Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Utusan Dewa
Dengan anggukan kecil, Kaivorn menjawab, "Kurasa kau benar."
Di depannya, Amon, menarik napas panjang, senyuman tipis muncul di bibirnya. "Jadi begitu," gumamnya.
Dia mencoba merangkai pemikiran dari kejadian-kejadian yang membawa mereka ke saat ini—ketika dirinya, bersama Saintess Franca, tiba di kediaman keluarga Vraquos, membawa berita penting dari para dewa.
......................
Beberapa hari yang lalu, di Kuil Agung Kerajaan, Saintess Of Light, Franca, keluar dari Ruang Wahyu, tempat di mana para pendeta dan pelayan suci mencari pencerahan dari dewa-dewi.
Lambang Mata Terbuka menghiasi tembok-tembok suci, simbol pengetahuan yang diberikan dari langit.
Wajah Franca kala itu memancarkan campuran antara kecemasan, sukacita, dan ketakutan.
Amon mengamati ekspresi tak biasa dari wanita yang selalu tegar ini.
Dengan penuh rasa hormat, ia menunduk dan bertanya, "Apakah Anda sudah selesai, Saintess?"
Franca tak membuang waktu, matanya tajam dan napasnya tersengal, "Aku harus segera menyampaikan pesan dewa kepada sang pahlawan," jawabnya dengan nada yang tegas namun tergesa-gesa.
Amon, yang terlatih dalam seni bertarung dan memiliki kemampuan menganalisis taktik, tak mampu menyembunyikan kebingungannya.
"Pahlawan?" gumamnya dalam hati. "Pahlawan terakhir muncul berabad-abad yang lalu... Bagaimana mungkin?"
......................
Hari ini, di hadapan Kaivorn, semua keraguan Amon terjawab.
Dengan tawa kecil, Amon berkata, "Ketika Saintess mengatakan bahwa tujuannya adalah keluarga Vraquos, aku benar-benar mengira Tuan Muda Raelion atau Nona Selvara yang akan dipilih oleh dewa. Siapa yang menyangka bahwa ternyata kau—anak bungsu yang selama ini di anggap sebagai 'Talentless Vraquos'—adalah sang pahlawan?"
Kaivorn, dengan senyum kecil, menjawab dengan ringan, "Bagaimana Anda tidak menyadarinya? Tanda-tandanya begitu jelas." Ia berhenti sejenak, mengingat kembali beberapa kalimat yang di ucapkan Franca. "Saintess mengatakan beberapa hal yang seharusnya membuat semuanya jelas, seperti 'Aku datang dengan pesan dari dewa,' atau 'Jadilah mentor bagi pahlawan masa depan'."
Kaivorn berhenti sejenak, senyum di wajahnya memudar sedikit, lalu ia melanjutkan, "Namun, sepertinya Anda salah memahami satu hal."
Amon berhenti tertawa, memandang Kaivorn dengan lebih serius. "Apa maksudmu?" tanya Amon, nada suaranya kini berubah menjadi lebih berat.
Kaivorn berdiri dengan sikap tenang, seperti raja yang sudah lama ditakdirkan untuk memimpin.
Rambut putihnya yang berkilau memantulkan cahaya yang lembut, sementara mata merahnya memandang lurus ke arah Amon, ksatria suci terhebat di kerajaan.
"Aku tidak dipilih oleh Saintess," ujar Kaivorn, suaranya tenang namun penuh keyakinan, "Aku dipilih langsung oleh sang dewa."
Sejenak, suasana terasa mencekam.
Keheningan yang membentang di antara mereka berat, seolah-olah setiap kata yang baru saja diucapkan Kaivorn memiliki bobot yang mampu mengubah takdir.
Amon, yang terbiasa menghadapi ribuan prajurit musuh di medan perang, kini terlihat terperangkap dalam pergolakan batin.
Keningnya berkerut dalam, berusaha mencerna kata-kata Kaivorn.
"Dipilih langsung oleh dewa...?" pikir Amon dalam hati, keterkejutan melintasi wajahnya yang penuh guratan pengalaman. "Bagaimana mungkin?" bisiknya dengan suara bergetar, nyaris tak percaya.
"Mungkin saja," sela Kaivorn, matanya menyiratkan ketenangan yang tak terbantahkan, seolah dia sudah tahu apa yang akan terjadi bahkan sebelum Amon berbicara.
Pandangan Amon perlahan terangkat, dan untuk pertama kalinya, dia melihat Kaivorn dengan cara yang berbeda.
Sosok pemuda ini—anak bungsu dari seorang Marquis yang di anggap tak berbakat, kini dipilih oleh entitas tertinggi—tiba-tiba terlihat lebih besar, lebih agung, seolah sinar ilahi sendiri memancar dari tubuhnya.
Senyum kecil terbentuk di bibir Kaivorn, penuh kebanggaan yang tak berlebihan, namun sangat nyata.
"Aku buktinya," lanjut Kaivorn dengan lembut, melanjutkan perkataan sebelumnya.
Dalam keheningan yang mengikutinya, kata-kata itu bergema dalam pikiran Amon, mengguncang setiap keyakinan yang selama ini ia pegang teguh.
