NovelToon NovelToon
Di Balik Penolakan

Di Balik Penolakan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Berbaikan
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Reito(HxA)

Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.

Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.

Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

07. Momen Di Lapangan

Matahari baru saja terbit, menembus tirai tipis di kamar Clara. Ia bangun lebih awal dari biasanya, membiarkan cahaya pagi menyusup masuk. Sejenak ia duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela. Udara pagi terasa segar, tetapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang masih berputar sejak malam sebelumnya—perasaan aneh setiap kali ia memikirkan Dion.

Clara menghela napas, berusaha menepis bayangan wajah dingin Dion yang selalu terlintas di pikirannya. Ia segera bangkit, berjalan ke kamar mandi, berharap air dingin bisa mengusir kekhawatiran kecil yang terus membuntutinya.

Setelah selesai bersiap, Clara menuju ke meja makan. Sarapan yang disiapkan ibunya sudah terhidang, tetapi suasana di rumah terasa sepi. Orang tuanya sudah berangkat lebih awal untuk urusan bisnis, menyisakan Clara sendirian di meja makan yang luas. Dengan cepat, ia menghabiskan sarapan, berusaha tidak membuang waktu.

Di sisi lain kota, Dion sedang bersiap-siap untuk sekolah. Rumahnya sudah mulai ramai dengan suara adik perempuannya yang sedang menyiapkan buku dan seragam sekolah. Meski suasana di rumahnya begitu hangat, Dion tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri, seperti biasanya.

Ibunya, yang baru saja keluar dari dapur, menghampirinya dengan senyum. “Dion, sudah sarapan? Mama buat nasi goreng kesukaanmu,” ujarnya penuh perhatian.

Dion menatap ibunya sejenak, lalu mengangguk tipis. “Nanti aja, Ma. Aku belum lapar.”

Ibunya menghela napas kecil, tetapi sudah terbiasa dengan sikap dingin Dion. Meski begitu, ia tetap menyayangi putranya yang pendiam ini. “Jangan lupa makan ya, Nak. Kamu nggak boleh sekolah dalam keadaan perut kosong.”

Dion mengangguk lagi, lalu mengambil tasnya. Sebelum berangkat, ia sempat menatap ruang keluarga, di mana adik perempuannya sedang merapikan tas sekolahnya. Ada sebersit rasa hangat di dadanya, tetapi ia tak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia segera keluar dari rumah, berjalan dengan langkah tenang menuju sekolah.

Setelah bel berbunyi, suasana di sekolah sudah mulai ramai. Siswa-siswa berlarian ke sana kemari, menyiapkan diri untuk pelajaran pertama. Dion melangkah dengan langkah mantap, tetapi tatapannya tetap tajam, seolah mengawasi setiap gerakan di sekitarnya. Dalam perjalanan menuju kelas, ia melihat Nisa yang tengah bercanda dengan teman-temannya.

“Eh, Dion!” Nisa memanggilnya dengan senyum cerah. “Bagaimana kabar? Kemarin sih terlihat lagi asik di acara keluarga, ya?”

Dion hanya mengangguk, berusaha menjaga ekspresi wajahnya. “Baik.”

Nisa tertawa, tidak merasa terganggu dengan sikap dinginnya. “Ayo, kita ke kelas! Clara udah nunggu di sana.”

Dion mengikuti Nisa sambil melirik ke sekitar. Saat mereka sampai di kelas 10A, ia melihat Clara sudah duduk di bangkunya, tampak sibuk dengan buku catatan. Melihat sosok Clara membuat hatinya bergetar, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Dia kemudian memilih tempat duduk di pojok kelas, jauh dari keramaian.

Kelas 10A dipenuhi oleh beragam karakter. Salah satu yang paling mencolok adalah Lila, siswi dari kelas 10B yang selalu penuh semangat. Dia adalah gadis periang dengan rambut panjang berombak dan senyuman yang tak pernah pudar. Meski ia berada di kelas yang berbeda, Lila seringkali mengunjungi kelas 10A, mencari teman-teman baru atau hanya sekadar berbincang.

Hari itu, Lila muncul di kelas 10A dengan energik. “Hai, semuanya! Ada yang mau main basket setelah sekolah?” tanyanya, menatap semua siswa dengan penuh harap. “Saya ingin mengadakan pertandingan kecil-kecilan!”

Beberapa siswa langsung merespons. “Aku ikut!” teriak salah satu teman, sementara yang lain tampak tidak begitu tertarik.

Clara tersenyum mendengar tawaran Lila. “Aku bisa ikut, asal ada waktu setelah les,” jawabnya. Ia melihat Dion dari sudut matanya, berharap dia juga akan bergabung. Namun, Dion hanya mengangkat alis, tidak menunjukkan minat.

