"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rela di ceraikan.
"Dinar, masuk ke kamar! Aku mau bicara." titah Irham begitu mendekati keduanya.
Tampak wajahnya yang masam melihat kearah laki-laki yang membuat hatinya panas.
"Dinar!" karena Dinar yang belum menurut, maka Irham sedikit menaikkan intonasi suaranya.
"Sesungguhnya sebaik-baiknya suami adalah yang lembut pada istrinya." Irham melotot di sindir demikian.
"Tolong jangan ikut campur urusan rumah tangga kami."
"Harusnya memang tidak, tapi melihat seorang suami yang tidak bisa mengendalikan amarahnya pada sang istri, saya turut prihatin." lelaki itu juga tak gentar melihat amarah Irham.
"Kau..."
"Mas, ayo.."
Dinar menarik lengan suaminya. Dinar tidak ingin terjadi keributan. Sadar, Abah dan Uminya ada di rumah.
Begitu sampai di kamar mereka. Irham langsung mencecar istrinya.
"Sebab ini kamu nggak mau ku ajak pulang, Dinar? Haha hihi sama laki-laki lain, sementara melayani suami sendiri ogah-ogahan? Aku capek Dinar, aku kurang apa sama kamu? Sampai kamu bisa sedekat itu sama laki-laki lain. Nggak ingat dosa? Lupa jika kamu ada suami yang seharusnya kamu layani?"
"Astaghfirullah, Mas. Kenapa aku tidak pernah benar di matamu?"
" Disini aku yang lelah, Dinar." Irham mendudukkan dirinya di sofa. Di usapnya wajah dengan telapak tangan.
Lima menit berlalu, Irham yang awalnya menutup mata kini membukanya kembali. Memperhatikan sosok cantik berhijab hitam di hadapannya, netra mereka bertemu tapi tak ada obrolan yang keluar.
Hingga akhirnya....
"Aku sekarang tahu, kenapa wanita itu rela meninggalkan semuanya demi bisa hidup dengan laki-laki yang menjadi suaminya." Irham hanya melirik, sementara Dinar menghapus jejak air matanya.
Ah, mengapa akhir -akhir ini Irham selalu melihat Dinar menangis?
"Menurutmu kenapa?" tanya Irham sebab penasaran dengan apa yang istrinya pikirkan.
"Karena jika seorang suami sudah mendukung istrinya dalam hal apapun dalam konteks baik. Maka apapun resiko dan halangan nya dia tak akan pernah takut. Sama seperti seorang wanita hamil. Diberi banyak uang dan banyak pelayan penjaga tak akan pernah membuatnya tenang. Namun, saat ada suami disisinya, semua kekhawatiran seolah sirna. Seperti aku yang pernah merasakan kehadiran mu lebih menguatkan dari Umi dan Abah. Saat aku melahirkan Ilyas. Aku bisa tenang dan kuat saat kamu yang ada di sisiku. Rasa percaya itu seolah berpindah padamu, yang notabene nya suami dan ayah dari anak ku."
Irham tertegun mendengar itu. Begitukah seorang istri menilai suami mereka? Lebih utama dari pada kedua orang tuanya?
"Karena wanita diciptakan untuk menjadi makmum. Yang selalu tunduk dan taat pada imamnya asal cara imamnya benar. Bukankah banyak kejadian di suatu masjid, bila imam sholat melakukan kesalahan, maka jamaah nya akan mencari sosok pengganti imam yang baru. Mungkin sama seperti sosok suami ya?"
Irham melotot mendengar itu. "Maksudnya apa, Din? Kamu mau sosok imam lain sebab merasa disini aku yang salah gitu?"
"Mas bukankah kalau salah dalam bacaan bisa di ulang, dan dipelajari lagi. Tapi kalau sudah menyimpang apakah masih bisa diluruskan? Sepertinya akan sulitkan?"
"Kamu menganggap aku salah?" tanya Irham tak percaya.
Tapi, Dinar mengangguk.
"Di sini aku juga capek, Mas. Lelah, tapi seseorang yang dulu selalu bisa menjadi sandaran untukku berubah jadi menyalahkan segalanya padaku."
"Itu karena kamu..."
Tok
Tok
Tok
Buru-buru Dinar menghapus air matanya ketika mendengar suara tangis Ilyas. Meninggalkan Irham yang masih ingin mendebatnya.
Irham melihat anaknya yang diambil alih sang istri.
Tangis Ilyas tak kunjung mereda, walau sudah berada di gendongan Dinar. Kini kepala Dinar malah jadi sasaran Ilyas.
