. Dia sahabat gue dari kecil, selalu ada buat gue. Tapi dia melakukan itu, dan gue benar-benar terluka. Gue enggak tahu dia melakukan itu karena mengira itu yang terbaik buat gue atau cuma gara-gara cemburu, tapi bagaimana pun juga itu salah.
Gue percaya sama dia, dan dia menghancurkan kepercayaan gue segampang itu.
Pas gue cerita ke Niria soal apa yang Gori lakukan di rumah, dia marah banget. Dia bahkan mengancam mau mukulin Gori. Gue sampai harus menenangkan dia, paksa dia buat janji enggak serang Gori.
Gue capek banget sama drama dan masalah. Gue cuma ingin waktu terus jalan, biar luka ini sembuh, biar perasaan ini hilang.
Iya, gue butuh keajaiban.
Orang mungkin mengira Gori bakal cari gue, minta maaf dan merayu buat baikkan. Tapi enggak, dia malah menghindar, menunduk tiap kali ketemu gue di lorong sekolah.
Gue sempat ingin hadapi dia, teriak di mukanya, bahkan tampar dia. Gue ingin dengar alasannya, tapi gue sudah enggak punya lagi energi atau semangat buat melakukan itu.
Asta sama gue sekarang jadi lebih dekat. Tapi setiap bareng dia, gue enggak bisa enggak ingat sama kakaknya.
Ya sudah, gue tahan saja, karena Asta enggak salah apa-apa, dengan apa yang terjadi antara gue sama Kakaknya.
Gue ambil napas panjang. Hari Sabtu, dan gue lagi bersihin rumah. Gue kayak zombi yang bergerak secara otomatis. Kayaknya gue memang lagi depresi dikit. Enggak tahu ini karena patah hati, masalah sama nyokap, atau drama sama Gori. Mungkin semuanya campur jadi satu.
Anoi, anjing gue, duduk sambil menyenderkan moncongnya di atas kakinya. Dia lihatin gue seakan mengerti gue lagi enggak baik-baik saja. Gue jongkok di depannya, mengelus kepalanya. Dia menjilat jari gue.
“Lo sama gue, kita lawan dunia, Noi,” kata gue.
Nyokap mengintip dari pintu kamar, dia pakai seragam perawat. “Mama berangkat ya, shift malam, nih.”
“Oke.”
“Jangan keluar, ya. Jangan terima tamu kecuali Niria.”
“Iya, Ma.”
Ekspresi nyokap yang tadi keras mulai sedikit melunak. “Nanti Mama bakal telepon sesekali.”
Kata-katanya bikin gue langsung bangun dari mode autopilot. “Seriusan?”
“Iya, karena Mama udah kasih kamu kepercayaan, tapi malah kamu pakai buat pergi dugem sama bawa cowok ke rumah.”
“Ma, Zielle, kan enggak ngelakuin kriminal, cuma…”
“Diam. Mama udah telat. Mama harap kamu bisa nurut.”
Gue cuma bisa pasang senyum dengan terpaksa sambil mengepukkan tangan di samping badan. Gue enggak percaya ini semua kejadian. Hubungan gue sama nyokap sekarang jadi retak, dan semuanya gara-gara Gori.
Dia pikir dia siapa, cerita rahasia gue ke nyokap kayak begitu?
Bulan mulai turun, kamar gue sudah gelap gulita. Gue malas banget gerak buat nyalain lampu. Tiba-tiba, suara bel rumah bikin gue kaget.
Gue lihat dari lubang intip di pintu, dan di situ ada Gori. Mantan sahabat gue, berdiri menunggu terlihat enggak sabaran. Dia pakai hoodie favoritnya sama topi rajut. Kacamatanya berembun. Pasti dingin banget di luar.
Gue kepikiran buat enggak bukain pintu, tapi enggak tega juga meninggalkan dia kedinginan.
“Gue tahu lo di dalam, Zielle. Bukain pintunya, dong.”
Dengan terpaksa, gue buka pintu, terus langsung balik badan buat jalan ke tangga. Gue dengar pintu tertutup pelan di belakang gue.
“Zielle, tunggu bentar.”
