Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGAIMANA CARANYA MEMPERCAYAI?
Meski pikirannya sendiri sedang kalut, Laina memutuskan untuk tetap berada di sisi Azkan. Dengan bantuan Armana, dokter dari rumah sakit Pulau Asa didatangkan ke kastil. Dokter memberikan suntikan penurun panas untuk mengatasi demam di tubuh Azkan yang terus naik hingga dia menggigil kesakitan. Dokter juga memberikan infus supaya Azkan tidak dehidrasi. Beberapa macam obat pun diresepkan. Setelah memastikan Laina memahami semua instruksi yang diberikan oleh sang dokter selama merawat Azkan, dokter itu pun pulang dan berkata akan kembali besok pagi untuk memeriksa keadaan Azkan.
Padahal Laina sudah mengikuti semua instruksi dokter. Dia juga sudah mengompres Azkan dengan handuk basah selama beberapa jam. Air dingin di handuk yang dia kompreskan terus menerus berubah menjadi hangat tiap kali menempel di tubuh Azkan. Tubuh Azkan beberapa kali gemetaran tak terkendali dan dia merintih kesakitan.
“Sesakit apa hukuman yang diberikan padamu karena berbohong, sampai keadaanmu bisa seperti ini?” Laina tak tega melihat Azkan yang terus kesakitan sepanjang malam. Jam di dinding kamar Azkan menunjukkan tengah malam sudah lewat beberapa menit.
“Aku mencintaimu,...” tiba-tiba terdengar suara lirih Azkan di tengah rintihannya menahan sakit.
Laina tak yakin apakah yang dia dengar barusan itu benar.
“Aku mencintaimu …” terdengar lagi suara Azkan yang seakan sedang menegaskan ucapannya pada seseorang. “... sangat.”
Laina mengusap keringat dingin di wajah Azkan dengan handuk di tangannya sambil mendesah.
“Siapa yang kau temui di dalam mimpimu, Az?”
Azkan tak menjawab. Dia merintih kesakitan lagi.
“Kata Armana, keadaanmu menjadi seperti ini karena hari ini kau telah berbohong.” Laina mencelupkan handuk di tangannya yang berubah menjadi hangat ke dalam air dingin lagi. “Seharian ini, aku terus bersamamu,” Laina mengusap tubuh Azkan yang tak mengenakan pakaian karena dokter menyuruhnya untuk terus mengompres seluruh tubuh Azkan sampai demamnya turun. “... dari semua yang kau katakan sepanjang hari ini, mana yang kebohongan?”
Laina tak berharap Azkan langsung menjawabnya. Di tengah keadaannya yang buruk seperti ini, Laina sebenarnya hanya ingin Azkan segera membaik. Namun rasa penasarannya juga tak kalah besar. Apalagi dia telah memberikan kepercayaannya pada Azkan. Sekarang, ketika dia mengetahui Azkan telah berbohong ketika bersamanya, dia jadi bingung. Apakah Azkan membohonginya atau membohongi orang lain.
Dengan handuk yang sudah dibilas lagi dengan air dingin, Laina mengusap perut Azkan yang menegang karena menahan sakit.
Grep!
“Azkan? Kau sudah bangun?” Laina merespon tangan Azkan yang menggenggam tangannya di atas perut.
Ternyata Azkan masih terpejam. Dia tidak menjawab pertanyaan Laina. Tetapi tangannya, masih menggenggam tangan Laina yang berada di atas perutnya.
“Apa kau bermimpi lagi?” dengan tangannya yang lain, Laina membelai punggung tangan Azkan hingga dia mengendurkan genggamannya.
“Kalau itu mimpi buruk, tinggalkan saja mimpi itu. Bangunlah dari mimpimu, dan sadarlah.”
“Maaf …” rintihan Azkan terdengar lagi.
“Maafkan aku, Dewa.” dengan kedua mata yang terpejam semakin rapat, Azkan memohon pada Dewa yang tak nampak.
“Aku mohon …” sebutir air mata mengalir di mata Azkan. Hati Laina pilu melihat semua itu.
