Azzam tidak menyadari bahwa wanita yang ia nikahi bukanlah kekasihnya, melainkan saudara kembarnya.
Sejak kepulangannya dari Kanada, sebenarnya Azzam merasa ada yang aneh dengan kekasihnya, ia merasa kekasihnya sedikit berubah, namun karena rasa cintanya pada sang kekasih, ia tetap menerima perubahan itu.
Bagaimana jika suatu saat Azzam mengetahui yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shangrilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baju dinas
Happy reading..
Di tengah deru angin malam, Azzam dan Zura melangkah melewati pintu gerbang rumah keluarga Azzam yang dihiasi dengan rangkaian bunga putih untuk menyambut kedatangan sepasang pengantin baru itu.
Zura, masih mengenakan gaun pengantinnya yang mewah, terlihat anggun namun lelah. Dia berjalan mendekat ke sofa, melepas sepatu hak tingginya dan merengkuh kaki yang terasa nyeri.
Azzam yang mengenakan setelan jas hitam, mengikuti langkahnya. "Capek, sayang?" tanyanya.
"Banget," jawab Zura.
"Rasanya seperti mimpi, bukan?" ucap Azzam sambil duduk di sebelah Zura. Matanya menatap lembut wajah Zura yang tampak memancarkan kelelahan.
Zura mengangguk, tersenyum pahit. "Mimpi yang melelahkan," jawabnya lirih. Dia memandang sekeliling rumah yang sunyi, merasakan keheningan yang kontras dengan riuhnya resepsi tadi.
Mungkin Ibu mertuanya sudah istirahat, karena tadi Mama Azzam sudah pulang lebih dulu bareng Abiyan sekeluarga, namun sekarang keluarga kakak Azzam sudah tinggal di rumah mereka sendiri.
"Tapi aku senang, akhirnya kita bisa beristirahat." lanjut Zura.
Azzam mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Zura erat-erat. "Ini baru permulaan, sayang. Kita masih punya banyak mimpi untuk diwujudkan bersama."
"Ya, bersama," kata Zura yang hanya terucap di bibir. Dalam hati Zura, ia sendiri tidak bisa menebak bagaimana akhir dari semua ini.
Ini bagaikan boom waktu, yang sewaktu-waktu bisa saja meledak. Bisa saja suatu saat nanti Azzam akan tahu yang sebenarnya. Jika itu terjadi, Zura belum bisa membayangkannya.
"Ayo kita ke kamar, kita bersih-bersih badan lanjut istirahat." ajak Azzam seraya beranjak dari tempatnya.
Zura mengikuti langkah Azzam menuju kamarnya. Ini kali pertamanya Zura akan memasuki kamar Azzam. Sebelumnya Zura kesini hanya sampai di ruang tamu dan dapur saja.
Azzam membuka pintu kamar dengan hati yang berdebar, dia ingin melihat reaksi Zura melihat perubahan yang telah dia lakukan. Zura memasuki kamar itu dengan langkah ragu, mata Zura melihat sekeliling, memerhatikan setiap detail. Dinding kamar ini ber cat pastel lembut, ditambahkan beberapa hiasan bunga yang membuat ruangan itu terasa lebih hangat dan nyaman.
"Aku sudah merenovasi kamar ini, demi kamu, supaya kamu nyaman tinggal disini bersamaku." ucap Azzam.
Zura menoleh ke arah Azzam. "Demi aku?" ucapnya dengan suara yang bergetar antara haru dan seakan tidak percaya.
Azzam pun mengangguk. "Iya. Demi kamu, sayang. Aku hanya ingin kamu merasa nyaman tinggal disini, karena mulai sekarang rumah ini adalah rumah kita bersama."
"Terima kasih, Mas. Kamu membuatku merasa sangat istimewa."
"Kamu suka?" tanya Azzam dengan nada penuh harap. Dia mengamati ekspresi wajah Zura, mencari tanda-tanda kebahagiaan.
Zura mengangguk seraya tersenyum simpul.
Keduanya berdiri berpelukan, menikmati kehangatan dan kelembutan yang dibawa oleh suasana kamar baru mereka. Kini, setiap sudutnya menyimpan harapan dan impian untuk masa depan bersama yang lebih bahagia.
"Aku dulu atau kamu dulu yang mandi?" tanya Azzam. "Atau mau langsung barengan?"
"Ishh, apaan sih, Mas." Zura tersipu saat Azzam bilang barengan.