Gue cuekin dia dan terus jalan, mulai naik tangga. Tapi dia malah tarik tangan gue, membalikkan badan gue ke arah dia. “Tunggu!”
Gue langsung tepok tangannya dan dia lepaskan cengkeramannya. “Jangan sentuh gue!”
Dia angkat tangannya, menunjukkan kalau dia menyerah. “Oke, oke. Gue cuma mau lo dengerin. Kasih gue waktu beberapa menit aja.”
“Gue enggak mau ngomong sama lo.”
“Kita udah sahabatan seumur hidup, masa gue enggak pantes dapet beberapa menit?” Dia sorot gue dengan tatapan minta tolong. Gue tatap balik dengan dingin. “Lima menit aja, abis itu gue bakal pergi.”
Gue menyilangkan tangan di dada. “Oke. Ngomong sekarang!”
“Gue harus ngelakuin ini, Zielle. Lo udah terlalu terlena sama dia. Lo tahu, enggak, seberapa sakitnya gue ngelihat lo dipermainkan terus-terusan, dan lo malah ngebiarin itu terjadi? Gue tumbuh bareng lo dari kecil, gue peduli sama lo.” Dia tunjuk dadanya. “Lo sahabat terbaik gue, dan gue cuma pengen yang terbaik buat lo.”
“Dan lo pikir, ngelaporin semuanya ke nyokap gue itu solusinya?”
“Sayangnya, iya. Kalau gue ngomongin langsung sama lo, lo pasti enggak bakal dengerin gue.”
“Pasti gue dengerin!”
“Ayolah, jujur deh, Zielle. Enggak bakal. Lo pasti mikir gue cemburu, terus lo abaikan gue. Lo udah terlalu buta sama cinta lo ke dia sampai enggak bisa ngelihat apa-apa lagi selain itu.”
“Waktu lo tinggal dua menit.”
“Lo ingat, enggak apa yang lo bilang ke gue pas Natal tahun lalu? Waktu lo nyemprot gue dan bilang udah waktunya gue buat maafin bokap gue?”
Gue meremas bibir. Gue ingat, tapi gue enggak mau mengaku. “Enggak, gue enggak ingat.”
Dia kasih gue senyuman sedih. “Gue waktu itu marah banget sama lo. Gue teriak, bagaimana bisa lo belain dia, lo tuh sahabat macam apa? Dan lo jawab, Sahabat sejati adalah orang yang ngomongin kebenaran langsung di depan muka lo, walaupun sakit dan nyakitin.”
Gue benci banget dia melempar kata-kata gue balik ke gue.
“Itu beda, Gori. Gue ngomong langsung ke lo, bukan ngegosip ke bokap lo.”
“Iya, lo ngobrol sama gue, dan gue dengerin. Tapi kemaren, lo enggak bakal ngedengerin gue, Zielle. Gue tahu itu, dan lo juga tahu.” Dia diam sebentar, menunggu reaksi gue.
“Waktu lo habis,” kata gue sambil balik badan, enggak melihat ke dia lagi.
Gue dengar gumam kekecewaannya, “Zee…”
“Jangan panggil gue Zee lagi!” Suara gue keluar lebih dingin dari yang gue duga. “Makasih karena udah jelasin. Tapi, apa pun alasan lo, lo udah ngehancurin kepercayaan yang gue bangun bertahun-tahun cuma dalam beberapa menit, dan gue enggak tahu apa itu bisa diperbaiki. Selamat malam, Gori!”
Gue tinggalkan dia di ujung tangga, seperti ksatria yang lagi menunggu tuan putrinya turun. Bedanya, dia sendiri yang menghancurkan semua kesempatan buat bisa dekat sama "putri" itu.
Pas gue sampai kamar, gue dengar dia keluar dan tutup pintu. Gue tarik napas panjang, berat banget, terus gue jalan lagi. Melihat ke arah jendela. Jendela yang menjadi awal dari semuanya.
...────ᯓᡣ𐭩────...
...“Lo pake Wi-Fi gue?”...
...“Iya.”...
...“Tanpa izin gue?”...
...“Iya.”...
...────ᯓᡣ𐭩────...
Dasar idiot.
Senyum sedih muncul di bibir gue. Gue duduk di depan komputer, terus bayangan Anan yang dulu jongkok di depan gue buat benerin router langsung muncul di kepala.
