Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7 Kabar Buruk
Neneknya menyusul ke kamar mandi. Melihat Rania yang muntah-muntah, membuat wanita paruh baya itu mendekat dan memberikan pijatan lembut di tengkuknya. Terlihat sekali tatapan khawatir tapi juga kebingungan di mata Ima.
"Kamu kenapa Rania?" tanya Neneknya.
Rania menggeleng pelan lalu menatap bayangannya di cermin, "Perut aku tiba-tiba mual, tapi gak ada yang keluar selain liur aja."
"Wajah kamu makin pucat, kita ke puskesmas aja yuk."
"Aku gak papa, mau istirahat di rumah aja."
"Ya sudah kalau gitu, Nenek anter sampai kamar ya."
Baru saja akan keluar kamar mandi, tiba-tiba tubuh Rania lemas dan pingsan. Tetapi sebelum jatuh ke lantai, Neneknya itu dengan sigap menahan. Wanita paruh baya itu menjerit terkejut, perasaan khawatir pun hinggap di dadanya. Teriakannya yang lumayan keras, membuat tetangganya masuk mengecek.
"Ya Allah, neng Rania kenapa?" tanya seorang Ibu-ibu.
"Dia tiba-tiba pingsan, tolongin saya Pak Bu."
"Sebentar saya panggil Pak Agus ya, kita langsung bawa ke puskesmas aja." Suami Ibu tadi pun keluar lebih dahulu.
"Iya Pak, makasih."
Untung saja tetangganya itu baik-baik, mereka pun dengan sigap memberikan bantuan. Hanya beberapa saja yang ikut ke puskesmas karena mobil yang tidak besar. Sesampainya di puskesmas, suster dan dokter pun dengan sigap mengecek keadaannya.
"Bagaimana Pak Dokter? Cucu saya kenapa?" tanya Ima khawatir.
"Tubuhnya lemas, dia juga dehidrasi."
"Jadi dia sakit apa ya?"
"Bukan sakit Nek, tapi kondisinya itu memang sudah biasa Ibu hamil rasakan."
Penjelasan si dokter membuat Ima dan dua warga yang ikut terkejut. Rania hamil? Bagaimana bisa? Perempuan itu kan masih muda dan belum menikah.
"Cucu saya hamil?"
"Betul, apa Nenek memang belum tahu?"
Ima menggeleng, "Saya tidak tahu, memangnya berapa usianya?"
"Baru dua minggu, dan di trimester pertama ini memang akan cukup berat, apalagi untuk yang baru pertama kali hamil. Pasien sudah sadar, silahkan Nenek kalau mau bertemu."
Ima dan dua warga itu pun masuk ke dalam ruang rawat itu, melihat Rania yang berbaring di brangkar tapi sudah sadar. Ima mendekat lalu mereka pun saling berpelukan. Rania sudah bisa tersenyum dan terlihat lebih baik.
"Kamu buat Nenek khawatir."
"Maaf Nek, jadi kata dokter gimana? Palingan aku cuma kekurangan darah ya?"
"Kamu hamil Rania."
Itu bukanlah Ima yang menjawab, tapi salah satu tetangga wanita yang rumahnya bersebelahan dengan mereka. Ima pun langsung mengeratkan genggaman tangannya pada Rania, Ia merasa khawatir dengan reaksi cucu nya ini.
"A-apa?"
"Dokter bilang kamu hamil, baru dua minggu. Kok bisa sih? Kamu kan belum nikah," celetuk wanita itu.
Rania lalu menatap Neneknya, "Nek, itu gak bener, kan?"
Melihat Neneknya hanya menunduk seperti menghindar, membuat Rania panik, apa berarti memang benar Ia hamil? Rania meremas rambutnya yang terurai merasakan takut di hatinya. Kepalanya lalu menggeleng-geleng ingin sekali tidak percaya.
"Gak mungkin, aku gak hamil," bantah Rania.
"Gak mungkin lah dokter tadi bohong, dia paling tahu kondisi kamu. Iyakan Pak?"
Pria paruh baya itu mengangguk pelan dengan ekspresi wajah datarnya, "Saya kira kamu anak baik-baik Rania, tapi ternyata kamu bergaul di luar batas. Memalukan saja."
Ima tersentak mendengar itu, merasa tidak terima saja mereka mengatai cucunya, "Maaf Pak Bu, tolong jangan begitu pada cucu saya."