Zura berdiri di depan cermin kamar tidur mereka, ia memandangi gaun pengantin putih yang membalut tubuhnya dengan sempurna, namun kini terasa berat dan merepotkan. Dia menoleh ke arah Azzam yang sedang duduk di tepi tempat tidur, mata pria itu terpaku pada layar ponselnya, Azzam sedang membalas beberapa chat penting yang masuk.
"Mas, tolong lepasin pengait gaunnya ya," pinta Zura dengan suara lembut, sambil mencoba meraih punggungnya yang tidak terjangkau.
Azzam segera meletakkan ponselnya, ia berdiri dan mendekati Zura. Dengan hati-hati, jemarinya mulai bekerja pada pengait gaun yang rumit. Setiap pengait yang terlepas membuat Zura semakin merasa lega. Setelah itu, Azzam menurunkan resleting gaun Zura perlahan, memastikan tidak tersangkut rambut panjangnya yang sudah mulai terurai.
"Terima kasih, Mas," ucap Zura, memberikan senyum lelah. "Sekalian ini, Mas." Zura meminta Azzam untuk melepas aksesoris di kepalanya.
Azzam mengangguk, dia memulai dengan mencabut pin bunga yang menancap di antara ikal rambut Zura, kemudian melepas tiara yang sudah menerap indah di kepala Zura sepanjang hari.
Setiap sentuhan Azzam terasa lembut dan penuh perhatian, membuat Zura merasa dicintai dan dihargai meski dalam kelelahan. Setelah semuanya terlepas, Zura mengucapkan terima kasih sekali lagi dan berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri dari seluruh penat dan makeup yang telah menemani hari spesial mereka. Azzam tersenyum, menatap punggung Zura yang kini terlihat lebih rileks seiring langkahnya menjauh.
Zura membersihkan badannya terlebih dahulu, sementara Azzam kembali sibuk pada ponselnya. Sembari menunggu Zura mandi, ia lanjut membalas beberapa chat yang masuk.
Zura mulai membersihkan wajahnya, tubuhnya, dan juga rambutnya. Semua ia bersihkan karena semua terasa begitu kotor setelah acara dari pagi hingga larut malam.
Setelah mematikan keran, Zura berdiri termangu di depan cermin besar yang memenuhi dinding kamar mandi. Air yang menetes dari rambutnya, menambah kesan murung pada wajahnya yang pucat.
Tiba-tiba ia takut keluar dari kamar mandi, rasanya ia belum siap jika di tagih jatah oleh Azzam yang saat ini sudah sah berstatus suaminya. Ia mengusap kabut di cermin dan memandang refleksi dirinya dengan mata berkaca-kaca.
Zura menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melangkah keluar dari kamar mandi. Namun, setiap kali ia hendak membuka pintu, kakinya seolah tertanam di lantai keramik yang dingin. Kecemasan menggelayuti pikirannya, memenuhi setiap sudut hatinya dengan ketakutan.
"Aku benar-benar belum siap kalau Mas Azzam meminta hak nya." gumamnya lirih. Suara jantungnya yang berdegup kencang seperti gendang telinga, mengingatkannya pada kekhawatiran yang terus menerus berkecamuk dalam dirinya. Dia menarik nafas dalam-dalam, mencoba meredam gemuruh di dadanya.
Sementara itu, di luar kamar mandi, Azzam menunggu dengan rasa sabar yang terbungkus kegugupan. Ia berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi, mencoba mendengarkan suara apa pun dari dalam. Ketidakpastian juga merayapi hatinya, namun ia berusaha untuk tetap tenang demi Zura.
Lama Zura berdiri di balik pintu, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi apa yang harus dihadapi. Akhirnya, dengan nafas yang berat, ia perlahan membuka pintu kamar mandi. Cahaya dari kamar tidur menyilaukan matanya sejenak, dan saat pandangannya menyesuaikan, ia melihat Azzam yang menatapnya penuh kelembutan.
Pertemuan mata itu seolah membawa sebuah kesepakatan tanpa kata. Langkahnya perlahan mendekat, meninggalkan segala kekhawatiran di balik pintu kamar mandi yang kini terbuka.
"Lama banget di kamar mandi, aku jadi khawatir." ucap Azzam.
"Banyak yang harus di bersihkan, Mas." sahut Zura sambil melangkah menuju lemari.
Namun langkahnya terhenti saat ia melihat pakaian terlipat rapi di atas tempat tidur. "Loh, mas?"
"Malam ini, kamu pakai baju itu ya." pinta Azzam.
Pakaian minim bahan, dan berbahan tipis telah Azzam siapkan di atas tempat tidur.
Malam ini adalah malam pertama mereka, mungkin Azzam ingin mengukir malam yang indah dan tak terlupakan seumur hidup mereka.
To be continued.