“Kenapa Dewa begitu kejam padamu padahal dia memerintahkanmu melakukan hal yang sangat besar?” Laina menahan air matanya agar tak jatuh.
“Kalau Dewa memang mempercayaimu, bukankah seharusnya Dia bersikap sedikit lebih lembut padamu? Kenapa dia menghukummu seperti ini karena sebuah kebohongan? Memangnya kebohongan apa yang sudah kau katakan, Az? Apakah kebohonganmu seburuk itu sampai Dewa semarah ini padamu?” Laina meletakkan telapak tangannya di pipi Azkan, berharap panas di tubuhnya sudah berkurang.
“Dewa, kumohon padaMu, hentikan hukumanMu pada Azkan… Dia sudah sangat kesakitan.” sebutir air mata lolos dari pertahanan diri Laina. Air matanya jatuh begitu saja di pipi Azkan.
Tangan Laina segera mengusap air mata di wajahnya. Dia merasa harus menjadi lebih kuat kalau mau merawat Azkan. Dia tidak boleh menjadi lemah. Begitulah dulu ketika masih hidup, dia terus--menerus mengingatkan dirinya. Selama tinggal di panti asuhan dan melihat orang-orang yang dia sayangi di sana sakit, dialah yang menjadi orang paling kuat dan bisa diandalkan. Laina di masa lalu, selalu merasa kalau dia harus kuat agar orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang dia sayangi, bisa mengandalkannya. Sekarang pun begitu.
Tak berapa lama kemudian, tubuh Azkan tak lagi menggigil. Laina memeriksa suhu tubuh Azkan dengan termometer di atas meja, dan dia pun akhirnya bisa bernafas lega karena suhu tubuh Azkan sudah turun. Meski Azkan belum membuka matanya, tapi senyuman Laina terbentuk indah di wajahnya. “Beristirahatlah, Az. Kau pasti sembuh waktu pagi datang kan?” Kali ini, Laina yang mengelus lembut kepala Azkan, merasakan rambut hitam Azkan di sela jemarinya.
Sinar hangat matahari memasuki seluruh kastil, menyingkirkan gelapnya malam dan udara dingin sepanjang malam. Begitu pula di kamar Azkan yang semalam, tirainya tak ditutup sepenuhnya. Azkan mengernyitkan wajahnya karena sinar matahari yang semakin silau meski kedua matanya terpejam. Tubuhnya terasa lelah padahal dia baru bangun. Ah, pasti aku kesakitan sepanjang malam. Azkan sadar apa yang telah diperbuatnya kemarin dan dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Hukuman penuh rasa sakit dari Dewa karena berbohong. Setelah tidak pernah mendapatkan hukuman seperti ini selama dua ratus tahun terakhir, maka hukuman yang diterimanya semalam, membuatnya kembali mengingat dengan jelas bagaimana kejamnya Dewa jika sedang menghukumnya.
“Mmmhh..” Azkan merasa tangan kanannya mati rasa. Apa tanganku terluka? Namun yang dilihatnya justru sosok Laina yang sedang memeluk lengannya sambil tertidur di sisi tempat tidur.
Apa kau ada di sini sepanjang malam? Kau pasti terkejut dan bingung. Pasti ada banyak sekali pertanyaan di dalam kepalamu sekarang.
Azkan berusaha meraih selimut di atas tubuhnya yang setengah telanjang, lalu memindahkannya ke atas tubuh Laina yang meringkuk kedinginan.
“Az?” sayangnya gerakan Azkan membangunkan Laina dari tidur singkatnya setelah tengah malam jauh berlalu.
“Iya.” Azkan tersenyum, bingung harus mulai berbicara dari mana. Dari keadaannya sekarang? Dari hukuman yang dia terima? Atau dari kebohongannya? Azkan tak ingin membicarakan kebohongannya pada Laina.
“Bagaimana keadaanmu?” Laina segera bangun dari posisi tidurnya di sisi tempat tidur. Dia mendekati Azkan hingga setengah naik ke atas tubuhnya untuk menyentuh dahi Azkan dengan tangannya. “Syukurlah, kau sudah tidak demam.” Azkan menatap Laina dalam diam sambil menahan nafas. Laina tak pernah mendekatinya lebih dulu. Selalu dia yang menghampiri Laina, menggandengnya, memeluknya, membelai kepalanya.
