Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Mungkin lebih baik
Pagi menjelang. Suara gaduh di kos-kosan, membuat Maya terbangun. Ia merasa pusing dan mual, ditambah perutnya yang sangat perih. Semalam, ia bersusah payah menghabiskan makanannya. Hari ini, entah ia harus sarapan apa. Karena, kulkas dan bahan lainnya didapur, masih kosong.
Beruntung, lokasi kos-kosan sangat dekat dengan pedagang. Ada yang menjual aneka kue, nasi campur dan lainnya. Setiap pagi, para mahasiswa akan mencari sarapan, di tempat ini.
Maya menyeret langkahnya, menuju jendela. Ia mengintip keluar. Tampak penghuni kos, sedang berkumpul didepan. Mereka tertawa dan mengobrol entah apa.
Maya memilih masuk kamar mandi, sembari menunggu mereka bubar. Bukannya malu, dengan keadaannya sekarang. Melainkan, tidak ingin mendengar hinaan. Apalagi, banyak diantara mereka yang iri, akan lebih menyudutkannya.
Pukul delapan pagi, Maya terlihat lebih segar. Meski, wajahnya masih sembab. Setelah, menghabiskan waktu semalam untuk berpikir, Maya akhirnya mengambil keputusan. Ia tidak bisa mendapatkan uang dalam waktu singkat, apalagi keadaannya yang sedang hamil. Cepat atau lambat, akan diketahui orang banyak. Jadi, ia akan memilih cuti sementara waktu, sembari bekerja mengumpulkan uang. Ia optimis, dengan keputusan yang menurutnya sudah sangat benar.
Depan kamar kosnya, perlahan terdengar sepi. gadis-gadis yang berkumpul, sepertinya sudah membubarkan diri. Mungkin ini, kesempatan bagus untuk keluar membeli sarapan.
"Kak Maya? Kapan kak Maya datang?" tanya gadis berambut pendek, yang ternyata baru juga keluar dari kamarnya.
"Semalam. Aku datang membereskan barang-barangku," jawab Maya pada gadis yang adalah juniornya di kampus.
"Kak Maya mau pindah? Bukannya, Kak Maya tinggal di apartemen?"
Lihat, gadis ini saja, tahu dimana Maya tinggal. Jadi, pergi adalah cara yang paling baik, pikir Maya.
"Benar. Karena, aku tidak tinggal disini lagi, jadi barangnya mau aku angkat."
"Oh! Baik, Kak. Aku ke kampus dulu, ya!" Gadis itu, tersenyum sebelum akhirnya pergi.
Maya bergegas membeli sebungkus nasi dan kue, tak lupa air mineral di warung. Karena hari ini, ia tidak memiliki jadwal kuliah. Ia akan memanfaatkan waktu, untuk membereskan barang dan pakaiannya.
Semua pakaiannya sudah kembali masuk dalam koper dan tas. Bantal dan selimut, sudah ia bungkus dalam gardus, yang sengaja ia simpan dulu.
Maya belum tahu harus kemana, yang pasti, dia ingin pergi sejauh mungkin, ditempat yang tidak seorang pun mengenalnya. Ia akan menyelesaikan semua urusannya terlebih dahulu, sebelum pergi.
Pukul 11 siang, Maya kembali memakan sisa sarapannya tadi pagi. Sebungkus nasi, yang ia tidak habiskan dan sisa kuenya, yang masih ada.
Selesai, ia bergegas berpakaian. Ia harus ke kampus, mengurus administrasi cuti. Ke panti asuhan untuk berpamitan, sekalian mengunjungi makam kedua orang tuanya.
"Kau yakin, mau cuti? Tinggal setengah semester lagi dan kau akan diwisuda. Kenapa kau mau berhenti sekarang?"
Jika ia punya, pilihan lain. Tidak mungkin, ia mengambil keputusan yang begitu sulit untuknya. Tinggal satu langkah, dan dia harus berhenti ditengah jalan.
"Maaf, Pak. Saya ada urusan pribadi. Mungkin, tahun depan saya akan kembali."
Entah Maya yakin, tahun depan atau tahun berikutnya, yang jelas, ia hanya ingin mengumpulkan uang dan membesarkan bayinya.
"Ya, sudah. Saya tidak akan menahanmu. Ini dokumennya!"
"Terima kasih, Pak."
