Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah  Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
“Apa maksudnya bukan anak kita?”
Suara Sagara terdengar serak dan bergetar. Dada pria itu terasa sesak, napasnya tak beraturan. Kata-kata Sonia barusan membuat seluruh pikirannya berputar cepat, seolah dunia di bawah pijakannya mendadak bergeser.
Bagaimana mungkin anak yang selama ini ia gendong, ia rawat, ia ciumi setiap pagi, bukan darah dagingnya sendiri?
Sonia menatap wajah suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Mas, anak yang aku lahirkan punya tanda lahir di pergelangan tangannya mirip punyaku.”
Sonia menarik napas gemetar, lalu memperlihatkan tanda berwarna merah di pergelangan tangannya yang sebesar biji kacang hijau.
“Aku ingat betul. Saat di rumah sakit, waktu aku menyusui bayi itu, aku bilang ke salah satu perawat soal tanda ini.”
Shanum, yang duduk di sudut ruangan dengan wajah pucat, menatap tanda di tangan Sonia lama sekali. Ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya.
“Tanda seperti itu rasanya aku pernah melihatnya,” batin Shanum, mencoba mengingat.
“Tapi di mana? Pada siapa?”
Sagara memegangi pelipisnya. “Apa anak kita tertukar?” Suaranya parau, hampir seperti bisikan doa yang kehilangan arah.
Sagara menatap ke arah Abyasa yang sedang dipangku Sonia dan menatap ke arahnya. Dia memegang bola warna merah tanpa tahu apa pun tentang kekacauan yang mulai meledak di sekelilingnya.
Tiba-tiba dada Sagara terasa kosong. Bagaimana jika Abyasa itu bukan anaknya? Lalu, di mana putra kandungnya?
Tubuh/Sagara terasa lemas, langkahnya goyah. Semua kenangan tentang malam-malam tanpa tidur, suara tangis bayi, panggilan “Papa” pertama, terasa seperti pecah menjadi serpihan kaca.
“Mas,” panggil Sonia dengan suara lirih, namun penuh ketegasan. “Sebaiknya Mas segera melakukan pengecekan ke rumah sakit. Mungkin saja ada oknum yang sengaja menukar bayi kita.”
Belum sempat Sagara menjawab, suara lembut tapi tegas terdengar dari arah teras rumah.
“Rupanya kalian semua berkumpul di sini.”
Mami Kartika muncul sambil menenteng sebuah kotak besar berisi hiasan. Senyumnya ramah, polos, belum tahu badai apa yang menanti.
“Mami sudah bawa beberapa hiasan untuk dekorasi ulang tahun si kembar.” Wanita paruh baya itu tersenyum lebar, matanya berkilau. “Hari ini kan hari spesial mereka. Kita rayakan sederhana saja, tapi penuh cinta.”
Tak ada yang menjawab.
Mami Kartika memandangi mereka satu per satu. Wajah-wajah yang biasanya hangat, kini berubah kaku dan kelam.
“Tempat mana yang akan kita hias?” tanya Mami Kartika lagi, mencoba mencairkan suasana.
Tetapi tak seorang pun bergerak.
Sagara menatap ibunya, matanya merah, rahangnya menegang. “Mi, ada sesuatu yang lebih penting dari ulang tahun si kembar.”
Kening Mami Kartika berkerut. “Hal yang lebih penting? Apa itu?”
Sagara menelan ludah. Kata-kata berikutnya terasa seperti batu yang harus ditelan bulat-bulat.
“Ternyata ... Abyasa bukan bayi yang dilahirkan oleh Sonia.”
“Apa?!”
Kotak di tangan Mami Kartika jatuh menghantam lantai, isi pita warna-warni dan balon plastik berhamburan.
Dunia seakan berhenti di matanya. “Bagaimana bisa itu terjadi?”
“Tidak tahu, Mi.” Sagara menatap anaknya lagi, kali ini dengan tatapan yang campur aduk antara cinta dan ngeri. “Aku akan pergi ke rumah sakit untuk minta penjelasan. Kalau perlu, aku akan lakukan tes DNA juga.”
Suasana rumah berubah mencekam. Shanum menunduk, jantungnya berdetak cepat. Tiba-tiba, ingatan samar muncul di benaknya. Saat malam di rumah sakit, suara bayi menangis dari ruangan sebelah, dan perawat yang tergesa-gesa membawa bayi dari inkubator. Semuanya terasa seperti potongan puzzle yang mulai saling menyatu, tetapi ia belum berani percaya sepenuhnya.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah sakit tempat Sonia dulu melahirkan. Bangunan besar itu kini tampak menakutkan bagi Sagara.
Di sinilah hidup mereka pernah dimulai dengan kebahagiaa dan di sinilah pula kebenaran yang bisa menghancurkan semuanya menunggu.
“Kami akan bantu periksa lewat catatan medis,” ucap Dokter Marchel, kepala rumah sakit itu, berusaha terdengar tenang. Tapi sorot matanya menunjukkan kegugupan.
“Lakukan yang benar!” seru Papi Leon dengan nada menahan amarah. Tangannya mengepal kuat di atas meja. “Aku tidak ingin ada kesalahan sekecil apa pun!”
Sagara menunduk dalam-dalam, tak sanggup menatap siapapun. Ia hanya memikirkan satu hal, bagaimana jika benar? bagaimana jika anak yang setiap hari dipeluknya bukan anaknya sendiri?
“Untuk melakukan tes DNA, silakan Pak Sagara ikut kami,” kata seorang perawat sopan, namun suaranya terdengar seperti gema di lorong panjang yang dingin.
Sagara berdiri dengan langkah berat, sementara Mami Kartika menggendong Abyasa erat-erat, seolah takut bayi itu menghilang jika dilepaskan.
Papi Leon dan Sonia tetap di ruang dokter. Wajah Sonia pucat, matanya kosong. Ia teringat detik-detik saat melahirkan. Suara tangis bayi, suara suster yang sibuk, dan tubuhnya yang terlalu lemah untuk memastikan apa pun.
“Di mana putra kandungku sekarang? Mereka tidak melakukan hal buruk kepadanya, kan?” pikir Sonia getir. Rasa sakit itu menusuk lebih dalam daripada pengkhianatan mana pun yang pernah ia rasakan.
Pintu terbuka, Dokter Mira masuk sambil membawa beberapa map tebal. Ia berjalan cepat, wajahnya tegang.
“Ini berkas dua bayi yang dilahirkan oleh Ny. Sonia,” katanya sambil menyerahkan dokumen itu pada Dokter Marchel.
“Mana berkas yang bayi laki-laki?” tanya Dokter Marchel, mengangkat tangannya.
“Ini, Dok.” Dokter Mira menyerahkan map berwarna biru.
Dokter Marchel membukanya perlahan. Suara kertas bergesekan terdengar jelas, menambah ketegangan ruangan.
Setiap halaman yang dibuka seperti membuka luka baru. Nama ibu, nomor ruangan, jam lahir, kondisi fisik bayi, golongan darah, semuanya tertulis rapi, tapi terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Sagara memejamkan mata, menahan napas panjang. Ia belum tahu apa isi laporan itu, tapi hatinya sudah retak.
Mami Kartika menatap cucunya. Mata mungil Abyasa menatap balik dengan polos.
“Aku sudah baca catatan medis milik Abyasa,” ucap Dokter Marchel.
pertanyaannya apa ad kaitannya hilangnya sonia dg kejadian ini seolah memang disengaja disingkirkan utk menghilangkan jejak atas kejadian ini
Apa motifnya penukaran bayi ini, mungkinkah keluarga Sonia ada dibalik semua ini ?