Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Dua wanita cantik itu duduk berhadapan di sebuah coffee shop yang hangat dan ramai, namun suasana di meja mereka terasa sunyi. Mata Cindy terus memperhatikan sahabatnya yang tampak gelisah. Sesekali Siera memainkan gelas minumannya tanpa niat meminumnya.
“Jadi, sebenarnya ada apa? Apa yang mau lu ceritain?” Cindy akhirnya membuka suara, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. Sudah sepuluh menit berlalu, dan Siera belum mengucapkan satu kalimat pun.
“Sie, gue nungguin nih. Penasaran banget, tau gak. Please deh, ceritain!” Cindy memohon dengan raut wajah dibuat-buat seolah sedih, membuat Siera nyaris tersenyum.
Siera menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara. “Jadi gini…” katanya menggantung, masih menyusun kalimat di kepalanya. Cindy, yang biasanya tak sabaran, memilih diam menunggu.
“Beberapa hari lalu, keluarga gue sama keluarga Arka dinner bareng,” ucap Siera akhirnya.
“Hah?” Cindy mendongak dengan mata membelalak. “Kok bisa? Bukannya orang tua dia tinggal di Aussie?”
“Memang, tapi mereka lagi di Indonesia katanya ada urusan penting,” balas Siera datar.
Siera mulai bercerita lebih rinci, menggambarkan suasana malam itu—bagaimana kedua keluarga berbincang akrab, gurauan yang terasa aneh baginya, hingga akhirnya momen yang membuatnya tertegun.
“…Terus,” Siera berhenti sejenak, suaranya lebih pelan, “gue dijodohin sama Arka.”
“WHAT??” Cindy hampir memekik, membuat beberapa orang di coffee shop menoleh ke arah mereka. “Lu serius, Sie? Kok bisa? Terus, lu jawab apa? Langsung lu iyain?” Cindy melemparkan rentetan pertanyaan tanpa jeda.
Siera menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. “Lu kan tahu ya, Cin… dari kecil gue emang sering ngintilin Arka ke mana-mana. Gue nempel kayak perangko. Sampai gue selalu ngomong, ‘Pokoknya, kalau udah gede, gue cuma mau nikah sama Arka!’”
Cindy yang sedang menyeruput kopinya langsung terbatuk kecil mendengar itu. “Seriusan lu ngomong gitu?” Matanya melebar, dan bibirnya berusaha menahan tawa.
“Ya ampun, gue kan masih bocah waktu itu. Gue nggak tahu kalau bakal begini jadinya,” Siera menggerutu, tapi wajahnya memerah.
Cindy terkekeh kecil. “Jadi mereka semua mau mewujudkan janji bocah lu itu? Hahaha, gue nggak nyangka banget. Ini seriusan kayak plot sinetron!”
Siera mendongak, menatap Cindy dengan tatapan kesal. “Bukan sinetron, Cin. Ini nyata, dan mereka nunggu jawaban gue sekarang.”
Cindy menutupi mulutnya, berusaha keras untuk tidak tertawa lebih keras. “Oke-oke, gue serius sekarang. Tapi gue nggak habis pikir aja, lu kan dulu ngomong gitu cuma main-main, ya kan?”
“Nah itu dia. Gue nggak nyangka mereka bakal nganggep serius.” Siera menatap gelasnya lagi, menggigit bibirnya ragu. “Arka juga udah tahu soal ini, dan dia… dia nggak nolak.”
Kali ini Cindy terdiam, terkejut. “Hah? Jadi Arka setuju?”
“Dia nggak ngomong setuju sih, tapi dia nggak bilang nggak juga. Pokoknya, dia kayak… menerima aja. Dan itu bikin gue makin bingung.”
Cindy mendengus pelan, mencoba mencerna semua itu. “Tunggu deh, Sie. Lu gimana perasaan lu sekarang? Masih kayak dulu, atau udah nggak?”
Siera mengangkat bahu, ekspresinya sulit ditebak. “Gue nggak tahu, Cin. Lo tau, sekarang gue ke Arka gimana kan? Gue bingung mau sikapin gimana.”
“Ya, itu dia,” Cindy mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya sedikit melembut. “Balik lagi ke lu, Sie. Setelah ngeliat Arka muncul di sekitaran lo lagi, gimana perasaan lu sekarang?”
“Gue…” Siera membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Cindy, yang memperhatikan kebingungan di wajah sahabatnya, tersenyum tipis. “Ya udah, Sie. Lu nggak usah pusingin pertanyaan orang lain dulu. Fokus aja sama apa yang lu mau. Kalau ini cuma bikin lu nggak nyaman, bilang aja. Toh, lu punya hak buat nolak.”
Siera mendongak, menatap Cindy dengan mata penuh rasa terima kasih. “Tapi, gimana kalau gue malah nyakitin mereka? Orang tua gue seneng banget banget soal ini, Cin.”
Cindy menggeleng pelan. “Sie, bahagia mereka itu penting, tapi kebahagiaan lu juga nggak kalah penting. Lu nggak bisa bikin keputusan cuma buat nyenengin orang lain. Ini hidup lu, masa depan lu.”