“Dion, mau ikut?” Lila bertanya, mendekatinya. “Ayo, kita butuh pemain yang tangkas! Kau kan atlet, kan?”

Dion menatap Lila sejenak, tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa sedikit terintimidasi oleh semangatnya. “Aku nggak tahu,” jawabnya datar. “Mungkin.”

Lila tidak putus asa. “Ayo, coba saja! Seru, kok!” Ia tersenyum lebar, seolah berusaha menembus dinding ketidakpedulian yang dibangun Dion.

Saat pelajaran berlanjut, beberapa sahabat Dion dari kelas 10A mulai muncul, menambah suasana ceria di kelas. Reza, sahabat Dion yang dikenal humoris dan selalu bisa menghibur teman-temannya, segera menghampiri. “Eh, Dion! Dengar-dengar kamu ditawarin main basket? Hati-hati, jangan sampai dipukul sama bola, ya!” Reza menggoda sambil tertawa.

Dion hanya menggulung matanya, tetapi ia merasakan senyum kecil muncul. “Diam, Reza. Seharusnya kamu yang lebih khawatir, dengan skill basketmu yang seperti itu.”

Reza tertawa lebar. “Hey, skillku memang luar biasa! Buktinya, aku pernah mencetak gol… di pertandingan video game!”

Fariz, teman mereka yang selalu bisa diandalkan untuk membuat suasana lebih ceria, ikut menimpali. “Dari semua olahraga, permainan video game adalah keahlian sejati Reza. Siapa tahu nanti kita bisa ajak dia jadi pelatih basket!”

Semua orang tertawa, dan Dion merasa suasana kelas semakin hidup. Aldi, teman ketiga mereka yang lebih pendiam tetapi memiliki humor yang tajam, ikut menyela. “Yah, jika Reza jadi pelatih, mungkin kita harus membeli beberapa controller untuk latihan.”

“Duh, jangan! Nanti kita malah kalah sama tim lawan,” sahut Fariz.

Tak lama kemudian, Aris, teman baik Reza yang selalu suka bermain-main, ikut menimpali. “Jangan lupa, Dion! Jika kamu kalah, kamu harus traktir kita semua es krim!”

“Dan jangan sampai nyangkut di tiang gawang!” Reza menambahkan dengan senyum nakal.

Dion hanya menggelengkan kepala, berusaha tidak terpengaruh. “Tentu, jika kamu semua mau membayar tiketnya.”

Sesi berikutnya berlanjut dengan canda tawa, dan semua orang tampak menantikan pertandingan basket sore itu. Setelah bel berbunyi, Dion dan Clara berjalan bersama menuju pintu keluar sekolah. Lila menyusul di belakang, masih berbicara penuh semangat tentang pertandingan.

“Beneran ya, Dion. Kita butuh strategi! Kita bisa atur formasi, biar tim kita tak terkalahkan!” Lila berkata penuh antusias.

Dion hanya mengangguk, tetapi Clara merasakan ada sesuatu yang berbeda di antara mereka—entah itu pengertian atau ketertarikan yang mulai tumbuh. Saat mereka melangkah keluar, Clara menyadari bahwa hari ini adalah salah satu hari yang mungkin akan diingatnya—tidak hanya karena permainan basket, tetapi juga karena Dion, yang sedikit demi sedikit mulai membuka diri.

Di lapangan, siswa-siswa lain sudah berkumpul. Lila segera mengatur tim, sementara Dion berdiri di pinggir, terlihat canggung. Clara tersenyum padanya, berusaha memberi semangat. “Ayo, Dion. Ini bisa jadi seru,” ujarnya.

Setelah beberapa menit, pertandingan dimulai. Lila, dengan energi yang meluap, langsung menguasai permainan. Dion, di sisi lain, mulai menunjukkan bakatnya. Meski awalnya tampak enggan, ia mulai terlibat dan bermain dengan serius. Clara tidak bisa menahan senyum saat melihat Dion bersinar di lapangan, menunjukkan sisi yang jarang ia lihat.

“Bagus, Dion!” Clara bersorak, dan kali ini, Dion meliriknya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada seberkas cahaya di matanya, seolah ia menikmati momen itu lebih dari yang ia tunjukkan.

Di tengah permainan, Rian mencoba menyalip Dion. “Ayo, Dion! Jangan kalah sama Aris, dia skillnya lebih jelek dari pemain cadangan!” serunya, membuat semua orang tertawa.

Aris, yang tertegun mendengar celaan Rian, balas menimpali. “Eh, jangan salah, skillku adalah yang terpendam! Kalian semua akan terkejut saat aku mencetak angka!”