“Apa yang kau rasakan sekarang? Kau kesakitan sepanjang malam.” Laina menopang tubuhnya dengan kedua tangan berada di sisi kanan dan kiri tubuh Azkan yang masih terbaring. Azkan tak bergerak sama sekali. Dia takut menyenggol tangan Laina di sisi tubuhnya dan membuatnya terjatuh begitu saja. Meski sebenarnya, membayangkan tubuh Laina jatuh ke atas tubuhnya, bukanlah hal yang buruk.
“Aku baik-baik saja. Hanya lelah.”
“Tentu saja lelah. Kau sudah menghabiskan semua tenagamu semalam untuk menahan sakit seperti itu. Aku tidak menyangka kalau Dewa bisa setega itu padamu.” Laina mengomel sambil menatap Azkan lekat-lekat.
“Kau berani sekali mengomentari Dewa seperti itu.” cengiran Azkan terbentuk, Kau memang berbeda.
“Biar saja.” Laina merengut, lalu teringat sesuatu. “Oh iya! Infusmu! Kata dokter harus dilepas pagi ini.” Laina menarik tubuhnya mundur, berusaha duduk dengan benar supaya bisa melepaskan infus yang masih tersisa sedikit.
Namun ketika Laina berhasil bangkit dari posisinya yang tadi berada di atas tubuh Azkan, dia kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya hampir saja jatuh menimpa perut Azkan. Untungnya Azkan lebih sigap. Dia berhasil menangkap tubuh Laina dengan tangannya yang tidak diinfus. “Maaf,” ucap Laina dengan jantung berdebar.
“Bilang saja kalau mau memelukku. Aku akan dengan senang hati menyambutnya.” cengiran Azkan membuatnya mendapatkan pukulan di dada hingga mengaduh.
“Kau pasti sudah sembuh.” Laina berhasil berdiri di sisi tempat tidur lalu hendak mencabut infus di punggung tangan Azkan. Namun, Azkan lebih dulu menarik jarum infusnya hingga lepas lalu melemparkannya begitu saja di meja sisi tempat tidurnya.
“Hei! Hati-hati!” Laina meraih tangan Azkan, memriksa punggung tangannya. Meskipun tidak ada jarum sungguhan di dalam tangan Azkan, tetap saja harus berhati-hati saat mencabutnya. “Kata dokter, aku harus melepasnya perlahan dan posisinya harus lurus,” gumaman Laina terdengar mengiringi wajah seriusnya memeriksa bekas infus di tangan Azkan.
“Tidak apa-apa, aku sudah sering melakukannya sendiri.”
“Kau sering sakit?” entah kenapa, tatapan tajam Laina sekarang membuat Azkan merasa takut.
“Tidak.” Azkan menarik tubuhnya ke belakang, mengubah posisinya dari tidur jadi duduk bersandar di tempat tidurnya. “Maksudku, kalau diakumulasikan dari delapan ratus tahun aku hidup, aku sudah melalui berbagai macam kemajuan teknologi pengobatan kan? Jadi, untuk melepas infus sendiri, itu hal yang sangat mudah. Aku juga bisa menyuntik tubuhku sendiri kalau diperlukan.”
“Kau bangga ya?” pertanyaan Laina terdengar sarkas di telinga Azkan.
“Kau marah?” Azkan tak menyangka kalau akhirnya dia akan merasa takut pada seorang perempuan. Selama ini, dia tak pernah takut pada apa pun. Termasuk pada Dewa yang bisa dengan kejam menghukumnya. Perasaan apa ini? Kenapa aku jadi takut pada Laina dan tak ingin membuatnya marah?
“Aku khawatir. Semalam aku melihatmu begitu kesakitan.”
“Maaf,” Azkan meraih tangan Laina, mengelusnya lembut seperti biasa sambil tersenyum, “…dan terima kasih, karena sudah merawatku.”
“...” Laina menatap Azkan tanpa mengatakan apa pun. Hanya kerutan di keningnya yang semakin lama semakin jelas terlihat.
