"Biarkan sejenak aku bersandar padamu dalam hujan badai dan mati lampu ini. Aku tidak tahu apa yang ada dalam hatiku, aku hanya ingin memelukmu ..."
Kata-kata itu masih terngiang dalam ingatan. Bagaimana bisa, seorang Tuan Muda Arogan dan sombong memberikan hatinya untuk seorang pelayan rendah seperti dirinya? Namun takdirnya adalah melahirkan pewarisnya, meskipun cintanya penuh rintangan dan cobaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susi Ana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Sang Penolong
Helena langsung menatap tajam ke arah kakeknya. Perkataan Sang Kakek membuat nya bingung. Dia belum mengungkapkan tentang perasaan nya pada pemuda tampan yang terbaring belum sadarkan diri. Namun, Sang Kakek sudah memperingatinya dengan keras. Bahwa dia nggak boleh mencintai pemuda itu.
Seolah-olah Sang Kakek memiliki kekuatan meramal masa depan. Mulut Helena yang tadinya terkatup rapat, terbuka sedikit akibat rasa tak percayanya. Ingin sekali dia bertanya banyak hal. Apakah benar Sang Kakek memiliki kemampuan meramal masa depan?
"Ada apa Helena?"
Tanya Sang Kakek begitu selesai menyantap buburnya. Beliau melihat perubahan sikap yang aneh pada cucunya. Helena tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dia mendadak berdiri dan agak dongkol pada kakeknya.
"Ucapan mu aneh, Kakek!! Siapa yang mencintai orang yang nggak jelas ini? Aku nggak mungkin mencintainya, jadi jangan aneh-aneh bicara mu Kek!!"
Jawab Helena dengan wajah cantik juteknya. Wajah putih nan cantik itu tampak bersungut-sungut menampilkan bibir monyongnya dan tatapan mata jengkel. Kemudian dia melangkah kan kakinya keluar dari ruangan itu. Sang Kakek hanya tersenyum dan kadang terkekeh sendiri.
"Helena.... Helena, kamu belum menyadari perasaan mu. Jangan mencintainya, kau akan sedih cucuku."
Sang Kakek langsung mengoleskan obat lagi pada luka-luka yang di derita oleh Lou. Berkat obat atau ramuan yang dioleskan Sang Kakek, luka yang basah dan berdarah itu berubah mengering. Kini, menunggu Lou sadar. Berharap keajaiban itu terjadi. Hampir seharian, Kakek menjaganya. Tanpa pergi ke kebun untuk bercocok tanam maupun mencari tumbuhan obat.
"Dia belum juga sadar ya Kek? Bagaimana jika dia mati? Kita pasti dapat masalah, Kek."
Kata Helena yang baru masuk dan dia capek harus berkali-kali menghangatkan buburnya. Badannya pun terasa pegal, karena hari ini Sang Kakek menyuruhnya ini-itu tiada henti. Jika dia mengingat larangan Sang Kakek, kadang ada rasa malas menjalankan semua perintahnya.
"Jangan bicara seperti itu, belum takdirnya dia mati. Takdir besar sudah menunggunya."
Lagi-lagi jawaban Sang Kakek terasa tidak masuk akal bagi Helena. Takdir besar apa? Kenapa dirinya tidak boleh mencintainya? Apa hubungannya dengan Naga? Pertanyaan itu muncul di benak Helena. Dia menganggap ucapan kakeknya semakin melantur saja.
"Kakek bicara aneh lagi, deh. Jika Kakek bisa melihat masa depannya, kenapa Kakek nggak sekalian meramal masa depanku? Aku ingin pergi ke kota, Kek! Aku sudah bosan tinggal di pedalaman hutan begini!"
Ada rasa jengkel, sehingga nada bicara Helena agak meninggi. Sang Kakek pun menatapnya sedih, beliau tak menyangka cucu kesayangan nya akan bicara begitu. Beliau juga sudah bisa meramalkan masa depan cucunya itu. Takdir cintanya, adalah mencintai pria yang tak seharusnya boleh dicintai. Takdir Lou adalah reinkarnasi dari kekasih seorang Dewi. Hal itulah yang ditakutkan oleh Sang Kakek, bila cucunya nggak bisa dicegah.
"Helena tega meninggalkan Kakek hidup sendirian??" Tanyanya dengan sedih.
"Sebenarnya sih nggak tega. Tapi, aku ingin melihat dunia luar Kek. Aku ingin tahu, kehidupan di sebuah kota. Aku ingin mencari pekerjaan."
Helena pun menjawab dengan serius. Ada kesungguhan dalam ucapannya itu. Sang Kakek nggak bisa bicara lagi. Beliau langsung mengalihkan pandangannya ke tubuh Lou. Sang Kakek melihat sekilas, jari-jari Lou bergerak pelan.
"Tolong, Carikan ramuan obat untuk diminumnya. Campur semua yang ada di keranjang. Ambil daunnya tiap tiga helai, Helena!"
