Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Luka
"Kenapa Bapak gak bilang sejak awal kalau mau dipotong gaji?" Gerutu Zanya akhirnya. Ia sangat sedih gajinya harus dipotong senilai 25 juta hanya untuk sepasang sepatu, padahal ada hutang yang ingin segera ia lunasi.
"Lalu kamu pikir aku akan memberi kamu secara cuma-cuma? Enak aja...! kan kamu yang ceroboh gak mengganti sepatu. Ini pelajaran untuk kamu, supaya kedepannya kamu lebih teliti." Marlon bicara dengan nada mengejek.
"Setidaknya saya bisa memilih yang lebih murah." Ujar Zanya.
"Dan kita jadi terlambat karena kamu sibuk memilih sepatu?" Sindir Marlon.
"Saya bahkan lebih memilih memakai sendal kelinci itu daripada kehilangan 25 juta." Ujar Zanya lemah.
"Lihat saja setelah sampai di tempat tujuan kita, apakah kamu masih akan berkata seperti itu?" Marlon tersenyum sinis.
Marlon menghentikan mobilnya di depan pintu masuk sebuah hotel bintang lima, kemudian ia turun, diikuti oleh Zanya. Lalu petugas valet parkir mengambil alih untuk memarkir mobil. Zanya berjalan terburu-buru mengimbangi langkah Marlon.
Mereka menuju ball room hotel yang di pintu depannya dijaga oleh banyak lelaki berjas hitam. Marlon memberikan ponselnya untuk dipindai. Seorang petugas memindai kode yang tertera di layar ponsel Marlon, kemudian mempersilahkan mereka masuk.
Di dalam ruangan luas dengan dekorasi yang megah itu terdapat ratusan bahkan mungkin ada seribu orang. Zanya melihat beberapa selebriti tanah air juga ikut hadir di sana. Semua orang di sana mengenakan pakaian mewah, yang sudah pasti harganya mahal. Benar apa yang Marlon katakan, setelah sampai di sini, ia tidak akan berkata lebih memilih memakai sendal kelinci miliknya. Setidaknya saat ini Zanya tidak terlalu malu, karena ia memakai sepatu dari merk ternama.
"Marlon! Saya kira kamu tidak akan hadir." Seorang pria paruh baya menyapa Marlon.
Zanya seperti mengenal wajah pria itu, tapi ia lupa di mana ia pernah melihatnya.
"Tentu saja, Pak Gilang. Walaupun saya sangat sibuk, kalau yang mengundang adalah Golden Leaf, saya akan usahakan untuk hadir." Jawab Marlon.
Zanya menelan ludahnya, ia sangat hapal nama yang Marlon sebutkan tadi. Semua jadi masuk akal, mengapa ia mengenali wajah pria itu, karena Zanya memiliki fotonya semasa muda, pria itu adalah ayah Zanya, Gilang Dirgantara. Darah Zanya seperti mendidih melihat pria itu tertawa bersama Marlon, bisa-bisanya dia tertawa bahagia tanpa tahu nasib putrinya yang terlunta-lunta dan nyaris menyerah pada hidup.
"Hai calon suamiku! Ih, Papa ngobrol sama calon mantu kok gak ngajak-ngajak!" Seorang gadis muda datang dan menggandeng tangan Marlon.
Si penabrak! Gadis itu adalah pengemudi yang menabraknya waktu itu. Zanya mengepalkan tangannya, dua manusia yang ia benci ini adalah ayah dan anak? Dan gadis itu, atau bisa dibilang adik Zanya adalah calon istri dari atasannya yang menyebalkan ini? Oh, hidupku sungguh luar biasa! ujar Zanya dalam hati.
"Tadi Papa udah mau panggil kamu, Ayra... Tapi kamu keburu datang." Gilang tersenyum pada putrinya yang malam itu mengenakan gaun berwarna hitam yang terlihat mewah.
Ayra menoleh kepada Zanya, kemudian menatap Marlon.
"Asisten baru Kak Marlon perempuan?" Tanyanya.
Mendengar pertanyaan putrinya, Gilang ikut menoleh ke arah Zanya.
Marlon mengangguk cepat.
"Ih... Kan aku jadi cemburu..." ujar Ayra dengan nada manja.
Marlon menatap Zanya, kemudian melepaskan tangannya dari Ayra.
"Maaf Ayra, aku ada urusan lain. Maaf Pak Gilang, saya pamit, saya mau menemui Bu Gustia, supaya beliau tahu bahwa saya hadir." Marlon mengangguk pada Gilang.
Marlon berjalan meninggalkan Gilang dan putrinya, Ayra, diikuti oleh Zanya yang masih mengepalkan tangan. Sementara Gilang memandangi punggung Zanya dan Marlon yang semakin menjauh, lalu Gilang mengernyitkan dahinya.
Marlon menggandeng tangan Zanya dengan tiba-tiba, membuat Zanya sedikit terkejut, lalu Marlon membawa Zanya menembus kerumunan orang-orang.
"Lain kali kalau kita ke pesta seperti ini lagi, kamu harus gandeng tanganku." Ujar Marlon sambil melepas tangan Zanya setelah mereka berhasil menembus kerumunan itu.
Marlon menghampiri beberapa wanita yang sedang mengobrol. Terlihat dari ekspresi para wanita itu, sepertinya mereka sedang bicara serius..
"Selamat malam, Bu Gustia! Wah... Pesta yang meriah, ya?" Sapa Marlon kepada seorang wanita bergaun panjang dengan lengan yang juga panjang, berwarna marun, terlihat sederhana namun tetap berkesan mewah, ditambah dengan aksesoris cantik dan juga tatanan rambut yang memukau, membuat wanita itu terlihat seperti bintang di pesta ini.