Siera terdiam lagi. Kata-kata Cindy masuk akal, tapi rasanya masih sulit untuk diterima.
“Gue tahu ini nggak gampang,” lanjut Cindy, mencoba menyemangati. “Tapi coba lu tanya diri lu sendiri. Kalau pun lu bilang ‘iya,’ lu bakal bahagia nggak? Kalau jawabannya ‘enggak,’ lu harus berani ngomong.”
“Hmmm... Sejujurnya gue juga udah ketemu berdua sama Arka,” kata Siera dengan nada pelan namun jujur.
“What?!” Cindy hampir melompat dari kursinya.
“Kapan? Terus, dia bilang apa? Jangan-jangan ini salah satu plot twist lagi?” Cindy memandang Siera dengan mata lebar, campuran rasa penasaran dan keterkejutan terpancar jelas di wajahnya. Percakapannya dengan Siera hari ini benar-benar seperti roller coaster penuh kejutan.
Siera menggigit bibirnya sebentar sebelum melanjutkan, nada suaranya lebih pelan, hampir seperti berbisik. “Cin, dia cerita alasan kenapa dia menjauh dan pergi dulu tanpa bilang apa-apa. Dan… gue sedikit lega, karena ternyata alasannya ada hubungannya sama gue.”
Cindy mengerutkan kening, berusaha mencerna ucapan itu, sebelum matanya melebar penuh keterkejutan. “Tunggu. Maksud lu… dia pergi karena lu? Kok gitu? Jelasin dong, jangan nanggung-nanggung!”
Siera menarik napas panjang, berusaha menyusun kata-kata. “Jadi gini. Waktu itu, sebelum dia menjauh, dia sempat ngobrol sama Papanya. Dia disuruh lanjutin kuliah di Aussie, tapi Arka nggak mau. Dia maunya tetap di Indonesia, karena alasan gue juga.”
“Hah?” Cindy mengerutkan dahi, kebingungannya makin terlihat.
“Dia bilang, dia nggak mau jaraknya terlalu jauh dari gue. Tapi dia juga sadar, gue terlalu bergantung sama dia. Orang tua kami juga mikir begitu. Jadi, dia mutusin buat menjauh biar gue bisa lebih mandiri. Dia pikir, kalau dia pergi, gue bakal belajar berdiri sendiri.”
Cindy menatap Siera, ekspresinya campuran antara kaget dan tak percaya. “Gila. Itu manis banget, tapi juga egois banget. Jadi dia ninggalin lu buat bikin lu mandiri? Tapi dia nggak mikirin gimana perasaan lu waktu itu?”
Siera mengangguk pelan. “Itu juga yang gue bilang ke dia, Cin. Gue bilang, gue sakit hati banget waktu dia pergi tanpa ngomong apa-apa. Gue ngerasa kayak nggak dianggap banget.”
“Dan dia gimana? Dia nyesel, kan?” Cindy bertanya dengan nada tajam.
Siera tersenyum tipis, matanya sedikit berkaca-kaca. “Iya, dia minta maaf. Berkali-kali. Dia bilang, dia nggak pernah nyangka keputusannya bakal nyakitin gue sedalam itu. Tapi dia juga bilang... dia nggak pernah berhenti peduli sama gue.”
Cindy terdiam, menatap sahabatnya lama. Ia mencoba mencerna semuanya, memahami kompleksitas hubungan itu. “Terus sekarang gimana, Sie? Lu masih sakit hati? Atau… lu udah maafin dia?”
Siera menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Gue nggak tahu, Cin. Mungkin gue udah maafin dia. Tapi buat ngerasa kayak dulu lagi? Gue nggak yakin.”
Cindy mengangguk pelan, ekspresinya kini melunak. “Gue ngerti. Tapi, Sie, apapun yang lu pilih nanti, pastiin itu karena lu beneran mau. Jangan karena nostalgia, tekanan, atau omongan orang lain. Pilih yang bikin lu bahagia.”
Siera tersenyum kecil, merasa sedikit lega mendengar dukungan Cindy. Tapi senyuman itu tak bertahan lama, karena Cindy segera menggoda dengan nada jahil. “Tapi btw yah, ciee… yang dijodohin sama childhood sweetheart-nya. Aaww…”
Siera langsung melempar tatapan tajam. “Cindy!” serunya setengah berbisik, pipinya sedikit memerah karena malu.
Namun, sebelum Cindy sempat membalas, sebuah suara dari belakang mereka membuat keduanya tersentak.
“Siapa yang dijodohin?”
Cindy dan Siera spontan menoleh. Di sana, Rey berdiri dengan tangan diselipkan di saku celananya, menatap mereka dengan senyum penuh rasa ingin tahu. Jelas dia sudah mendengar sepenggal percakapan mereka.
“Wah, bakalan ada yang patah hati nih,” gumam Cindy pelan sambil melirik ke arah sepupunya itu, nada suaranya setengah bercanda tapi penuh arti.