Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Suasana di kantor pagi itu terasa sedikit berbeda dari biasanya. Beberapa karyawan berbicara dengan suara rendah, saling berbisik di sudut-sudut ruangan, mengarah pada papan buletin yang baru saja dipenuhi dengan sebuah postingan anonim yang menyebar dengan cepat.
Dina yang baru sampai, berjalan tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, berjalan santai menuju meja kerjanya. Namun, langkahnya terhenti ketika Tiara dengan cepat mendekat dan menghadangnya.
"Jadi, kamu merasa tidak ada yang tahu ya?" Tiara melontarkan pertanyaan tajam, tatapannya dingin dan penuh curiga.
Dina yang tidak mengerti apa yang dimaksud, menatap Tiara bingung. "Apa maksudmu, Tiara? Aku tidak mengerti..."
Tiara mengangkat ponselnya, memperlihatkan gambar yang diambil dari papan buletin. Dina memandang foto itu dengan matanya yang terbelalak, menyaksikan fotonya yang sedang keluar dari apartemen milik Fifi, disertai dengan caption menyudutkan: "Dina, pegawai baru yang menggoda eksekutif Mentari Grup untuk memuluskan karirnya."
Dina merasa seluruh tubuhnya kaku, otaknya berputar-putar mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. "Ini tidak benar, Tiara," katanya, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu siapa yang mengupload itu, itu bukan seperti yang kamu pikirkan!"
Namun Tiara tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan lebih jauh. "Jadi, kamu kira kita semua bodoh, Dina? Keluar dari apartemen seorang eksekutif, dan mengharapkan tidak ada yang curiga?" Tiara menyindir dengan nada tinggi, membuat perhatian beberapa karyawan teralihkan.
Dina merasa hatinya berat, semua matanya kini tertuju padanya. Dia ingin berteriak, ingin melawan, namun kata-kata itu terasa tercekik di tenggorokannya. Dia mencoba menarik napas panjang, berusaha tetap tenang.
Tiara mendekat dengan senyuman tajam yang terukir di wajahnya, seolah menikmati setiap detik dari ketegangan yang tercipta. "Tentu, kamu sudah terbiasa memulai sesuatu yang baru setelah pernikahanmu gagal, kan, Dina?" Tiara berkata, nadanya semakin pedas, menambahkan rasa sakit pada setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Janda yang mencoba memanfaatkan setiap kesempatan untuk kembali ke atas. Apa kau seputus asa itu menginginkan kasih sayang lelaki?"
Dina merasa seolah-olah tamparan itu mengenai wajahnya. Kata-kata Tiara menyentuh luka lama yang belum sembuh. Perasaan malu dan cemas kembali menghantui, membuatnya hampir ingin menangis di depan semua orang.
"Jangan kamu pikir aku tidak tahu," Tiara melanjutkan, "Semua orang di sini sudah mulai bicara. Kamu baru datang dan sudah berusaha menggoda atasanmu hanya untuk bisa melangkah lebih jauh di perusahaan ini. Sungguh tak malu."
Dina merasa tubuhnya terhimpit, terpojok dalam kebohongan yang bahkan tidak ia buat. "Itu tidak benar, Tiara! Aku tidak pernah berbuat seperti yang kamu katakan," suara Dina sedikit lebih keras, mencoba mempertahankan martabatnya meskipun hatinya hancur.
Namun Tiara tidak peduli. Dengan tawa sinis, dia melangkah mundur sedikit dan menatap Dina penuh kemenangan. "Oh, kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa. Cukup lihat dirimu, Dina. Semua orang tahu siapa kamu sekarang."
Dina, dengan gemetar di dalam, berusaha menjaga ketenangannya. Di dalam hatinya, dia ingin berteriak, ingin memberitahu mereka semua bahwa itu adalah kebohongan besar, tapi keadaan dan ketegangan yang diciptakan Tiara membuatnya hampir kehilangan kendali.
"Apa pun yang kamu katakan, itu tidak akan mengubah apa yang sudah ada di sini." Tiara melambaikan tangan di depan wajah Dina, mengisyaratkan bahwa tidak ada ruang lagi untuk pembelaan. "Semoga kamu bisa menghadapi akibatnya."
Dina hanya bisa menatapnya, tak tahu lagi harus berkata apa.
...****************...
Ketegangan di ruangan itu terasa semakin memuncak saat Aldo dan Ferdi memasuki area tersebut. Mereka berdua tampak seperti bintang di tengah kerumunan, hadir dengan aura yang berbeda dari semua orang di sekitarnya.
Ferdi, dengan penampilannya yang tenang namun penuh wibawa, langsung menyadari ketegangan yang meliputi suasana di ruangan itu. Pandangannya dengan cepat melirik ke arah Dina, yang tampak lebih terguncang daripada biasanya, dan kemudian beralih ke Tiara yang berdiri dengan senyuman penuh kemenangan di sudut ruangan.
Aldo, yang selalu menyukai kesempatan untuk bersikap lebih vokal, langsung bertanya dengan nada santai namun tegas, "Ada apa ini? Kenapa suasananya begitu tegang?"
Ferdi mengalihkan pandangannya ke Tiara yang masih berdiri dengan sikap provokatif. "Tiara, apa yang sedang terjadi di sini?" suaranya tidak terangkat tinggi, tetapi cukup keras untuk menandakan bahwa dia tidak menyukai apa yang sedang terjadi.
Tiara tampak sedikit terkejut melihat Ferdi dan Aldo masuk, namun dia segera mengendalikan dirinya dan menyunggingkan senyum tipis. "Oh, hanya sedikit masalah kecil di antara rekan-rekan kerja," jawabnya dengan nada yang agak menggelitik. "Tidak ada yang penting, Pak Ferdi. Hanya perbedaan pendapat yang biasa."
