Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Pamit
Dari kesatuan Jagat dan beberapa lainnya berangkat menuju markas besar tentara negri. Mengingat besok pagi akan diadakan upacara pelepasan pasukan garuda, pasukan yang mewakili negara untuk perdamaian dunia di bawah naungan perserikatan bangsa-bangsa.
Dika masih bertelfon ria dengan keluarganya di kampung, dan ia....kasih kabar sudah, pamit sudah, minta do'a restu sudah. Jagat yang sudah menggendong tasnya, menunggu rekan supir yang membawa mobil kesatuan untuk mengantarnya dan rekan lain di parkiran.
Gertakan sepatu delta mengisi kejenuhan menunggu, pelukan baret kebangaan di kepala tak mengganggu lamunannya tentang Aza.
Apa minta ijin dulu? Pamit minimalnya....
Melihat Dika masih merengek minta ng'Asi sama mboknya, Jagat merogoh ponsel dari saku celana gamblok kanannya.
Menscroll dan mencari nomor Aza, yang ternyata belum ia simpan itu.
Hay Za....ia menggeleng dan hapus kembali kata-kata so akrabnya.
Assalamu'alaikum Aza. Awal yang bagus untuk seorang muslim, karena tak ada sapaan terbaik kecuali salam. Namun setelah itu, Jagat kembali terdiam, jemarinya membatu di tempat demi kebingungan akan mengetik apa setelah itu.
Susahnya, ketimbang pamit doang!
Jagat menggeleng merutuki kebodo hannya dan masih berpikir keras, hingga tak menyadari jika Dika sudah berada di sampingnya berdiri bersandar pada badan mobil.
"Lagi apa kamu, Gat? Ngitungin bon utang sama mbak yu Siti?" tuduhnya membuyarkan 2 kata lainnya yang baru saja dirangkai Jagat sehingga pria itu berdesis kesal.
"Berisik kamu. Saya ngga punya utang lagi, minggu lalu pun sudah saya bereskan. Mungkin kamu yang punya..." baliknya membuat Dika nyengir.
"Bok ya mbayar Dik, kita nugas lama di Kongo..." omel Jagat.
"Iya iya...nanti saya transfer. Terus kamu lagi ngetik opo to? Surat cinta?" tembaknya hampir benar dan membuat Jagat sedikit tersentak.
Dika terkekeh melihat ekspresi Jagat, "gembel...Gat...Gat...ngga maen cuma dikasih pesan. Bok ya telfon dong, ngga punya kuota? Wifiiii! Tau password kesatuan ndak kamu?" lantas Jagat menghadiahinya dengan toyoran keras, "si alan. Aku ngga kaya kamu, Dik. Sembarangan bilang aku ngga ada kuota. Aku cuma lagi bingung, gimana bilangnya..." akui Jagat.
"Oalahhhh! Tak kira apa, sini biar kangmas Dika ajarkan!" serdadu flamboyan itu menunjuk dirinya sendiri dan merebut ponsel Jagat layaknya copet. Ia cukup dibikin gemas oleh Jagat, "apa-apaan ini, nomor calonmu belum kau save to Gat?! Gembel kamu..." omel Dika.
Dear Azalea....cah ayu....kangmas ijin----
Baru saja beberapa kata, Jagat kembali merebut ponsel miliknya yang dimainkan Dika, "sini! Kata-katamu Dik, bikin orang ilfeel sakit perut dia nanti kalo baca!"
Dika tertawa tergelak, lantas Jagat sedikit bergeser posisi memberikan jaraknya dari Dika, agar tak terdistrack oleh Dika.
Aza masih anteng dengan laptopnya bersila di atas kasur empuk dan segelas kopi instan seduhnya.
Gadis itu men-scroll kursor demi membaca artikel dan informasi tentang negara yang akan ia sambangi.
RDK (Republik Demokrat Kongo) menghadapi berbagai krisis kesehatan, diantaranya :
Kolera, pada Juni 20XX. RDK melaporkan 24.564 kasus dengan 156 kematian.
