Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wardhani
Dihyan memandang dari kaca besar, di lantai teratas, ke arah sebuah bukit yang berdiri agung, menjadi latar belakang hotel yang mereka tinggali. Cahaya terang dan panas mengambang di udara Singkawang.
“Pak kung, pak po. Ciung ki nyit, kin pu ja, … loi kak nyi se fa sui.”
Dihyan tersentak. Ada lapisan suara menyelip di telinganya.
Ia berbalik dengan cepat. Tak ada siapapun di kamar itu.
Benjamin memesan dua kamar, satu untuk ia sendiri dan istrinya, satu lagi untuk Dihyan dan Centhini.
Dihyan awalnya menolak, karena: “Males sama Mbak Cen, diganggu terus aku sama dia. Lagipula kami sudah tua gini, harusnya dipisah, pakai kamar sendiri-sendiri saja.”
Benjamin dan Martha malah awalnya tidak keberatan dengan permintaan Dihyan, tepi Centhini yang menolaknya habis-habisan. “Halah, nggaya tenan kowe, Yan. Jangan banyak gaya gitu. Kamu pikir bayar hotel pakai daun? Udah tahu perjalanan kesini Bapak dan Ibu perlu uang banyak, kamu malah minta tiga kamar untuk berhari-hari. Lagian, kamu itu sok tua. Memang sudah kuliah, tapi masih suka nggak jelas.”
“Tuh, liat kan Pak, Bu? Aku diejek terus sama Mbak Centhini,” lapor Dihyan.
Tapi, mau bagaimana lagi. Centhini selalu menang. Lagipula, sejujurnya, Dihyan kadang-kadang tidak selalu dalam kondisi yang dewasa. Mungkin malah lebih banyak tidak dewasanya. Bagaimana tidak, buktinya, kata-kata ‘pecundang’ saja masih terlalu melekat di pikirannya selalu. Padahal, ia tak kurang satu apapun di dalam keluarga ini, tak harga benda, tak perhatian pula.
Mungkin itu semua karena Dihyan menempatkan diri sebagai anak laki-laki bungsu, atau mungkin Centhini juga memperlakukan Dihyan sebagai adiknya yang dimanja, dicandai, dan kerap tidak terlalu didengarkan keseriusan dan keluh kesahnya. Namun, itu semua cenderung karena Centhini sayang dengan Dihyan. Centhini menempatkan Dihyan sebagai adik, dimana ia sendiri harusnya adalah anak terakhir dari keluarga Ashin dan Katarina.
Apapun itu, Dihyan tidak bisa menolak lagi keputusan yang dibuat. Ia dan Centhini satu kamar.
Dihyan masih melihat sekeliling. Ia memindai kamar yang ia tempati bersama kakak perempuannya itu. Centhini masih berada di kamar kedua orang tua mereka, mengobrol. Rencana malam ini mereka akan kembali keluar, untuk makan malam dan menikmati pusat kota Singkawang.
Dihyan merasa bahwa ia sungguh mendengar sesuatu. Untaian kata-kata dalam bahasa asing, yang ia tebak pastilah bahasa Cina.
Dihyan berjalan ke tengah ruangan, melihat ke arah telepon dan televisi. Siapa tahu suara itu berasal dari salah satu dari kedua benda tersebut. Tidak ada apa-apa. Tidak ada tanda-tanda bahwa suara itu berasal dari televisi atau telepon kamar hotel.
Dihyan menghela nafas. Ia memang tidak dapat mendapatkan bukti apa-apa tentang suara yang jelas didengarnya itu, dan ia tidak dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Apakah suara itu hanya ada di dalam kepalanya, atau entah bagaimana ia memang mendengarnya tetapi tidak mendapatkan darimana sumbernya.
Dihyan mengedikkan bahunya. Ia menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Paling-paling sebentar lagi Centhini akan datang dan masuk ke kamar mereka kemudian akan menyuruhnya untuk mandi, berganti pakaian, mengomeli dan memerintahnya sedemikian rupa. Ia tahu tabiat kakaknya itu. Namun, ia memang sedang malas. Maka, biarkan saja kakaknya itu nanti datang dan mulai mengomelinya.
Ia hanya ingin berbaring sejenak saja.
Dihyan menutup matanya.
Senja sebentar lagi turun ke bumi dan menutupi semesta dengan kegelapan.
Dihyan kembali menghela nafas, merasakan tubuhnya rileks, dan otot-otot di tubuhnya mengendur.
Dihyan tidak terlalu mengantuk, tetapi semua hal mengenai keris Semar, budaya dan sejarah Jawa serta Tionghoa ini membuatnya lelah juga. Pikirannya terus terbawa entah bagaimana, untuk terus mencari jawaban atas beragam misteri yang sudah ia alami beberapa hari terakhir, terutama setelah sampai di tanah Kalimantan ini.
Pengalamannya di dalam mimpi bertemu dengan sosok Stefani, si penari berdarah Jawa Dayak itu sungguh hampir membuatnya merasa bahwa kehidupannya akan menjadi lebih baik. Ia akan dapat membuat gadis-gadis terpesona pada dirinya. Begitu pula dengan pertemuan singkatnya dengan Vivian, di petugas mini market yang membuatnya sendiri bingung, bagaimana ia bisa sepercaya diri itu. Lalu, puncaknya, seorang Septiani, yang membuatnya sampai memimpikannya dengan cara yang begitu berhasrat dan dalam keadaan yang sangat panas itu, hampir-hampir membuatnya merasa menjadi laki-laki paling beruntung dan terjantan di dunia.