Ferdi mengangguk pelan, tapi sorot matanya tidak berpaling dari Tiara. "Perbedaan pendapat harus diselesaikan dengan cara yang profesional," jawabnya, suaranya tegas. "Dina, apakah ada yang bisa saya bantu?"
Dina tampak semakin gugup saat melihat Aldo dan Ferdi masuk ke ruangannya. Ia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya, terutama setelah mendengar bisik-bisik rekan-rekannya mengenai postingan yang tersebar. Namun, saat itu juga, Reno, asisten Ferdi, melangkah maju dengan ponselnya.
"Pak Ferdi, Pak Aldo," Reno memanggil mereka dengan nada serius, kemudian menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan foto Dina yang sedang keluar dari apartemen Fifi, beserta caption menghina yang menyebutkan bahwa Dina menggoda eksekutif untuk memuluskan karirnya.
Ferdi dan Aldo sama-sama terkejut, dan ekspresi mereka langsung berubah. Ferdi, yang biasanya tenang, kini tampak marah, matanya menatap layar ponsel dengan tajam. Sementara itu, Aldo yang biasa ceria, juga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, meskipun dia berusaha tetap tenang.
"Siapa yang mengunggah ini?" Ferdi bertanya dengan nada yang penuh tekanan, suaranya lebih berat dari biasanya.
Reno mengangkat bahu, menunjukkan bahwa dia tidak tahu pasti siapa yang bertanggung jawab. "Sepertinya itu postingan anonim, Pak," jawabnya.
Dina yang berdiri beberapa langkah di belakang mereka, merasa hatinya semakin berat. Dia bisa merasakan perubahan suasana yang tiba-tiba, dan semua mata kini tertuju padanya. Meskipun begitu, dia tidak bisa menahan rasa kecewa dan bingung yang kini menggerogoti hatinya. "Pak Ferdi... saya tidak tahu ini bisa terjadi," ucapnya pelan, dengan suara bergetar.
...****************...
Aldo yang awalnya terdiam, kini meledak dengan tawa keras yang menggetarkan ruangan. "Ha! Benar-benar bodoh," katanya dengan nada geli, melihat semua orang tampak terkejut. "Kalian semua benar-benar mempercayai postingan itu?"
Dia menggerakkan tangannya dramatis, seolah mengabaikan kebingungannya. "Begini ceritanya, bukan cuma ada Ferdi dan Dina saat itu, tapi juga ada saya dan—oh, tentu saja—tanteku yang bernama ibu Rita Santoso, pemilik dari Mentari Grup tempat kalian bekerja sekarang" Aldo melanjutkan, suara sarkasme-nya semakin terdengar jelas.
"Ferdi hanya meminta bantuan Dina yang memang sudah dikenal baik oleh ibu Rita, dan saya juga disana membantu membersihkan apartemen milik almarhum Fifi, karena apartemen itu mau disewakan. Dan ya, yang mengawasi pembersihan itu tentu saja ibu Rita, karena seperti yang kalian tahu, apartemen itu milik almarhum Fifi, anak perempuan bu Rita yang meninggal beberapa bulan lalu"
Aldo menatap Tiara dengan tatapan penuh sindiran, sebelum menambahkan, "Jadi, apakah kalian masih percaya dengan cerita murahan itu? Atau masih ingin berdebat?"
Tiara yang mendengar penjelasan Aldo terlihat bingung, mulutnya terkatup rapat. Namun, ia masih tidak mau menyerah begitu saja. Dengan penuh kebencian, Tiara melontarkan tuduhan lagi, mencoba menyudutkan Dina. "Kalau seperti itu, kenapa tidak meminta bantuan petugas kebersihan yang lebih ahli" Tiara mendesak, merasa seolah berhasil meluncurkan serangan balik.
Aldo menatap Tiara dengan ekspresi yang berubah serius, namun tetap mempertahankan sikapnya yang penuh percaya diri. "Tiara, jika kamu ingin tahu lebih lanjut, kamu bisa bertanya langsung pada bu Rita. Atau lebih tepatnya, saya bisa bantu carikan waktu untuk kamu bicara dengan beliau," katanya dengan nada sinis, seolah mengundang Tiara untuk mempertanyakan semuanya pada Rita. "Bagaimana, berani coba?"
"Lagipula, kamu pikir bosmu ini akan menyetujui sembarangan orang masuk ke apartemen itu, aku saja masih bisa dihitung dengan jari kapan memasuki apartemen tersebut" sinisnya disambut anggukan kepala oleh Ferdi.
Tiara tercengang. Dia tahu bahwa sebagai seorang karyawan biasa, tidak mudah bagi dirinya untuk bisa bertemu langsung dengan Rita, apalagi bertanya soal hal-hal pribadi yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaannya. Tiara mulai merasa kekehnya menguasai situasi perlahan-lahan runtuh.
Dengan frustrasi yang mulai meluap, Tiara menahan amarahnya namun tidak bisa mengatakan apapun lagi.
Suasana di ruang itu pun berubah menjadi hening, dengan Tiara yang masih terlihat cemas dan terpojok, sementara Dina, yang merasa sedikit lega, akhirnya bisa bernapas dengan tenang.
"Tunggu apalagi kalian? Kenapa masih berkumpul disini dan bukannya bekerja? Mau dipecat atau potong gaji?" tanya Aldo tegas.
Sontak semua kerumunan langsung menghambur ke posisinya masing-masing, meskipun beberapa diantara mereka masih dilanda rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.
...****************...
aku kl masalh bayi di adopsi hnya untuk kepentingan sungguh gk tega. aku gk setuju kl yg bgini. tari bukan tulus ma si bayi tp modus. dah di kasih penyakit ma karma bkn insyaf mlh makin menjadi.