Campak, pada tahun 20XX, melaporkan 136.000 kasus termasuk 2000 kematian.
Mpox yang sepanjang tahun hingga sekarang sudah tersebar di 26 provinsi, melalui kontak langsung dengan penderita dan hewan yang terkontaminasi.
Dan alis Aza semakin mengernyit kritis ketika semakin ke bawah ia menemukan penyakit mematikan lainnya, wabah Ebola yang terjadi sejak September 19XX telah tercatat sampai 3400 kasus sampai di tahun 20XX dengan angka kematian yang fantastis mencapai 2200 orang.
Dan masih banyak lagi masalah kesehatan lainnya yang diakibatkan oleh kekurangan pelayanan kesehatan, infrastruktur yang tidak memadai, konflik kelompok bersenjata yang mempengaruhi kemampuan menyediakan perawatan kesehatan, air yang berbahaya, banjir, krisis iklim dan sejumlah alasan lainnya.
Aza berdecak diantara pantulan kacamata bacanya yang kemudian ia dorong lebih menempel di pangkal hidung.
"Ck...ck..." decaknya, ingin mundur tapi itu sungguh bukan dirinya. Ia justru semakin yakin, jika kepergiannya kali ini akan semakin memukuskan langkahnya untuk meraih gelar sarjana terbaik di fakultas kedokteran.
*Ting*!
Aza menoleh sejenak ke arah sampingnya, dimana ponselnya menyala dan berdenting layaknya kaca yang diketuk.
***Jagat***
*Assalamu'alaikum Aza. Bagaimana kabarnya malam ini? Semoga dalam keadaan sehat dan baik. Maaf untuk perkenalan yang kurang baik kemarin, insyaAllah lain pertemuan saya akan memperkenalkan diri dengan baik. Saya ijin pamit, besok saya harus melaksanakan tugas negara (luar) dan kemungkinan akan lama. Semoga dek Aza sehat selalu disana*.
*Wassalam, Jagat*.
Aza menaikan kedua alisnya dan melepas kacamata yang bertengger, "oh, mau nugas luar..." angguk-angguknya.
***Azalea***
*Wa'alaikumsalam bang Jagat. Iya, Aza do'ain abang selalu ada dalam lindungan Allah, maafin Aza udah pernah ngerepotin bang Jagat, jaga kesehatan dan diri*.
Balas Aza terkirim, lantas Aza mengeluarkan kolom informasi dari republik kongo, dan kini mulai membaca berita di laman guugle'nya. Hingga berita terkini mengatakan jika markas besar tentara negri akan memberangkatkan sejumlah personel gabungannya dalam satu pasukan demi misi perdamaian dunia.
"Ck. Ah....ngantuk lah!" Aza langsung mengeluarkan laman pencarian dan berita lalu menutup laptopnya dan memilih tidur.
Bahkan pagi sekali, Aza sudah pergi ke kampusnya untuk mengurus ini dan itu, serta merangkai sebuah mukadimah makalah agar nanti sepulang dari Kongo ia hanya tinggal membubuhkan isinya saja.
Nay celingukan mencari seseorang, badan yang masih segar serta wangi menandakan jika gadis ini baru saja mandi dan langsung pergi ke kampus.
"Woy! Dicariin ke perpus, yang katanya kalo anak pinter tuh campnya di perpus taunya nyangkut disini..." Nay menemukan Aza sedang berkencan dengan lontong kari dan segelas besar teh manis hangat di kantin, bersama beberapa tumpuk buku-buku tebal. Begini nih kalo Aza lagi dapet ilham, kaya setannya buku.
"Orang pinter juga butuh asupan nutrisi yang lengkap, buat ngasah otak." jawabnya singkat melahap sepotong bakwan yang ia satukan bersama kuah kari.
Nay mendengus geli sembari tertawa renyah, "nutrisi apanya, gorengan begitu?! Ngarang!"