Tanpa peringatan, di tengah suasana yang semakin tegang, Amon, yang dikenal sebagai prajurit paling tangguh dan tak terkalahkan di kerajaan, berlutut dengan anggun di hadapan Kaivorn.
Gerakannya cepat dan halus, penuh dengan penghormatan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Lantai marmer yang dingin menyambut lutut Amon dengan suara nyaris tak terdengar, namun maknanya bergemuruh di seantero aula.
Amon, yang selama ini dihormati oleh banyak orang sebagai simbol kekuatan dan kebanggaan kuil suci, kini menundukkan kepalanya di hadapan seorang pemuda yang dipilih oleh takdir.
Wajahnya, yang biasa diisi dengan keberanian tak tergoyahkan, kini menunjukkan sesuatu yang lebih lembut—penyesalan dan pengakuan.
Tatapan matanya tertuju lurus ke mata Kaivorn, menembus jiwa, seolah ingin menyampaikan seluruh isi hatinya yang selama ini tertutup oleh statusnya sebagai seorang ksatria suci.
“Maafkan saya,” ucap Amon dengan suara yang berat, “karena tak mengenali utusan para dewa…” Ucapannya terhenti sejenak, napasnya tersendat, seperti ia sedang menelan kebanggaannya yang selama ini menemaninya di setiap medan pertempuran.
Dia menundukkan kepalanya lebih dalam, rambut yang mulai memutih jatuh melewati bahunya yang dilapisi armor.
Suaranya bergetar lagi, kali ini lebih dalam. “Maafkan saya juga karena telah memikirkan hal-hal buruk tentang Anda, dan karena mempercayai rumor-rumor tak berdasar.”
Dengan hati-hati, Amon mengangkat pedangnya, simbol kehormatan dan kekuatannya, dan mempersembahkannya dengan dua tangan kepada Kaivorn.
“Untuk menebus kesalahan saya,” lanjutnya, “hukumlah saya dengan apapun yang Anda inginkan.”
Tangannya gemetar sedikit saat ia mengulurkan pedang itu lebih dekat kepada Kaivorn.
Udara di ruangan itu seolah-olah berhenti bergerak, menunggu jawaban dari sang pahlawan yang dipilih langsung oleh dewa.
Kaivorn, yang menyaksikan tindakan ksatria itu, menatap pedang yang diulurkan kepadanya dengan ekspresi tenang.
Ia mengulurkan tangannya dan mengambil pedang tersebut.
Sesaat, dia memandangi Amon yang masih berlutut, penuh rasa penyesalan dan penghormatan.
"Hukuman?" gumam Kaivorn, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Kemudian dia tersenyum, senyum yang mempesona dan penuh keyakinan. "Kalau begitu," katanya dengan suara mantap, "Aku akan memberimu sebuah hukuman."
Wajah Amon mengeras, siap menerima hukuman apapun yang akan dijatuhkan oleh Kaivorn.
Namun, tak disangka, Kaivorn menyentuh bahunya dengan lembut, seolah menyuruhnya untuk bangkit dari posisi berlutut.
Amon menatap Kaivorn dengan kebingungan, namun di balik itu, ada rasa kekaguman yang dalam.
Di depan matanya, Kaivorn—pemuda yang dipilih oleh dewa—terlihat begitu tenang dan percaya diri.
Senyumnya, begitu menawan, seperti dipenuhi oleh kekuatan ilahi.
"Latihlah aku dengan seluruh kemampuanmu," ucap Kaivorn dengan tegas.
Kalimat itu terucap seperti sebuah perintah yang tak bisa ditolak, namun juga seperti permintaan yang datang dari hati yang tulus.
Amon terdiam sejenak, masih terkejut dengan permintaan yang sederhana namun penuh makna itu.
Kemudian, senyum kecil terbentuk di wajahnya. "Dimengerti," jawab Amon sambil bangkit berdiri, meski masih penuh dengan penghormatan. "Saya akan melatih Anda dengan seluruh kemampuan saya... dan memastikan Anda menjadi pahlawan yang layak untuk menyandang gelar tersebut."
Kaivorn mengembalikan pedang Amon dengan gerakan yang anggun, namun ekspresi wajahnya memancarkan kejenuhan.
“Baiklah,” ujarnya dengan nada yang terkesan malas, “cukup sudah dramanya. Mari kita mulai latihannya.”
Amon, ksatria suci terhebat di seluruh kerajaan, menerima pedangnya tanpa mengubah ekspresi tegasnya.
Satu anggukan darinya sebelum dia melangkah mundur, menjauhkan diri dari Kaivorn beberapa langkah.
Mata tajamnya mengamati sosok Kaivorn yang kurus—terlalu kurus untuk seseorang yang dipilih para dewa.
“Tubuh Anda,” Amon mulai berbicara dengan mata tajam mengamati Kaivorn, “saat ini tidak lebih dari seorang bangsawan yang dimanja oleh kemewahan. Jauh dari sosok yang pantas menyandang gelar pahlawan pilihan dewa.”
Kaivorn tak merespon, hanya mengangguk.