“Tanyakan saja. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Apa kebohongan yang kau ucapkan kemarin, Azkan?”
Azkan terdiam. Wajahnya mengeras. Ekspresi lembutnya menghilang.
“Apa berkaitan denganku?”
Azkan masih diam.
“Baiklah, kalau kau tidak mau menjawabku. Tidak apa-apa. Aku tidak bisa memaksamu.” Laina berbalik, hendak meninggalkan Azkan sendirian di dalam kamarnya. Berada di dalam ruangan yang sama bersama Azkan, dengan segala macam pikiran mengenai kebohongan itu, membuat Laina merasa tak nyaman. Dia jadi melihat Azkan sebagai seorang pria yang tidak bisa dipercaya.
“Ah!” tubuh Laina terjatuh dalam pelukan Azkan. Punggungnya menempel di dada Azkan, dia terduduk di atas tempat tidur Azkan, tenggelam dalam pelukan tubuh Azkan yang jauh lebih besar darinya. Laina tak mengatakan apa pun. Dia hanya diam, membiarkan Azkan mulai berbicara sambil menyandarkan kepalanya di bahunya.
“Kau ingat tentang perempuan yang pernah kusukai ketika aku masih seorang manusia biasa?” suara Azkan parau.
“Iya.” Laina menunduk, menatap tangan Azkan yang menyatu di perutnya.
“Mimpimu adalah tentang kejadian terakhir sebelum aku bertemu Dewa dan tinggal di sini.” perasaan Laina campur aduk mendengar ucapan Azkan.
“Aku tak tahu, bagaimana dan kenapa kenangan terakhirku bisa muncul di mimpimu. Tapi aku bisa pastikan padamu, kalau sekarang ini, perasaanku murni untukmu. Aku sudah lama melepaskan dia. Bahkan sebelum kejadian itu. Aku dan dia tidak akan pernah bisa bersama. Itu takdir Dewa yang tak bisa kuubah. Sejak semula sudah seperti itu.”
Laina ingin bertanya kenapa, takdir seperti apa, dia ingin mendengar ceritanya lebih detail. Tetapi air mata yang menetes di pangkal lehernya, membuatnya menutup mulut rapat-rapat.
“Laina, aku benar-benar menyukaimu. Perasaanku padamu, tumbuh begitu cepat tanpa bisa kukendalikan. Sekarang ini, aku sangat menyayangimu. Sungguh.”
“Tapi semalam, kau mengigau. Kau mengungkapkan cintamu pada seseorang di dalam mimpimu dengan sangat sungguh-sungguh sampai air matamu mengalir…” Laina ingin bertanya siapa perempuan di dalam mimpimu. Apa itu perempuan di masa lalumu?
“Aku ingat semua mimpiku semalam.” punggung Laina menegang. Dia memang ingin tahu, tapi dia tak ingin mendengar jawaban bahwa perempuan di dalam mimpi Azkan bukanlah dirinya.
“Aku melihatmu di dalam mimpiku.”
“Apa?” Laina berusaha menoleh ke belakang, tapi kepala Azkan yang semakin tenggelam di dalam lehernya, membuatnya tak bisa melihat wajah Azkan.
“Aku melihatmu di dalam mimpiku semalam. Kau berlari padaku yang sedang dihukum Dewa. Kau tahu? Tiap kali aku tak sadarkan diri dan kesakitan karena dihukum Dewa, aku mengalami langsung hukuman fisik dari Dewa di dalam mimpiku. Semalam, aku dipukul habis-habisan oleh dua orang malaikat yang sangat besar. Lalu kau datang, berlari sambil bertelanjang kaki, entah darimana, dan dengan berani menyuruh dua malaikat itu berhenti memukuliku. Kau juga memohon pada Dewa. Kau memelukku, sangat erat, dan menangis melihat lukaku. Aku sangat bahagia. Melihatmu ada untukku, aku sangat bahagia, lalu dalam pelukanmu yang sedang menangis itu, aku mengatakan kalau aku mencintaimu, … sangat.”