Gue lirik jendela itu lagi, dan hampir bisa terbayang dia memanjat masuk tanpa izin. Gue geleng-geleng kepala.
Apa, sih yang salah sama gue?
Sudah, stop melihat dia ada di mana-mana.
Ini enggak sehat.
Karena enggak ada kerjaan, gue buka Instagram. Tapi bukan akun gue yang asli, ini akun palsu yang dulu pernah gue bikin buat nge-stalking Anan. Tapi, akun itu sudah lama enggak gue pakai.
Masalahnya, Anan masih gue blokir di akun asli, jadi gue enggak punya pilihan selain pakai akun fake itu lagi.
Nge-stalking Instagram dia enggak bakal bikin gue rugi, kan?
Enggak ada salahnya, cuma lihat.
Profil dia enggak ada postingan baru. Isinya cuma foto-foto yang di-tag orang lain.
Foto terbaru?
Tentu saja dari Anggi. Di foto itu mereka lagi di bioskop. Anggi ketawa mulutnya penuh popcorn, dan Anan lagi pegang popcorn juga, seperti lagi menyuapi dia. Caption-nya bikin mual, “Nonton sama si gila yang selalu bikin hari-hari gue cerah”.
Duh.
Lebay.
Gue scroll lagi ke bawah. Isinya cuma postingan orang-orang yang nge-tag dia, foto-foto dari pertandingan bola dua minggu lalu, dan ucapan selamat kayak, “Lo keren banget!” atau semacamnya.
Gue cuma putar mata sambil mikir, “ya udah, puasin aja bikin dia makin besar kepala. Kayak dia kurang sombong aja.”
Gue balik lagi ke foto dia sama Anggi. “Iya, gue tahu, gue emang enggak pantas.”
Akhirnya, gue tutup Instagram itu dan memutuskan buat tidur.
Gue enggak mau memikirkan apa-apa lagi.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Suara HP bikin gue bangun. Gue buka mata setengah, tapi rasanya susah banget fokus.
Masih agak gelap, jam berapa sih ini?
HP masih berbunyi, dan gue meraba meja samping tempat tidur, enggak sadar sudah menjatuhkan semua barang. Akhirnya gue angkat telepon itu tanpa lihat layarnya.
...📞...
^^^“Halo?”^^^
“Pagi.”
Suara nyokap menjawab dari seberang.
“Bangun, gih.”
^^^“Ma, ini kan Minggu. Apa sekarang Zielle juga enggak boleh tidur?”^^^
“Mama baru bisa pulang siang nanti. Tolong bersihin rumah sama siapin cucian kotor buat dicuci nanti sore.”
^^^“Oke.”^^^
Setelah menutup telepon, gue cepat-cepat sikat gigi dan mulai turun ke bawah. Tapi bel rumah bunyi lagi, bikin gue kaget.
Jangan-jangan Gori balik lagi?
Kalau dia pikir dengan datang ke sini setiap hari bakal bikin gue berubah pikiran, dia salah besar.
Bel bunyi lagi, dan gue menggerutu sambil teriak, “Iya, iya, gue dateng!”
Bisa enggak, sih menunggu sebentar?
Gue pernah bilang belum, kalau bangun pagi itu adalah musuh gue?
Dan serius, gue enggak ada tenaga buat ribut sama Gori sekarang.
Bel berbunyi lagi, buru-buru gue jalan ke pintu dan membukanya.
Dan gue berhenti bernapas.
Hal pertama yang terasa itu dinginnya angin pagi. Tapi yang bikin gue benaran membeku adalah siapa yang ada di depan gue sekarang. Seseorang yang enggak pernah diduga bakal datang.
Anan Batari.
Jantung gue langsung salto, terus lari maraton. Dia berdiri di depan gue, terlihat seperti orang yang enggak tidur semalaman. Rambutnya berantakan, ada lingkaran hitam besar di bawah mata indahnya. Dia pakai kemeja putih yang sudah lecek, dan beberapa kancing atasnya terbuka.
Dia senyum kecil, senyum yang konyol tapi bikin dada gue makin sesak.
“Hai, penyihir.”