"Hai Marlon! Selamat malam." Gustia membalas sapaan Marlon dengan senyuman.
"Sudah mencicipi hidangannya?" Tanya Gustia.
"Belum, saya mau menemui pemilik acara dulu sebelum mencicip makanan. Kalau bisa saya ingin mengajak Bu Gustia untuk makan bersama, mengingat Bu Gustia sangat susah untuk diajak makan." Marlon berkelakar sambil tertawa kecil.
"Ah, kamu bisa aja! Aku ini sudah mau 50 tahun, gak boleh makan banyak-banyak. Tapi kalau kamu ngajak minum, ayo! Hahaha...!" Gustia tertawa.
"Nah, itu masalahnya, saya gak minum, Bu. Jadi agak susah mencari kecocokan diantara kita supaya bisa mengobrol agak lama. Hahaha...!" Marlon juga tertawa.
Gustia mendekat ke arah Marlon, kemudian mengusap dada Marlon, sambil berbicara dengan suara pelan. "Kalau kamu cuma mau mengobrol lama, kita bisa kok ngobrol sepanjang malam..." Gustia mengedipkan sebelah matanya kepada Marlon.
Zanya menunduk, dalam hati ia merasa jijik melihat kelakuan Gustia. Marlon hanya tertawa mendapat perlakuan seperti itu dari Gustia. Walau ia risih, namun ia menahannya demi investasi Gustia di perusahaan barunya.
"Bu Gustia! Wah... Cantik sekali Anda malam ini!" Sapa seorang pria paruh baya, terlihat dari setelannya, ia pasti pengusaha yang kaya.
"Pak Deddy! Anda juga sangat menawan malam ini." Gustia memeluk pria yang bernama Deddy itu.
"Kenalkan, Pak. Ini Marlon, pengusaha yang masih sangat muda, tapi sudah sukses dengan perusahaannya." Gustia memperkenalkan Marlon dan Deddy.
Deddy dan Marlon berjabat tangan sambil tersenyum. "Dan sekarang dia akan mendirikan satu anak perusahaannya. Siapa tau Pak Deddy berminat menanam saham di sana?" Gustia memberitahu Deddy.
"Saya lebih tertarik menanam saham pada gadis disampingnya." Deddy mengerlingkan matanya ke arah Zanya.
Zanya bergidik mendengar ucapan Deddy, ia tahu kemana arah pembicaraan Deddy, sama seperti Gustia yang memakai istilah 'mengobrol semalaman', Deddy memakai istilah 'menanam saham' untuk hal mesum itu. Apakah semua orang kaya memiliki pemikiran liar seperti ini di balik citra baik yang mereka buat? Pikir Zanya.
Marlon meraih pinggang Zanya dan menariknya merapat kepada Marlon. Jantung Zanya berdegub kencang untuk beberapa saat, karena perlakuan Marlon itu, ada perasaan sensual terpercik dalam dirinya selama tangan Marlon melingkari pinggangnya.
"Kalau yang ini, khusus untuk saya, Pak Deddy!" Marlon mengimbangi kelakar orang-orang yang ada di depannya, lalu ia melepaskan tangannya dari pinggang Zanya.
"Hahaha...! Posesif sekali ya!" Ujar Deddy sambil tertawa.
"Kalau begitu, kapan kita bisa bicarakan lebih detailnya tentang perusahaan baru Anda ini?" Tanya Deddy serius.
"Silahkan hubungi saya, kapanpun Anda punya waktu luang." Ujar Marlon sambil memberikan kartu namanya kepada Deddy.
"Oke! Nanti saya kabari, ya!" Deddy menyimpan Kartu nama Marlon di saku jasnya.
"Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Bu, Pak!" Marlon menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada kedua orang yang lebih tua darinya itu. Gustia melambaikan tangan, dan Deddy membalas dengan anggukkan kepala.
"Kamu udah lapar?" Tanya Marlon kepada Zanya.
"Belum, Pak." jawab Zanya, sebenarnya ia tidak nafsu makan karena pertemuannya dengan ayahnya tadi.
Marlon tetap berjalan menuju tempat hidangan, dan Zanya mengikutinya.
"Kamu tunggu di sini sambil isi perut, aku mau ke toilet sebentar." Marlon lalu pergi meninggalkan Zanya di area hidangan.
Zanya pun terpaksa memilih beberapa menu. Ia duduk menunggu Marlon sambil memakan makanannya.
"Permisi..." Sebuah suara muncul dari arah belakang Zanya, Zanya pun menoleh, dan dilihatnya Gilang berdiri sambil tersenyum padanya. Zanya tercengang sesaat, seperti inikah rasanya mendapat senyuman dari seorang ayah? Pikirnya.
"Boleh saya duduk di sini?" Tanyanya sambil menunjuk kursi di dekat Zanya.
Zanya menjadi salah tingkah karena kedatangan orang yang sangat ia rindukan sekaligus ia benci itu.
"B-boleh..." Zanya mengangguk.
"Marlon sedang pergi kemana?" Tanya Gilang.
"Um... Sedang ke toilet." Jawab Zanya kikuk.
"Oh iya, siapa nama kamu?" Tanya Gilang.
Zanya menatap Gilang, ia bingung, haruskah ia menyebutkan namanya? agar sang ayah tahu bahwa gadis yang sedang ia ajak bicara itu adalah putrinya yang selama ini ia tinggalkan.