Azkan mengangkat kepalanya dari leher Laina, lalu Laina berbalik. Dia ingin melihat wajah Azkan secara langsung. Dia ingin melihat bagaimana ekspresi wajah Azkan sekarang. Laina ingin memastikan kalau apa yang didengarnya sekarang, bukanlah sebuah kebohongan. Karena di kedalaman hatinya, Laina sungguh ingin mendengar pengakuan Azkan ini.
“Laina…” Azkan menangkupkan kedua tangannya di wajah Laina. “Aku, mencintaimu. Sungguh.” mereka saling bertatapan, tenggelam dalam keheningan untuk sesaat sebelum Azkan bersuara lagi. “Aku tahu, mungkin sulit bagimu untuk mempercayai kata-kataku ini. Bagimu, aku hanyalah pria yang baru kau kenal. Namun bagiku, ini adalah perasaan yang nyata. Seperti takdir yang tak bisa kulawan, aku menyukaimu, menyayangimu, dan semakin lama bersamamu, aku jatuh cinta padamu. Sekarang, aku bisa mengatakan dengan yakin, kalau aku mencintaimu.”
Laina tak bisa berkata-kata. Ini adalah kali pertama di hidupnya yang sudah tak terhubung dengan dunia manusia hidup lainnya, dia mendengarkan ungkapan perasaan setulus ini. Selama dia hidup sebagai manusia, tak satu pun manusia di sekitarnya, yang memberinya ketulusan seperti Azkan sekarang.
Ketika mendengar ucapan Azkan, Laina menyadari kalau di kedalaman hatinya, dia pun merasakan hal yang sama. Sejak awal, di pagi hari dia melihat Azkan tidur di sisinya, dia tak pernah membenci Azkan. Namun dia tak pernah tahu kalau ternyata perasaannya pun sedalam ini untuk seseorang yang baru dia kenal. Apa karena tinggal di Pulau Asa tempat Dewa memulihkan jiwa yang terluka? Atau karena Azkan yang lebih dulu mengungkapkan perasaannya dengan jujur dan memperlakukannya dengan hangat sejak awal? Atau karena memang Laina yang jatuh cinta begitu saja pada sosok Azkan? Entahlah. Tak ada jawaban pasti yang bisa ditemukan Laina dari dalam dirinya. Semua pertanyaan itu, menguap begitu saja ketika Azkan dengan jujur mengungkapkan isi hatinya.
Sekarang, Laina hanya ingin mempercayai kata hatinya. Sebagai manusia yang sudah meninggal dan jiwanya hidup di Pulau Asa, dia ingin menjalani kehidupan yang berbeda. Kali ini, dia ingin merasakan cinta dan mencintai dengan bahagia. Perlahan, Laina mengangkat kedua tangannya, meletakkannya di sisi wajah Azkan yang terkejut, lalu dengan yakin, dia mengecup bibir Azkan. Tubuh Azkan membeku. Itu adalah sebuah kecupan singkat yang membuat Azkan tak bisa memikirkan apa pun untuk sesaat.
“Laina, kau baru saja menciumku?” Liana mengangguk, membuat tangan Azkan yang masih menempel di wajahnya, ikut bergoyang pelan.
“Kau tahu kan apa artinya kalau kau menciumku?” anggukan Laina menggoyang tangan Azkan lagi.
“Jadi, sekarang, kau sudah menerimaku sebagai seorang kekasih?” senyuman di wajah Laina membuat Azkan tak bisa menahan diri. Azkan meraih pinggang Laina dengan tangan kirinya, meraih tubuh Laina sedekat mungkin dengannya, lalu dengan tangan kanannya, dia meraih leher belakang Laina, menarik wajahnya mendekat padanya, hingga tak memiliki jarak, dan Azkan mencium bibir Laina. Bukan lagi sebuah kecupan singkat. Kali ini, Azkan menyatukan bibirnya dengan Laina. Nafas mereka tersengal. Tubuh mereka semakin menyatu, terus saling meraih, meski sudah tak ada lagi jarak yang bisa dihilangkan. Ciuman itu awalnya lembut, hangat, penuh luapan perasaan, namun tak pernah terasa cukup. Tubuh mereka, menagih sesuatu yang lebih. Saat itu juga, keduanya ingin menjadi satu.