Semua hanya mimpi. Mungkin juga adalah khayalannya. Mungkin juga adalah harapannya belaka.
“Lalu apa kamu sungguh ini mendapatkan para gadis itu walau hanya di dalam mimpi?”
Dihyan mendengar seseorang berbicara kepadanya. Mungkin seorang perempuan.
Dihyan tersenyum seraya masih menutup mata. Ia tahu bahwa kini pikirannya yang sedang berbicara kepada dirinya sendiri.
“Di dalam mimpi? Jadi maksud kamu, aku hanya pantas mendapatkan kesempatan bersama gadis-gadis itu di dalam mimpi?” tanya Dihyan kepada suara di dalam kepalanya itu.
“Kalau nggak juga nggak apa-apa kok, Yan. Kamu bisa coba lagi di kehidupan nyata. Lihat, apa gadis idola kamu seperti Camelia Green itu akan bisa suka sama kamu. Itu juga kalau kamu memiliki keberanian dan kepercayaan diri sebesar itu bahkan hanya untuk menyapanya.”
“Tapi, aku pernah berani, kok. Buktinya, aku, hmm … berani mencoba mendekati dan menegur Vivian.”
Suara itu terdengar tertawa.
“Ya, kalau kamu memang merasa seperti itu, silahkan saja, nggak ada yang melarang. Kalau kamu puas, ya silahkan saja.”
“Tunggu, maksud kamu apa, sih?”
“Sederhana. Kamu mau memiliki banyak kehidupan hebat di dalam mimpi, bersama para gadis yang kamu puja, siapa saja. Bahkan di dalam mimpi, kamu bisa menciptakan dunia kamu sendiri. Kamu bisa menikmati semuanya tanpa batasan, tanpa takut merasa diri sebagai pecundang, tanpa perlu disadarkan bahwa kamu bukan siapa-siapa.”
“Ya memang mimpi kan seperti itu konsepnya. Kita bisa menjadi siapa saja, mengalami apa saja. Tidak jarang mimpi membuat kita merasa sebagai sosok atau figur terhebat di dunia. Tapi setelah terbangun, kita menyesal karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Mimpi juga bisa membuat kita merasa di dalam keadaan yang berbahaya, dan kita merasa senang dan lega ketika terbangun, bahwa kenyataan lebih baik dibanding di dalam mimpi.”
“Tetapi, mimpi manusia biasa sangat aneh dan kacau, tidak jelas, serta memiliki jalan cerita yang abstrak. Kamu tidak memiliki kuasa atas jalannya mimpi. Bagaimana kalau mimpi yang kamu alami sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Semua jalan cerita kamu yang ciptakan. Serunya lagi, apa yang kamu rasakan di dalam mimpi, adalah apa yang sesungguhnya kamu rasakan di dunia nyata. Semua terasa nyata.”
Dihyan tertawa sendiri. Mungkin ia sudah gila, pikirnya. Ia berbicara sendiri dengan pikiran dan batinnya. Peduli setan, pikir Dihyan.
“Oke, oke. Terus gimana caranya?”
Suara itu kini semakin terdengar nyata. Ia tertawa. Tawa seorang perempuan.
Dihyan ikut tertawa. Bahkan di dalam pikirannya pun tidak bisa menghindari betapa ia menginginkan memiliki hubungan dengan wanita, perempuan, gadis, sampai-sampai pikirannya sendiri pun terdengar seperti suara seorang perempuan.
“Hmm … pikirkan sekali lagi, Dihyan. Bayangkan, kamu bisa melakukan apa saja di dalam mimpi, di dalam pikiranmu, dengan para gadis itu dengan rasa yang sama seperti kenyataan. Bayangkan, di dalam mimpi kamu bisa berkencan dengan gadis Tionghoa dengan dada indah yang bekerja di mini market itu, gadis penari berwajah kalem yang berpeluh dan memandang kamu malu-malu itu, melanjutkan percintaan kamu sungguh-sungguh dengan keponakan kakak kamu tanpa terganggu lagi, atau apa sulitnya mencumbu gadis manapun yang kamu ingini. Yang kamu temukan ketika berpapasan di jalan. Yang kamu taksir di kampus. Bahkan artis dan selebritas yang semua tidak berani kamu bayangkan bakal dapat berhubungan dengan mereka sama sekali. Mereka akan takluk di dalam mimpi kamu.”
Dihyan menghela nafas panjang. Ia tertawa terbahak-bahak. Penawaran tergila dan tak masuk akal yang pernah ia dengar. Ia geli sendiri, tetapi jelas tidak mungkin dapat menolaknya, bila itu mungkin.
Gila, gila, gila …
“Siapa nama kamu?” tanya Dihyan. Ia ingin tahu bagaimana otaknya sendiri menamai sosok yang ia ciptakan itu.
“Namaku … Wardhani.”
Dengan begitu jelas, dalam keadaan mata tertutup, Dihyan dapat melihat sosok molek seorang perempuan yang muncul dari balik kabut. Ia tak berbusana. Kulitnya gelap, sewarna daun kering, tetapi kedua pucuk dadanya yang kecil tetapi padat itu berwana merah. Wajahnya begitu ayu, tersenyum tipis, penuh goda dan pesona.
Dihyan tersentak, membuka mata dan langsung bangun dan duduk dengan tegang di atas tempat tidur.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next