Maya berpamitan pergi. Satu dua langkah, ia berhenti menatap halaman rerumputan dan pohon rindang didepannya. Banyak mahasiswa duduk dibawah pohon, berkumpul mengerjakan tugas sambil bercerita. Maya akan merindukan hal ini dan masih banyak lagi, yang akan ia rindukan nanti.
Tanpa permisi, air matanya sudah jatuh. Bersamaan rasa sesak dalam hatinya. Ia memang tidak rela, tapi mau di apa, saat ia tidak memiliki pilihan lain.
Kenapa aku harus bertemu denganmu? Mungkin, aku akan baik-baik saja, jika kita tidak pernah bertemu.
Maya kini, menuju panti menggunakan ojek online. Sepanjang jalan, ia terus menatap pemandangan sekitarnya. Mungkin, ia tidak akan pernah melewati jalan ini lagi, nantinya.
"Assalamu'alaikum, bu," dalam Maya, didepan pintu.
"Waalaikumsalam," jawab seseorang dari dalam, yang kemudian membuka pintu. "Cari siapa?"
Maya memperhatikan wanita didepannya. Tampak asing. "Ibu Lisa, ada?"
"Ibuku sedang berobat diluar negeri. Kamu siapa?"
Ternyata, anak ibu Lisa. Tapi, sepengetahuan Maya, gadis ini sudah menikah dan mengikuti suaminya, pindah keluar kota. Dan satu lagi, ibu Lisa, berobat diluar negeri. Padahal, kondisi keuangan keluarga mereka, tidak memungkinkan. Apa yang sudah terjadi tiga tahun ini?
"Saya Maya. Saya dulu, pernah tinggal disini."
"Maya? Kamu calon istri pemilik Nine Group?"
Maya hanya tersenyum canggung. Bahkan wanita ini pun, tahu statusnya.
"Masuklah."
Maya duduk diatas sofa, dengan mengedarkan pandangan. Tidak ada yang berubah dari tempat ini, semua masih sama tiga tahun yang lalu.
"Saya hanya ingin menjenguk ibu, karena selama tiga tahun lebih, saya tidak pernah pulang."
"Ibu sudah lama sakit, jadi saya menggantikannya sementara waktu. Beliau pernah berpesan, agar kamu berhenti mengirim uang. Sudah ada donatur, yang memberikan biaya setiap tahun."
"Syukurlah, kalau begitu." Sebenarnya, Maya punya tujuan lain. Yaitu, mencari tahu tentang Riko. Tapi, karena ibu Lisa tidak ada. Ia pun mengurungkan niatnya, karena wanita didepannya, pasti tidak tahu apa-apa.
Keluar dari panti asuhan, Maya menuju makam orang tuanya, dengan ojek online. Kendaraan dengan harga terjangkau dan bisa mempersingkat waktu perjalanan.
Matahari masih sangat terik, padahal waktu sudah pukul dua sore. Suasana perkuburan, juga sangat sepi. Maya menutup kepalanya, dengan selendang berwarna hitam, yang ia bawa. Langkah kakinya berhenti, menatap dua gundukan tanah, yang dipenuhi taburan bunga.
Siapa? Gumamnya, lalu berlari kecil, menghampiri.
Dua makam orang tuanya, ditutupi taburan bunga. Sepertinya, sudah agak lama, terlihat dari kelopak bunga yang kering dan layu.
"Assalamu'alaikum, bu." Maya menyentuh batu nisan sang ibu.
"Apa seseorang datang menjenguk ibu? Dia pasti orang baik, karena memberi banyak bunga." Maya mengambil segenggam bunga, lalu menaburkannya kembali.
"Ibu." Tenggorokan Maya sudah tercekat, dikalahkan oleh air mata yang sudah menetes lebih dulu. Ia tidak mampu melanjutkan kalimatnya, karena suara tangis yang keluar dari bibirnya.
"Ibu, aku harus bagaimana, bu? Hiks, hiks, hiks. Jika aku pergi, bagaimana dengan kalian? Aku lelah, bu."
Suara tangis Maya, yang begitu menyesakkan dan pilu. Siapapun yang melihatnya, pasti akan ikut menangis.
"Aku harus kemana, bu? Aku tidak punya siapa-siapa lagi." Lelehan air mata itu, kini jatuh diatas taburan bunga. "Ibu, tolong maafkan aku. Aku janji akan kembali, membawa cucu ibu. Aku berjanji akan baik-baik saja. Aku akan berusaha." Maya mengangkat kedua tangan, memanjatkan doa untuk sang ibu, yang sudah lama terbaring.
🍋 Bersambung.
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️