Perintah Sang Kakek tiba-tiba. Helena tak mengerti, namun segera menjalankan perintah itu. Dia keluar dari ruangan tersebut dan menuju ke keranjang obat yang ditaruh kakeknya di sebelah pintu dapur.
Firasat Sang Kakek benar, ada tanda-tanda Lou sadar. Meskipun lemah, jari-jari tangan Lou terlihat bergerak. Dan perlahan, mata pemuda itu terbuka. Saat terbuka, matanya mengamati sekelilingnya. Dia menatap ke langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu.
"Ugh....di manakah aku? Apakah ini tempat kematian? A....duh! Tidak!! Aku masih merasakan rasa sakit. Ugh....aku masih hidup rupanya. Tapi....ini di mana? Kenapa aku bisa ada di sini? Di atas ranjang di sebuah kamar??"
Batin Lou, yang belum mampu membuka mulutnya. Hanya matanya yang menoleh ke kiri dan ke kanan mengamati sekitarnya. Saat matanya berpapasan dengan seorang pria tua, dengan uban penuh di kepala....Lou tersenyum sopan dengan mengangguk kan kepala sedikit.
"Sudah sadar, Anak Muda?"
Tanya pria tua itu begitu melihat sikap Lou yang berusaha menghormati nya. Meskipun badannya lemah dan nggak memiliki tenaga, pemuda itu masih memiliki sopan santun. Hal itu membuat Kakek senang.
"......" Tanpa bisa menjawab dengan kata-kata, Lou menganggukkan kepalanya dan berusaha bangun dari tidurnya. Tapi, badannya merasakan sakit yang teramat sangat. Bahkan kepalanya terasa sakit sekali. Tangannya kuat menekan kepalanya. Kakek pun langsung menolongnya dengan mengusap kepala Lou.
"Jangan terlalu dipaksa, nanti lukanya berdarah lagi."
Cegah Sang Kakek sambil membantu Lou membaringkan badannya lagi. Lou pun menurut, tanpa memberontak. Dan rasa sakit di kepalanya menghilang.
"Kakek, ini ramuan obat yang Kakek minta!"
Helena masuk dengan tergesa-gesa sambil membawa secangkir ramuan di tangannya. Helena agak terkejut, saat melihat Lou membuka mata. Berarti pemuda itu selamat dan sudah sadar. Entah kenapa, hatinya merasa lega. Bahkan rasa senang yang sulit dijabarkan dia rasakan saat itu.
"Ayo, minumlah...." Kata Sang Kakek begitu menerima cangkir dari tangan cucu cantiknya. Beliau membantu Lou bangun.
Lou agak menolak minum ramuan itu. Dia ingin menjadi seorang Dokter. Tapi dia memiliki sifat, sulit minum jamu atau pun ramuan. Dia lebih memilih makan pil atau kapsul obat yang langsung ditelan. Kakek pun menyadari nya, dengan nada agak memaksa....Sang Kakek bicara.
"Luka luarmu bisa sembuh dengan ramuan yang ku oleskan! Tapi, luka dalam mu parah!! Harus minum air ramuan ini! Ayo, minumlah...."
Kata Sang Kakek dengan serius, Helena merasa kasihan pada Lou yang terlihat terpaksa meneguk cangkir minuman itu. Tanpa ragu lagi, Lou pun meminumnya. Tapi, segera dimuntahkan!!
"Huek!! Huek!! Pahit Kek! Ini ramuan apa??" Tanya Lou dengan suara lemah nggak punya energi sedikit pun.
"Bodoh!! Susah payah aku temukan bahan-bahan obat ini untukmu malah dibuang sia-sia!! Ayo, minum lagi!! Ramuan ini sangat bermanfaat untuk mengobati luka dalam mu!! Cucuku sudah susah payah membuatkannya untukmu!!"
Omelan Sang Kakek nggak mau berhenti. Helena yang mendengar Omelan kakeknya, hanya bisa diam sambil menatap kasihan ke wajah Lou. Sedangkan Lou, seperti pasrah dan tidak punya tenaga untuk berkomentar. Sang Kakek pun melanjutkan omelannya.
"Kau seperti bunga layu!! Tidak memiliki tenaga sedikit pun!! Ramuan ini juga berfungsi memulihkan tenagamu. Dan juga untuk menghilangkan rasa sakit di kepalamu dan tubuhmu!! Kamu masih ingin hidup kan?! Kemungkinan ada gumpalan darah di kepala. Coba gerakkan kepalamu...."
Omelan itu berubah sebuah perintah. Helena yang ada di samping kakeknya, ikut merasa cemas. Sedangkan Lou, yang sulit untuk bicara hanya bisa menatap mereka bergantian. Dia pun melaksanakan perintah itu.
"Aaaaaaaarg.....!!!
Teriakan keras keluar dari mulutnya. Entah apa yang terjadi pada kepalanya. Lou menjerit histeris, hingga membuat Helena kaget dan syok mendengar jeritannya. Mungkinkan Lou amnesia?