Tidak ada protes, tidak ada perlawanan, hanya ketenangan, seakan-akan dunia bergerak terlalu lambat untuknya.
Amon melanjutkan, suaranya kini lebih berat, menandai keseriusan dari latihan yang akan dihadapi Kaivorn.
"Latihan ini adalah kewajiban harian Anda selama berada di bawah bimbingan saya. Dasar, namun berat." Jelas Amon. "Tidak ada pedang, tidak ada pertempuran—hanya membangun fondasi tubuh Anda agar mampu bertahan dalam perang sesungguhnya."
Sebuah angin lembut menerpa mereka berdua, seolah alam pun turut menyaksikan momen ini.
Amon menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan lebih lanjut. "Pertama, Anda akan mengelilingi lapangan latihan ini sebanyak 50 kali setiap hari."
"50 kali?" Mata Kaivorn melebar sejenak, kesadarannya mulai merespons. "Tempat ini luasnya lebih dari 11.000 meter persegi!"
Namun, Amon hanya mengangguk, tak terganggu oleh kejutan itu.
Bagi seorang ksatria suci, yang dilatih untuk melindungi Saintess yang hampir setara dengan Paus, tugas seperti ini hanyalah ujian kecil.
"Kedua," lanjut Amon, suaranya tetap stabil, "Anda akan melakukan 100 push-up setiap hari, dibagi dalam beberapa set. Ini untuk memperkuat tubuh bagian atas Anda."
Kaivorn mengangkat tangannya, tanda keberatan kecil, "Tunggu, 100 push-up?"
Namun, Amon tetap melanjutkan tanpa henti. "Anda membutuhkan kekuatan lengan dan dada yang kokoh untuk memegang pedang dengan mantap di medan pertempuran."
Ekspresi Kaivorn mulai berubah, tanda kecil dari kecemasannya mulai terlihat di balik sikap tenangnya. Namun, sekali lagi, ia memilih untuk diam.
"Ketiga," suara Amon semakin rendah namun tegas, "100 squats. Setiap hari. Kaki Anda adalah fondasi, tanpa kekuatan kaki yang baik, Anda akan tersapu oleh serangan terkecil sekalipun."
"Seratus... squats?" gumam Kaivorn, mulai menyadari bahwa ini jauh dari sekadar latihan biasa.
Amon tak memberikan ruang untuk protes. "Keempat, plank selama sepuluh menit, empat set setiap hari. Ini untuk melatih otot inti Anda. Pertempuran bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang kestabilan."
"Plank sepuluh menit?" Kaivorn merasa semakin terjepit dalam jadwal latihan yang terasa mustahil.
"Dan yang terakhir," kata Amon, tatapannya serius dan tidak dapat dibantah, "100 burpees setiap hari. Ini akan melatih refleks, kelincahan, dan kekuatan seluruh tubuh."
Kaivorn hampir tak percaya. "Seratus burpees? Itu... mustahil!"
Amon, dengan ketenangan seorang ksatria yang telah melewati puluhan pertempuran, hanya menatap Kaivorn tanpa ekspresi. "Tidak ada yang mustahil jika Anda ingin menjadi pahlawan."
Kaivorn berdiri terpaku, tubuhnya terasa ringan namun pikirannya berat, berputar cepat seperti badai.
“Ini gila,” gumamnya akhirnya, mencoba merasionalisasi situasi, “kau serius dengan semua ini?”
"Lebih dari serius," jawab Amon, kali ini dengan nada dingin. "Ini adalah dasar. Tanpa dasar yang kuat, tidak ada kejayaan yang bisa Anda capai.”
Kaivorn menghela napas panjang. "Sangat berat... tidak bisakah kau meredakan latihannya sedikit saja?"
Amon menggeleng. “Bukankah Anda yang meminta saya melatih Anda dengan segenap kemampuan saya? Jika Anda menginginkan hasil, maka jalani latihannya.”
Seketika, layar biru transparan muncul di hadapannya, memberikan informasi yang hanya bisa dilihat olehnya.
[Misi Harian spesial: “Hero Knight Exercises” telah ditetapkan.]
[Misi Harian]
[Lari 20 Kilometer (Belum selesai)]
[100 Push Up (Belum selesai)]
[100 Squats (Belum selesai)]
[Plank 10 menit × 4 set (Belum selesai)]
[100 Burpees (Belum selesai)]
[Hadiah: +8 poin keterampilan untuk seluruh statistik fisik.]
[Hukuman: Anda akan dilempar ke dalam Dimensi Kalidron selama satu jam.]
Kaivorn menatap layar itu dengan bingung. "Dimensi Kalidron?" pikirnya, "Terdengar seperti tempat yang sangat berbahaya..."
Dengan satu tarikan napas panjang, Kaivorn akhirnya menyerah pada kenyataan.
“Baiklah, aku akan melakukannya,” ucapnya dengan suara rendah, "tapi jangan harap aku tidak akan mengeluh.”
Amon tersenyum tipis, sedikit lega namun tetap tegas. "Saya tidak peduli dengan keluhan Anda. Yang penting adalah Anda melakukannya."