Irham melotot melihat bagaimana sulitnya Ilyas di tenangkan, dan makin dibuat bingung dengan kediaman orang sekitar yang tidak mengusahakan apa-apa.
"Dinar bawa ke kamar dulu Abah, Umi." pamit Dinar yang langsung membawa Ilyas memasuki kamarnya. Irham mengekor dan hendak meraih Ilyas tapi di cegah oleh Dinar.
"Jangan, Mas. Nanti semakin lama tenangnya."
Maksudnya?
Irham yang awam melihat Ilyas seperti ini dibuat geram.
Hampir tiga puluh menit.
Kamar yang tadinya rapi kini sudah tak berbentuk lagi. Benda-benda berserakan, bantal, guling sudah kehilangan sarungnya.
Pelakunya kini sudah tertelungkup di atas tempat tidur yang amburadul.
Irham tercengang. Menatap wajah istrinya tak percaya.
Sabar, itu yang Irham lihat. Istrinya sangat telaten menenangkan Ilyas. Meskipun hasilnya dia yang jadi sasaran amukan Ilyas.
Irham sampai tak habis pikir dengan apa yang terjadi pada putranya yang sudah berusia tiga tahun itu.
Dinar tersentak saat merasakan hangat tubuhnya dipeluk oleh sang suami. Ini yang sebenarnya Dinar inginkan. Irham yang ada pada saat dia butuh dukungan.
"Mas."
"Ya?"
"Kalau kamu sudah benar-benar lelah, aku rela kamu ceraikan!" Dinar tak mau lagi jadi beban suaminya, dia akan membebaskan Irham dari penjara cintanya. Irham sudah lelah dan muak dengan pernikahan yang terjalin empat tahun.
Irham tercekat mendengar perkataan Dinar. "Maksudnya apa? Kamu berharap kita berpisah?"
Dinar mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap wajah pria yang teramat disayangi nya itu.
"Yank..." suara Irham berubah serak. "Jawab yang sebenarnya, mengapa Ilyas bisa seperti ini? Adakah ada yang tak ku ketahui tentang anak kita?"
Ya Allah...Kenapa ia tak pernah tahu keadaan putranya. Apakah selama ini rumah berantakan, tampilan istrinya yang acak-acakan karena Dinar yang terlalu sibuk mengurus anak mereka?
Melihat istrinya hanya diam, membuat Irham ketar-ketir tak karuan. Pikirannya kacau, ia takut istrinya berniat cerai karena masalah yang terjadi akhir-akhir ini.
Dinar duduk di bibir ranjang dekat dengan Ilyas, ditatapnya lembut wajah buah hatinya yang selama ini menjadi sumber kekuatannya.
Irham sendiri akhirnya duduk di lantai tepat di hadapan Dinar. Menatap wajah cantik itu. Kulit putih bersih padahal tak pernah pakai macam-macam skincare. Istrinya tak butuh bedak dan sebagainya, bahkan mereka yang gemar dandan akan kalah dari kecantikan seorang Dinar.
Dinar memang masih sangat muda. Hidung nya mancung, bibirnya tidak tebal, tidak tipis sangat serasi dengan bulu mata lentik seolah memakai maskara, pipinya teramat putih bersih jika sedikit saja terpapar sinar matahari maka akan memerah seolah memakai blush on.
Bukankah harusnya ia bersyukur mendapatkan istri yang hampir sempurna ini?
Bahkan dia teramat tahu tentang kesempurnaan tidak satupun dimiliki manusia di muka bumi. Tapi, kenapa dia serakah?
"Jadi, apa yang terjadi pada Ilyas?" lirihnya membuat Dinar menunduk.
"Tantrum."
Mata itu terangkat. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Ia mengangkat tangannya, menjulurkan ke arah kepala. Perlahan sekali, ia usap dengan lembut kepala Dinar yang tertutup hijab. "Sayang....Kita pulang ya...Jangan pernah berpikir soal perceraian...Aku minta maaf dengan semua khilaf ku."
Dada Irham berdebar kencang. Rasa takut, marah dan kesal jadi satu.
Irham tertampar dengan kenyataan itu. Hanya satu kata yang istrinya katakan. Tapi seolah membuka matanya lebar-lebar. Jika selama ini yang salah adalah dirinya yang kurang perhatian. Bukan wanita yang ia nikahi empat tahun lalu ini.
"Maaf, Mas Irham. Aku tidak bisa..."