"Memangnya kenapa? Rania ini memang sudah melakukan hal di luar batas, sekarang dia hamil di luar nikah. Wajah polosnya ternyata cuma topeng, sepertinya dia cewek binal ya. Jadi penasaran kira-kira siapa Bapak anak di perutnya."
"Cukup, lebih baik kalian pulang saja. Terima kasih tadi sudah menolong kami, tapi kalian tidak perlu mengata-ngatai cucu saya." Ima mengatakannya dengan suara tegas.
Untung saja dua orang itu keluar, tapi mereka sempat menatap sinis ke arahnya dan Rania. Setelah kepergiannya, Ima langsung membawa Rania yang sudah menangis terisak. Dadanya ikut tersayat, kedua matanya jadi berkaca-kaca.
"Kenapa ini bisa terjadi pada kamu nak?"
"Hiks enggak Nek, aku gak hamil," isak Rania masih belum percaya.
"Jadi kamu juga gak tahu?"
"Enggak, aku gak tahu." Rania semakin terisak, "Aku harus bagaimana sekarang? Hidup aku sudah berantakan."
"Syutt jangan bilang begitu. Kamu tidak sendirian, ada Nenek."
Ingin sekali Ima menanyakan bagaimana kejadiannya hingga Rania ini bisa hamil, tapi waktunya bukan sekarang karena kondisi perempuan itu sedang terguncang. Ima harus memberikan waktu, sampai Rania sendiri siap bercerita.
"Maafin aku Nenek," lirih Rania.
Hari itu Rania harus dirawat dulu sampai keadaannya pulih, selama itupun Ima setia menemani di sana. Rania bahkan beberapa kali terjaga dari tidurnya, seperti bermimpi buruk. Ima sampai harus mengusap kepala dan tangannya agar cucunya itu tenang.
Besok paginya, Rania sudah bisa pulang. Mereka memutuskan menyewa dua ojek untuk pulang ke rumah. Saat turun, terlihat ada beberapa warga yang memperhatikan. Tetapi tatapan mereka terlihat sinis, sambil berbisik antar sesama seperti membicarakan sesuatu.
"Emang bener ya, cewek pendiem itu lebih nakal."
"Iya lah, tapi mainnya paling rapih."
"Wajah aja polos kaya anak baik-baik, eh ternyata di belakang suka tidur sama cowok bukan muhrim."
Ima segera menarik Rania masuk ke rumah merasa pembicaraan para tetangganya semakin berlebihan. Ia juga sampai menutup gorden, enggan mereka melihat ke dalam. Ima saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Rania.
"Nek, aku malu," lirih Rania, "Mereka pasti mengira aku bukan anak baik-baik, aku gak begitu Nek."
"Iya Nenek percaya kamu gak begitu, tapi Nenek juga ingin mendengar bagaimana kejadian sebenarnya sampai kamu hamil begini."
"Aku gak bisa, aku... Aku takut."
"Kenapa takut? Cerita saja Rania, biarkan Nenek bantu kamu."
Awalnya Rania hanya diam sampai beberapa menit merasa gundah dengan hatinya, enggan menceritakan lagi kejadian memilukan itu yang membuatnya trauma. Tetapi setelah Neneknya itu terus membujuk, akhirnya Rania pun menceritakannya.
"Jadi pemilik Villa itu namanya Candra? Apa jangan-jangan orangnya itu--"
"Sepertinya benar mereka orang yang sama."
"Tapi bagaimana bisa? Pak Candra kelihatan orang baik, dia juga ramah pada semua warga desa."
"Memang di depan dia kelihatan begitu, tapi kita kan tidak tahu bagaimana sifat asli seseorang. Apa Nenek gak percaya sama aku?"
Ima menggeleng, "Nenek percaya kok sama kamu. Maafin Nenek ya Rania kamu harus menghadapi cobaan seberat ini."
"Ini bukan salah Nenek."
"Tapi kamu tanggung jawab Nenek, Nenek merasa tidak bisa menjaga kamu dengan baik di sini sampai kamu mengalami kejadian buruk seperti ini."
Keduanya pun berpelukan dan kembali menangisi musibah besar yang sedang menimpa keluarganya. Tidak menyangka saja selama ini Rania hanya menyembunyikannya sendirian, melawan rasa takutnya dan berusaha baik-baik saja di depan.