"Ini sayur loh, wortel, kol, udang, terus lo pikir yang berserakan terus gue makan ini sampah?" debatnya melahap lagi dengan mata yang terfokus membaca buku.
"5 mg, 10 mg...." gumamnya membaca mengangguk-angguk.
"Niat banget sih Za, buat dedikasiin diri disana...pertama kali loh ini, ya maksudnya...gue tau, lo sering ngikutin program kampus buat bakti sosial dan charity ke puskesmas-puskesmas desa. Lo juga beberapa kali ikut bantu kalo ada bencana alam nasional. Tapi ini Kongo loh Za...ngga takut? Mas Angga gimana? Hubungan lo sama mas Angga?"
Aza melirik sekilas pada temannya itu, "justru ini, gue lagi memperjuangkan hubungan gue sama mas Angga...untuk itu juga gue pergi..."
Nay yang awalnya duduk berleha-leha kini menegakan badannya, "maksudnya?"
Aza kembali mendaratkan pandangan pada Nay, "sebenernya..." Aza menceritakan semua yang terjadi belakangan ini pada dirinya, tentang Jagat, tentang profesor Suwitmo, tentang perjodohan tanpa ada yang terlewat sedikitpun pada Nay.
"Wah parah sih ini." decak Nay menggeleng.
"Parah kan, emang!" angguk Aza, namun Nay langsung menghadiahinya dengan toyoran di kepala, "maksud gue elo yang parah sista, cara nolak lo ekstrem...kenapa ngga milih mogok makan mogok ngampus aja sih?!" tanya Nay.
"Aduh Nay, kalo buat mogok makan mogok ngampus gue masih mikir-mikir...."
"Coba lo pikir, kalo gue mogok ngampus. Perjuangan gue udah di semester akhir gini, terus semisal ayah bunda ngebatalin perjodohan, nanti gue yang rugi dong, gelar sarjana terbaik melayang gitu aja, padahal gue mati-matian jaga nilai." Nay mengembangkan hidungnya dan membuang nafas kasarnya, "dasar "
"Kalo mogok makan, jangankan mogok makan sehari, barusan aja gue telat sarapan, kepala gue kleyengan...engga ah! Kedai bakmie yang baru grand opening gimana? Gue ngga bisa rasain dong? Ogah, nanti kalo besok gue mati, ngga ada umur, gue mati penasaran..."
"Peak." hardik Nay menatap sebal Aza, "oneng dasar..." cibirnya lagi, "gue sekarang baru yakin, kalo jenius sama sab leng beda tipis."
Aza terkekeh renyah mendengar rutukan temannya itu sambil menghabiskan lontong karinya hingga bersih. Dan Nay lebih memilih mengalihkan pandangannya dari Aza, hingga matanya tertumbuk pada televisi flat 24 inch di bagian atas kantin.
"Tuh tunangan lo disana, lo ngga salim buat pamitan," tuduh Nay ke arah televisi, dimana saluran itu menayangkan secara live pelepasaan pasukan garuda di mall mabes.
Aza hanya melengkungkan bibir tak peduli dan bergidik, ia masih fokus menyendok sisa-sisa kuah kari yang lezatnya itu bikin ia sayang untuk menyisakan barang setetes pun.
"May be...cari aja yang kepalanya plontos, pake baju loreng."
Dung! Nay mendorong kembali kepala Aza, biar ngga rebahan mulu otaknya.
"Mana ada! Semua tentara kepalanya plontos, mana ada yang rambutnya kaya BA shampo."
Aza tertawa dengan gurauannya sendiri, "kalo gitu cari aja yang pake helm item sama masker tengkorak."
Nay sungguh tak percaya dengan ucapan lirih Aza, apa Aza semacam limbung karena obat?
"Lo ngobat Za? Mendadak be go gini...mana ada yang pake helm item, itu mereka pake baret biru semua!" lama-lama Nay kesal juga.
"Orang dia kasih CV nya begitu sama gue. Jadi mana gue tau yang gimana mukanya..." bela Aza.
Nay menggeleng prihatin.
.
.
.
.
lanjut