Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Di dalam hati, Albiruni tahu posisinya tidak mudah. Ia merasa tidak enak kepada Vandra. Axel terlalu dekat dengannya, bahkan lebih dari sekadar kedekatan seorang anak kecil dengan tetangga.
Axel memanggil Albiruni bukan “Om Biru”, tetapi “Papa Biru”. Kata itu saja sudah membuat Albiruni sering gelisah di malam hari. Ia tidak bermaksud mengambil peran siapa pun, tetapi rasa sayangnya kepada bocah itu tumbuh begitu alami.
Jika Albiru membeli sesuatu untuk Ali anak semata wayangnya, maka tanpa berpikir panjang, ia pasti membelikan juga untuk Vero dan Axel. Semua itu bukan karena terpaksa, tetapi karena rasa sayang yang tulus. Ia ingin anak-anak Alya merasa dicintai, tak kekurangan kasih, meskipun ayah mereka dan ibunya sudah berpisah.
“Papa, aaaa!” seru Axel dengan mata berbinar. Bocah itu menyorongkan sendok berisi nasi ke arah Albiruni, wajahnya polos penuh semangat.
Semua mata di meja makan menoleh. Vandra yang duduk di seberang menatap tanpa suara, sedangkan Alya tersenyum kaku.
Albiruni melirik Alya sekilas, lalu menatap Vandra. Ia tahu betul situasi ini bisa disalahpahami. Tapi kalau ia menolak, Axel pasti menangis, dan suasana akan makin tidak enak. Ia tersenyum kikuk.
“Adik, Bunda aja yang disuapin, ya,” Alya berusaha menengahi dengan suara lembut, mengusap pipi anak bungsunya yang mulai manyun.
“Huaaaa! Adik ndak mau makan!” Axel langsung menjerit kecil, menoleh ke arah ibunya sambil menggoyang-goyangkan sendok.
Alya segera memeluknya, menenangkan dengan belaian halus di rambutnya. “Sssst, Sayang. Ya sudah, Adik suapi Bunda aja, ya?” ucapnya lembut.
Anak itu pun mengangguk cepat, lalu menyuapkan nasi kecil ke mulut Alya dengan senyum bangga.
Melihat momen itu, Albiruni menarik napas lega. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.
“Ayah juga mau disuapi sama Adik.” Suara Vandra terdengar, lembut tetapi mengandung sesuatu yang tak bisa ditebak, antara rindu dan gengsi yang terluka.
Axel menatap ayahnya lama. Dahi bocah itu mengerut. Mungkin ia mencoba mengingat, seberapa sering wajah itu muncul di dekatnya. Lalu, pelan-pelan, ia mengambil sesendok nasi dan menyodorkannya.
Karena jaraknya jauh, Vandra berdiri dan berjalan mendekat. Ia menunduk, menerima suapan kecil itu seolah menerima sesuatu yang sangat besar dalam hidupnya. Saat nasi itu masuk ke mulutnya, ada rasa asin di lidahnya, bukan dari garam, tetapi dari air mata yang nyaris jatuh.
Ketika pulang, Axel sudah jatuh tertidur. Alya pun menggendongnya.
"Sini, biar aku yang nyetir mobil," kata Vandra sambil mengulurkan tangan meminta kunci mobil.
"Aku bisa sendiri, kok, Mas," ujar Alya.
"Kasihan Axel yang tidur tidak sambil dipeluk."
Mau tidak mau Alya pun memberikan kunci mobil kepada Vandra. Namun, dia duduk di kursi belakang, sementara Vero duduk di kursi depan.
"Anak-anak dekat sama Pak Biru?" tanya Vandra.
"Ya, karena kita bertetangga," jawab Alya.
"Bukannya hanya Bu Belinda yang menjadi tetangga samping rumah."
"Sekarang Mas Biru juga tinggal di sana. Bu Belinda sering sakit-sakitan."
Walau diam, tetapi pancaran mata Vandra menunjukkan perasaannya yang tidak suka. Dia merasa Albiruni sedang mendekati Alya.
