Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Septiani Lagi
Septiani sungguh datang.
Kehadirannya sungguh menyegarkan. Dihyan tersenyum melihat sang gadis dari jauh. Septiani malu-malu membalas senyuman paman angkatnya yang masih muda tersebut.
Septiani alias Ani menyempatkan diri masuk ke rumah, menyapa semua penghuni, termasuk Akung Benjamin dan Ama Maryam. Ia juga sempat berbincang-bincang sebentar dengan seisi rumah, termasuk bibinya, Martha, dan suaminya, serta sepupunya, Steven Markus yang aneh itu sebelum secara khusus menemui Dihyan.
Malam perlahan bergulir ke arah bukit Monterado dimana Septiani dan Dihyan berdiri berdampingan. Mereka berada di halaman depan. Berbeda dengan bagian belakang rumah, di depan, lampu cukup terang. Dari sini mereka berdua dapat melihat lampu-lampu dari berbagai bangunan di sepanjang kaki bukit, sampai pusat pertokoan di bawah sana.
Kedua berdiam diri, saling berdiri berdampingan, bahu keduanya sedikit bersentuhan.
“Ngobrol disana, yuk.” Ajak Dihyan. Ia menunjuk ke arah bangku kayu yang tertancap di atas tanah, di bawah sebuh pohon yang cukup rindang tetapi tak ia ketahui apa. Dihyan memutuskan untuk lebih dahulu membuka percakapan dengan sang gadis. Pasalnya, ia sendiri masih heran, darimana ia mendapat keberanian tersebut.
Septiani mengangguk.
Malam harusnya gelap, tetapi dalam hal ini sama sekali tidak berhasil menyembunyikan pesona gadis remaja tersebut. Septiani maalah terlihat lebih segar. Wajah cantiknya tersipu-sipu. Parahnya, sore ini ia mengenakan celana pendek yang menonjolkan kulitnya yang sama cerahnya. Septiani juga mengenakan kaus ketat berlengan pendek dan kerah yang lumayan rendah.
Gejolak jiwa laki-laki muda semacam Dihyan tentu perlahan menyalak dan melalak, meletup, meleduk dan meledak.
Aroma sabun yang menguar dari tubuh gadis itu membuat perut Dihyan mendadak bergejolak, bukan karena mules, melainkan karena titik-titik kecil hasrat.
Keduanya akhirnya duduk bersebelahan di kursi kayu yang ditancapkan ke tanah tepat di bawah sepuah pohon yang Dihyan tak tahu apa namanya itu.
“Tadi aku lihat meja abu. Itu buat sembahyang gitu ya?” tanya Dihyan. Ia sudah mengatakan bahwa ia ingin banyak bertanya kepada Septiani mengenai budaya dan kebiasaan orang Tionghoa. Meskipun sebenarnya siang tadi ia hany basa-basi, kali ini ia sungguh tertarik untuk mengetahui tentang tempat sembahyang itu. Terutama karena ia menemukan sebuah keris Semar mesem yang berada di bawah meja.
“Ooo … iya, Suk. Itu untuk sembahyang orang Tionghoa yang beragama Khonghucu atau Tao, atau mereka yang masih memiliki kepercayaan kuno Cina,” ujar Septiani. “Tapi, Suk, jujur, aku sudah nggak terlalu paham sih. Soalnya, ehm … sudah nggak terlalu taat. Kami melakukannya ya karena syarat saja, menghargai mendiang Akung dan Ama.”
Dihyan tersenyum. “Dari siang tadi kamu bilang nggak tahu banyak. Tapi tetep aja apa yang kamu bilang informatif, tuh.”
Septiani kini yang tersenyum. Wajahnya memerah.
“Coba, sekarang aku tanya. Sembahyang leluhur ini sebenarnya apa tujuannya?” tanya Dihyan.
Septiani menunduk, kemudian melirik malu-malu ke arah Dihyan. Ia menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga, kemudian menjawab, “Itu bentuk penghormatan kepada leluhur, Suk. Orang Tionghoa percaya bahwa roh-roh orang yang sudah meninggal juga tetap memerlukan hal-hal yang mereka butuhkan di dunia. Kebutuhan-kebutuhan itu hanya dapat diperoleh dari sanak saudara yang masih hidup.”
“Nah, itu bisa jawab,” ujar Dihyan sedikit berseru.
Keduanya tertawa.
“Terus apa lagi tujuan sembahyang leluhur itu?” lanjut Dihyan seperti mengetes atau memberikan ujian atas kemampuan dan pengetahuan Septiani atas budaya Tionghoa.
“Hmm … ya karena orang Tionghoa tetap mau menjaga hubungan dengan masa lampau, supaya tahu identitasnya sendiri. Itu juga sebagai bentuk cinta dan penghormatan terhadap orang tua dan leluhur, kadang juga sebagai permintaan berkah kepada para arwah, mendapatkan perlindungan dari leluhur, bisa juga melindungi diri dari kutukan roh-roh jahat.”