Permainan pun berlangsung seru, dengan tawa dan teriakan mengisi udara. Ketika Dion melakukan dribble dan mencetak poin, suasana semakin meriah. Clara bersorak lagi, dan kali ini, Dion tidak hanya melirik, tetapi juga memberikan senyuman tipis.

Setelah pertandingan berakhir, semua orang berpeluh tetapi tampak puas. Lila melompat-lompat, kegirangan. “Kita harus lakukan ini lagi! Kamu hebat, Dion!”

Dion hanya mengangguk, terlihat sedikit tersipu. Clara mendekatinya, “Kamu luar biasa! Kenapa tidak bilang kamu jago basket?”

Dion hanya tersenyum kecil, mengalihkan pandangannya. Clara merasa senang melihatnya lebih terbuka, meski dia tahu ada banyak hal yang masih disimpan Dion di dalam hatinya.

Reza, Fariz, dan Aldi menghampiri mereka, semua dengan senyum lebar di wajah. “Dion, kamu pantas jadi kapten tim!” Fariz berkomentar, masih bersemangat. “Apa kamu mau jadi kapten di pertandingan berikutnya?”

Dion menggeleng. “Aku lebih suka jadi pemain biasa,” jawabnya, tetapi nada suaranya menunjukkan bahwa dia mulai menikmati perhatian itu.

Aldi menambahkan, “Kalau begitu, kita butuh strategi yang lebih baik untuk pertandingan selanjutnya. Lila, kamu harus jadi pelatih!”

Lila tertawa, “Oke, tapi hanya jika kalian setuju untuk latihan setiap hari!”

“Latihan? Itu berarti lebih banyak waktu bersama!” Reza menggoda, membuat semua orang tertawa.

Setelah semua tertawa, mereka berencana untuk berkumpul lagi minggu depan. Clara merasa beruntung bisa berada di tengah-tengah mereka—sahabat-sahabat yang penuh semangat dan humor, membuat suasana semakin ceria. Momen-momen seperti ini membuatnya merasa lebih dekat dengan Dion, yang selama ini tampak dingin.

Saat mereka berjalan pulang, Clara dan Dion tertinggal sedikit di belakang. “Jadi, apa kamu mau ikut latihan?” Clara bertanya, berusaha mencairkan suasana.

Dion berpikir sejenak. “Mungkin. Tapi hanya jika kamu juga ikut,” jawabnya, suara agak ragu.

Clara tersenyum lebar. “Tentu! Aku akan berusaha sebaik mungkin.”

“Bagus. Mungkin kita bisa berlatih bersama di lapangan dekat rumahmu,” Dion menambahkan, menatapnya dengan ekspresi serius, tetapi di balik itu, Clara bisa melihat ada sedikit harapan.

Clara merasa jantungnya berdebar. “Oke, aku tunggu!” Ia membalas, merasa ada ikatan baru yang mulai terbentuk di antara mereka.

Ketika mereka sampai di persimpangan jalan, Reza, Fariz, dan Aldi melambat untuk menunggu. “Eh, kalian berdua mau kemana? Jangan-jangan ada yang mau jadian?” Reza menggoda, menyebabkan Fariz dan Aldi tertawa terbahak-bahak.

Dion hanya mendengus, tetapi ada senyum kecil di wajahnya. Clara merasakan pipinya memanas. “Tentu saja tidak!” jawabnya, berusaha terlihat tenang. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa senang dengan candaan itu.

Setelah perpisahan, Clara pulang dengan senyuman di wajahnya. Dia tahu hari ini akan menjadi salah satu kenangan yang tak terlupakan, di mana dia dan Dion mulai saling mengenal lebih dekat, ditambah dengan kehadiran sahabat-sahabat yang membuat segalanya terasa lebih ringan dan penuh tawa.

Di rumah, Clara merenungkan semua yang terjadi. Sambil duduk di meja belajarnya, ia mengambil buku catatan dan mulai menulis. Setiap momen, setiap senyuman Dion, dan semua candaan sahabatnya—semua itu menjadi bagian dari cerita yang ingin ia abadikan.

Dari kejauhan, Dion pulang dengan pikiran yang serupa. Dia merasa lebih hidup daripada sebelumnya. Suasana di lapangan, tawa teman-temannya, dan senyuman Clara—semuanya seperti membangkitkan sisi dirinya yang selama ini tersembunyi. Dalam hati, Dion tahu bahwa hubungan mereka mungkin akan tumbuh, dan itu membuatnya sedikit gugup sekaligus bersemangat.

Dengan perasaan campur aduk, Dion menatap langit malam yang penuh bintang. Dia ingin melangkah maju, tetapi juga tidak bisa mengabaikan ketakutannya akan perasaan yang lebih dalam. Namun, saat dia membayangkan Clara, dia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru.

To be continued...

1
Kamsia
tuhhkan baperan clara ternyata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!