"Papa Biru itu baik, Ayah. Suka mengajari aku dan Ali. Mengajak kita bermain bersama. Adik juga suka diajak sama Papa Biru," ucap Vero terasa memuji Albiruni.
Mendengar anaknya memanggil "Papa" kepada Albiruni, membuat dada Vandra sakit. Padahal sejak dahulu Vero memanggilnya seperti itu. Sama halnya dengan Ali yang suka memanggil "Ayah" kepadanya. Karena hubungan mereka sangat dekat, sudah seperti keluarga sendiri.
Setelah sekian lama, Vandra kembali menginjakan kakinya di rumah yang dibangun bersama Alya, dahulu. Di sana banyak sekali kenangan indah yang pernah mereka buat.
Vandra dan Vero menghabiskan waktu main puzzle bersama di teras depan rumah. Anak itu tahu kalau ibunya merasa tidak nyaman jika ayahnya ada di dalam rumah.
"Hari Minggu nanti, kita main ke Timezone, yuk, Kak!" ajak Vandra.
"Adik di ajak?" tanya Vero.
Biasanya, jika Vero pergi bermain atau jalan-jalan, Axel juga sering diajak. Mau itu ketika bersama Opa-Omanya, Kakek-neneknya, bahkan sama Albiruni-Ali.
"Ya, tentu saja. Sekalian Bunda juga boleh ikut," jawab Vandra.
"Nanti aku bilang sama Bunda."
***
Hari Minggu pagi, udara terasa sejuk dan matahari bersinar cerah. Vandra bangun lebih pagi dari biasanya. Ia sudah mandi, memakai kemeja kasual biru muda dan celana jeans rapi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, wajahnya terlihat bersemangat.
Erika yang baru bangun tidur mengerutkan dahi melihat suaminya yang wangi dan rapi. “Mau ke mana kamu, Mas? Tumben pagi-pagi udah siap,” tanyanya curiga.
“Mau pergi main sama anak-anak,” jawab Vandra sambil merapikan rambutnya di depan cermin.
“Anak-anak?” Erika mengulang, matanya menyipit. “Anak siapa?”
“Ya tentu aja anak-anakku. Vero dan Axel.”
Wajah Erika menegang. Bibirnya menipis, dan matanya seketika berkilat tajam. Nama-nama itu seperti duri di pikirannya. Ia lupa sejenak bahwa dua anak itu juga bagian dari kehidupan Vandra.
Dalam pikiran Erika, hanya ada rasa benci yang menempel pada nama Alya. Wanita yang ia anggap penyebab semua penderitaannya.
“Aku juga mau ikut, Mas!” kata Erika tiba-tiba dengan nada tinggi, berusaha terdengar manja tetapi penuh tekanan.
Vandra menoleh, terkejut. “Erika, ini urusan aku sama anak-anakku.”
“Tapi mereka juga sekarang sudah menjadi anak-anakku, kan? Aku istri kamu sekarang!” jawab Erika dengan nada yang bergetar, antara kesal dan takut ditinggalkan.
Vandra menatapnya lama. Ada rasa lelah dalam tatapannya, juga kebimbangan yang sulit dijelaskan. Ia tahu kalau Erika ikut, suasana pasti tidak akan menyenangkan. Namun di sisi lain, ia juga tidak mau menimbulkan pertengkaran di pagi yang seharusnya cerah ini.
Ia menarik napas panjang, menatap langit di luar jendela. Dalam hatinya, ada doa sederhana yang ia panjatkan, “semoga hari ini semua berjalan dengan baik dan menyenangkan.”
Sementara itu di rumah Alya, Vero dan Axel sudah bersiap dengan pakaian terbaik mereka. Alya membantu Axel memakai sepatu sambil tersenyum kecil.
“Bunda, ayah bakal datang, kan?” tanya Vero pelan.
Alya menatap putranya lama, lalu mengangguk lembut. “Iya, Kak. Ayah pasti datang.”
Namun, jauh di dalam hatinya, Alya merasa firasat aneh.
***
Sambil menunggu bab berikutnya, yuk, baca karya terbaru aku ini.