Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Aku duduk di ruang tamu, menatap hampa ke arah jendela yang terbuka. Angin sore berhembus lembut, tapi tidak membawa ketenangan apa pun ke dalam hatiku. Semua yang baru saja terjadi masih berputar di pikiranku—Dion yang kembali membela ibunya, dan aku yang lagi-lagi harus menahan diri, meski rasa kecewa terus menggerogoti.
Rasanya semakin sulit untuk tetap sabar. Setiap hari aku mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya ujian pernikahan. Mungkin, ini semua akan berakhir suatu saat. Namun, semakin aku berusaha bertahan, semakin aku merasa terkikis. Pernikahan yang dulu kubayangkan penuh cinta dan kebersamaan, sekarang lebih sering dipenuhi rasa lelah dan hampa. Bukannya merasa dihargai, aku justru merasa seperti hamba dalam keluarga ini, selalu harus tunduk dan berkorban tanpa pernah dianggap penting.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mungkin, pikirku, ini hanya fase. Mungkin Dion akan menyadari betapa sulitnya posisi yang kujalani sebagai istrinya dan menantu. Ya, mungkin aku harus lebih bersabar.
Sore itu, setelah pertengkaran dengan Dion, aku memutuskan untuk membuat teh hangat dan duduk di ruang tamu. Sekadar menenangkan pikiran yang masih kacau. Tapi belum sempat aku menyeruput teh, teleponku berdering. Nama ibu mertuaku muncul di layar.
Aku menelan ludah, mencoba menyiapkan diri untuk apa pun yang akan dia katakan. Dengan berat hati, aku menjawab panggilan itu.
"Halo, Kirana," suara Ibu Dion terdengar ceria, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. "Kamu di rumah, kan? Sebentar lagi aku mau mampir. Ada barang-barang yang mau aku ambil."
Lagi. Dia akan datang lagi dan mengambil sesuatu. Aku sudah bisa menebak, pasti barang-barang di rumah ini kembali dianggap miliknya. Hatiku berdesir, tapi aku mencoba menahan perasaan itu. Aku tidak boleh terus-terusan terjebak dalam situasi ini.
"Iya, Bu. Saya di rumah," jawabku singkat, meski rasanya ada beban besar di dadaku.
Setelah percakapan singkat itu, aku duduk kembali, menatap cangkir teh yang mulai mendingin. Rasanya tidak ada ruang bagiku di sini. Segala hal yang kubuat atau kususun, selalu bisa diambil begitu saja oleh mertuaku tanpa ada pertimbangan apakah aku setuju atau tidak. Dan Dion? Dia selalu mengiyakan, seolah-olah aku tidak punya suara dalam rumah ini.
Satu jam kemudian, mertuaku datang seperti yang sudah direncanakan. Tanpa banyak bicara, dia langsung masuk ke dalam rumah, memeriksa satu persatu barang yang ada.
"Ah, aku butuh blender ini untuk di rumah. Blender di rumahku sudah rusak," katanya sambil mengangkat blender yang baru saja kubeli bulan lalu. Aku baru saja hendak protes, tapi tatapan dinginnya menghentikan kata-kataku.
"Dan skuter ini, anaknya kakak ipar Dion bisa pakai kan? Mereka sering jalan jauh," tambahnya lagi, seolah tak pernah cukup dengan apa yang sudah diambilnya sebelumnya.
Hatiku semakin tertekan. Namun, lagi-lagi, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Semua yang kulakukan terasa sia-sia. Protesku tidak akan didengar, dan Dion akan kembali membela ibunya.
Saat malam tiba dan Dion pulang, aku ingin sekali berbicara dengannya. Aku ingin mengatakan semua yang ada di hatiku—tentang betapa lelahnya aku, tentang bagaimana aku merasa seperti kehilangan kendali atas hidupku sendiri. Tapi begitu aku melihat wajahnya yang tampak lelah, kata-kata itu kembali hilang. Aku memilih diam, mencoba menahan perasaan yang semakin lama semakin mendalam.
Kami makan malam dalam keheningan. Dion sibuk dengan ponselnya, dan aku, seperti biasa, hanya menatap piringku yang mulai kosong. Tidak ada pembicaraan, tidak ada kehangatan. Semua terasa datar dan dingin.
Setelah selesai makan, Dion akhirnya membuka pembicaraan. "Ibu bilang tadi dia datang ke rumah. Dia ambil blender, ya?"
"Iya," jawabku singkat, berusaha untuk tidak menunjukkan kekesalan yang sudah lama kupendam.
Dion hanya mengangguk pelan. "Ya, baguslah kalau ibu bisa memanfaatkannya. Blender itu jarang kamu pakai juga kan?"
Aku terdiam, menatapnya dengan perasaan campur aduk. "Dion, aku beli blender itu untuk kebutuhan kita. Aku juga pakai untuk masak setiap hari."
Dion hanya mengangkat bahu. "Ya sudah, nanti kita beli yang baru lagi. Tidak perlu dibesar-besarkan, Kirana. Ibu butuh, ya kita kasih. Kamu kan tahu, ibu juga berusaha membantu keluarga lain."
"Tapi, Dion, setiap kali ibu datang, dia selalu mengambil barang-barang di rumah ini tanpa bertanya padaku. Aku juga tinggal di sini. Ini rumah kita berdua, bukan rumah ibu," ucapku dengan suara gemetar. Aku sudah tidak bisa lagi menyembunyikan rasa lelahku.
Dion menatapku sebentar, lalu menghela napas. "Kirana, kamu harus lebih sabar. Ibu tidak bermaksud buruk. Dia hanya ingin membantu keluarga besar. Kamu yang terlalu sensitif."
Kata-katanya kembali menusukku dalam. "Sensitif?" bisikku. "Aku hanya ingin merasa dihargai, Dion. Aku ingin merasa punya kendali atas rumah ini, atas hidup kita. Tapi setiap kali ibu datang, aku selalu merasa seolah-olah aku ini hanya menumpang."
Dia bangkit dari kursinya, menatapku dengan sedikit frustrasi. "Kirana, aku sudah bilang, ibu hanya bermaksud baik. Kalau kamu tidak bisa menerima itu, mungkin kamu yang harus berubah."
Kata-katanya membuat hatiku semakin perih. Aku ingin sekali menangis, tapi aku sudah lelah menangis. Terlalu sering aku merasa seperti ini—ditinggalkan, tidak didengar, tidak dianggap. Dan setiap kali, aku berusaha untuk sabar, berharap semuanya akan berubah. Tapi kenyataannya, semakin hari, aku merasa semakin jauh dari Dion.
Setelah Dion pergi ke kamar, aku duduk sendiri di ruang tamu, memandang kosong ke arah dapur yang sekarang terasa sepi dan dingin. Rasanya seperti rumah ini bukan lagi milikku. Aku hanya ada di sini, menjalani hari demi hari tanpa arah. Tidak ada tempat untukku mengutarakan keluh kesah. Tidak ada tempat untukku merasa aman dan nyaman.
Malam itu, aku tertidur dengan hati yang penuh sesak. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa aku bisa bertahan, bahwa ini semua hanya ujian yang harus kulewati. Tapi di dalam hati, aku tahu. Kesabaran ini semakin menipis. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku tidak akan bisa menahannya lagi.
Esok paginya, aku bangun dengan perasaan yang sama—lelah, kosong, tapi mencoba tetap berjalan. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, aku kembali mencoba beradaptasi, mencoba untuk sabar, meskipun perlahan, aku mulai merasakan diriku semakin lelah.
Seakan setiap inci dari jiwaku mulai terkikis, dan tak ada yang tahu.