Dihyan terdiam. Kalimat tertakhir, “Melindungi diri dari kutukan roh-roh jahat” mendadak membuatnya tersentak.
“Suk, Asuk tidak apa-apa?” tanya Septiani ketika melihat perubahan ekstrem dari raut wajah dan perilaku Dihyan.
“Eh, nggak, nggak apa-apa. Terus, pertanyaan selanjutnya, kenapa kamu cantik?”
Dihyan tak tahu darimana keberanian itu datang kepadanya.
Septiani menatap Dihyan tak percaya. Wajah cantiknya semakin memerah. Tetapi ia terlambat menyembunyikannya. Dihyan sudah sempat melihat bahwa ia begitu malu dan terkena sekali dengan pujian gombal seorang Dihyan.
“Asuk, ih. Malu, wa, Suk.” Ucap Septiani pendek. Ia menunduk sedalam-dalamnya.
Dihyan mencelos. Ia tidak menyangka Septiani terlihat semakin cantik. Karena menunduk, bagian kaus ketat dengan dada rendah itu tersingkap, mengekspos belahan dadanya yang begitu indah. Dua gundukan tersebut terlihat ranum, dibalut kulit putih cerah nan mulus.
Dihyan tak sengaja meraba isi kantung celananya: keris Semar mesem yang berada di dalam kantung kain berwana merah Lou dan bertali kuning keemasan.
Septiani mengangkat kepalanya. Dihyan langsung memindahkan tatapannya yang semula berpusat pada gundukan padat buah dada sang gadis ke wajahnya.
“Suk, sudah pernah lihat klenteng itu dari sudut lain belum?” tanya Septiani sembari menunjuk ke suatu arah.
Ada satu bangunan yang terlihat di balik rerimbunan pepohonan. Keduanya tak bisa melihat dengan jelas, walau bangunan tersebut juga disinari dengan lampu.
Dihyan menggeleng. “Emang itu apaan?”
Septiani berdiri. “Ikut aku yuk.”
Seperti seekor kerbau dicucuk hidungnya, Dihyan mengikuti Septiani dari belakang. Gadis itu terbilang mungil bila dibandingkan dengan Dihyan yang bertubuh jangkung, tetapi setiap lekukan pinggul, bokong dan bahunya saja sudah begitu menawan dari belakang.
Dihyan terus mengikuti Septiani melewati jalan setapak di halaman depan, menuruni bukit ke arah samping, dan masih kembali turun.
Kini keduanya berada di sebuah lahan yang tidak terlalu besar. Pepohonan Tengkawang dan Bengkirai yang besar dan rindang menaungi keberadaan mereka. Tidak akan ada seorangpun yang dapat melihat mereka, baik dari atas maupun bawah.
Septiani tersenyum lebar dan sumringah.
Dihyan tahu sekarang alasannya. Dari tempat itu, mereka dapat melihat pemandangan sederhana yang begitu memukau. Bangunan yang ditunjukkan oleh Septiani tadi adalah sebuah klenteng. Bangunan itu berwarna merah terang. Sinar lampu bermain-main di permukaan bangunan dan memencar serta memancar ke segala arah. Klenteng tersebut seperti sebuah permata yang berkilauan di dasar air.
“Orang daerah sini menyebutnya Klenteng Langit Bumi. Kalau siang biasa kita nggak memperhatikan. Tapi, kalau malam seperti ini terlihat cantik, kan?” ujar Septiani.
Dihyan tak bisa memungkiri keindahan klenteng itu. Tetapi di saat yang sama, ia juga tidak bisa tidak mengacuhkan kecantikan Septiani yang sama bersinarnya.
Septiani berpaling dan berserobok pandang dengan Dihyan yang sedang memperhatikannya. Senyum Septiani memudar. Namun, kali ini ia tidak berpaling menghindari tatapan dalam Dihyan. Wajahnya kembali memerah, menciptakan kesan menggemaskan.
“Jadi, sudah tahu jawabannya? Mengapa kamu cantik?” ujar Dihyan.
Septiani menggeleng pelan.
“Aku malah punya pertanyaan sama Asuk. Kenapa Asuk cakep?” kata-kata itu bergulir pelan dari bibir Septiani. Lembut dan pelan. Begitu merdu di telinga Dihyan walau kini dadanya berdegup begitu kencang sampai terasa sakit.
Dihyan mendekat ke arah Septiani. Keduanya berhadap-hadapan.
Septiani harus mendongak untuk melihat wajah Dihyan yang tinggi itu.
Dihyan menyentuh sepasang pipi Septiani yang memerah dengan kedua telapak tangannya. Ia menangkupkannya disana sebelum menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Septiani.
Dihyan mengecup bibir Septiani lembut dan perlahan.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh