Aruna, namanya. Gadis biasa yatim-piatu yang tidak tau darimana asal usulnya, gadis biasa yang baru memulai hidup sendiri setelah keluar dari panti asuhan di usianya yang menginjak 16 tahun hingga kini usianya sudah 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga puluh empat
Mungkin awalnya Aruna yang paling terlihat tenang, tapi untuk sekarang dia yang paling terlihat cemas bukan main. Dia merasakan jantungnya bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya, tersisa beberapa menit atau jam lagi. Entahlah Aruna tidak tau, setelah dokter datang sejam yang lalu dan mengoperasi bahwa operasi Caesar yang akan di jalankan Aruna akan di mulai sebentar lagi, Aruna menjadi gugup sendiri, cemas lebih tepatnya, tapi ada juga rasa tidak sabar untuk melakukan proses persalinan tersebut, siapa yang tidak sabar menunggu kehadiran buah hatinya sendiri?
"Aruna? "
Aruna yang kedapatan melamun di tegur Aretha, wanita baya itu mengelus lembut rambut Aruna dan berganti mengelus belakang punggung Aruna dengan lembut, berupaya memberikan ketenangan lewat usapan lembut darinya.
"Kamu takut? Cemas? Hmm?" tanya Aretha.
Aruna menggeleng sebagai jawaban, dia enggan membuat wanita yang sudah di anggap sebagai orangtua sendiri itu khawatir. Jawaban dari Aruna berhasil membuat Aretha tersenyum kecil, Aretha tau apa yang kini di rasakan anak perempuannya itu, karena dia juga pernah merasakan di posisi ini.
"Kamu jangan takut, ya. Semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, semangat ya sayang, anak mama. " Aretha memeluk tubuh Aruna memberikan sedikit tenaga agar Aruna bisa lebih tenang.
Aruna mengangguk, mencoba berpikir positif untuk dirinya sendiri, demi buah hatinya sendiri juga. Aruna menunduk, mengusap pelan perutnya yang sebentar lagi tidak akan sebesar ini.
Tak lama pinta kamar inap Aruna terbuka, menunjukkan Tama bersama bundanya. Siska tersenyum lembut ketika bersitatap dengan Aruna, dia berjalan mendekat, "Jangan khawatir, ya. Nanti Tama akan menemani kamu di ruang operasi. "
Aruna hanya mengangguk, melirik ke arah Tama yang berdiri di samping Siska. Suaminya itu tersenyum lembut ke arahnya, seperti menyalurkan sedikit kekuatan kepada Aruna melihat bagaimana perempuan itu terlihat begitu gundah.
"Mah, bun. Gimana rasanya ada di dalam ruang operasi nanti? "
Aretha dan juga Siska sempat saling tatap lalu tersenyum sebagai respon, Aretha lebih dulu menjawab pertanyaan Aruna. "Senang, takut. Semuanya tercampur aduk yang di rasakan mama saat itu, tapi rasanya akan begitu menakjubkan saat bayi yang kita tunggu-tunggu lahir ke dunia. "
Siska mengangguk, membenarkan jawaban Aretha. "Nanti pas bayinya di tarik keluar dari perut rasanya kayak lega sekali, apalagi saat mendengar tangisan bayi nantinya, rasanya begitu puas, senang, lega, membahagiakan. Ya pokoknya kamu akan merasakannya nanti. " Siska tersenyum, matanya bahkan berkaca-kaca, merasakan bagaimana proses persalinan Tama dulu. Kalau Siska bisa mengandung kembali seperti dulu, mungkin Siska akan sangat senang sekali rasanya.
Aruna tersenyum, dia jadi tidak sabar untuk melakukan proses persalinannya nanti, sudah tidak sabar mau bertemu dengan buah hatinya.
Nanti, siapa ya kira-kira namanya?
Ngomong-ngomong tentang nama, Aruna belum memikirkan nama untuk anaknya nanti.
"Tama."
"Ya, kenapa Aruna? "
"Kamu udah siapin nama untuk dedek bayi belum? " tanya Aruna penasaran.
Tama terkekeh, hal itu bukan tanpa sebab. Bagaimana tidak tertawa ketika melihat wajah panik dan penasaran Aruna karena lupa menyiapkan nama untuk anak mereka yang sebentar lagi akan lahir.
"Sudah... Tapi nanti kita siapin sama-sama lagi namanya, mau? "
Aruna mengangguk dengan semangat, dia sangat suka merangkai nama, apalagi untuk nama anaknya nanti. Aruna mau nama anaknya nanti cantik dan penuh makna yang baik, sebab kata orang, nama adalah bagian dari doa. Dan Aruna mau, di setiap nama yang akan mereka berikan nanti mengandung arti juga doa yang baik untuk anak mereka nanti.
•••••••••
Sekarang suasana sedang dalam keadaan tegang, kini Aruna sudah terbaring di atas ranjang operasi, di temani dengan Tama yang selalu di sampingnya.
"Aruna, kamu ngerasain gak tadi? "
Aruna menoleh, menanggapi perkataan dokter. Dan Aruna menggeleng sebagai jawabannya.
"Biusnya udah memperngaruhi berarti, kita mulai ya? "
"Iya, dok. " jawab Aruna, tangannya langsung menggenggam erat tangan Tama di sampingnya. Tama sendiri juga merasakan bahwa dirinya dilingkupi ketegangan mengelus punggung tangan Aruna dengan lembut, memberikan ketenangan lewat cara tersebut.
"Gapapa, kamu harus rileks, ya. Ada aku disini. " ujarnya sembari mengusap pelan pucuk kepala Aruna, menyakinkan istrinya itu bahwa dirinya selalu di sampingnya.
"Apa yang kamu rasain sekarang? " tanya Tama memulai obrolan agar Aruna selalu tenang.
"Perut aku rasanya kayak... Geli. Rasa sayatnya kerasa banget. " ujar Aruna, dia memang benar-benar merasakan perutnya di sayat dan di belah untuk mengeluarkan buah hati mereka.
"Iya, kamu tau gak? Kalau kamu itu hebat. "
Aruna terdiam, dia menatap Tama dengan sorot mata yang menunjukkan bahwa dia tidak mengerti.
Hebat?
Memangnya dirinya ini hebat di bagian mana?Hebat mengeluh dan merasa paling buruk di setiap harinya? Mungkin iya, Aruna memang juara untuk persoalan itu.
Tama tersenyum lembut, mengecup pelan punggung tangan Aruna yang terasa dingin ditangannya. Tama tau, perempuan yang tengah berjuang di hadapannya ini sedang dalam perasaan gugup dan takut.
"Iya, kamu hebat, Aruna. Perempuan hebat yang pernah aku temui, beruntungnya aku punya kamu. "
Aruna tertegun, benarkah? Benarkah apa yang dia dengar dari mulut Tama barusan itu adalah sebuah kenyataan? Aruna tentu saja tidak percaya akan hal itu.
"Tama, kamu..... "
Tama lagi-lagi tersenyum, mengusap pelan pucuk kepala ArunaAruna yang tertutup Nurse cap.
"Kamu hebat bisa ngelewatin semua ini, dari awal aku kenal kamu karena kejadian itu, gimana kamu yang berusaha nutupin aku yang ngehamilin kamu, gimana kamu yang tetap mempertahankan anak kita sampai dia berkembang dengan baik, gimana kamu yang tetap berusaha baik-baik aja padahal kamu banyak terluka, kamu hebat banget, Aruna. Kamu tau? Gak banyak orang yang rela dirinya menderita demi orang lain, dan aku bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik kayak kamu juga Alana. " Tama kembali mengecup pelang punggung tangan Aruna, entah hal itu atas dasar apa, tapi Aruna begitu bahagia di perlakuan oleh Tama selembut ini.
Aruna merasa istimewa untuk hari ini, untuk saat ini.
"Maafin aku ya? Selama ini udah banyak nyakitin kamu, laki-laki bodoh ini dengan mudahnya buat hati kamu sakit. "
"Tama..... " Aruna saat ini sudah menatap Tama dengan tatapan berkaca-kaca, dia tidak percaya bahwa apa yang selama ini dia tunggu akhirnya bisa dia dengar langsung dari Tama sendiri. Aruna bahagia, rasanya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.
"Aku emang gak salah milih kamu juga anak kita, karena aku yakin, kamu emang benar-benar jodoh yang sang kuasa kasih buat aku, sekali lagi maafin aku, ya? " dengan senyum lembut nan teduh, Tama menatap Aruna yang matanya sudah berkaca-kaca, berbarengan dengan itu suara tangisan bayi yang melengking memasuki indra pendengarannya.
Tama menoleh, menatap sang buah hati yang berada di dalam gendongan sang dokter yang membantu persalinan Aruna, kembali lagi menatap Aruna dengan senyum lebar dia berikan. "Aruna, anak kita. " serunya penuh dengan kebahagiaan.
Aruna mengangguk, dia juga ikut terharu melihat bagaimana bahagianya seorang Tama saat ini, bagaimana tatapan senangnya ketika melihat buah hati mereka yang menangis dengan suara yang cukup besar. Tidak lama dari itu, bayi mungil yang masih menangis itu diletakkan di atas dada Aruna, dibiarkan bertemu terlebih dahulu dengan Aruna.
"Hai, sayang. " sapa Aruna dengan nada lirih, dia tersenyum sembari mendekap pelan tubuh mungil sang anak yang sudah tidak menangis lagi. Aruna terharu, dia bahkan sudah meneteskan air mata karena melihat bayi yang selama ini berada di dalam perutnya kini sudah bisa dia peluk, bahkan dia bis mendengar suara tangisan tersebut.
Sedangkan Tama, dia sudah menahan tangisan melihat semuanya. Terharu, senang, sedih, takut, dan semuanya menjadi satu. Dia tidak bisa menahan untuk mencium kening Aruna dengan sayang.
"Kamu hebat, sayang. Kamu hebat, makasih banyak atas semua perjuangan kamu. "
Aruna mendongak hanya untuk melihat Tama dengan senyum yang tercetak jelas dibibir pucatnya, Aruna mengangguk sebagai respon atas perkataan Tama lontarkan, hari ini Aruna merasakan bahwa dia memang benar-benar hebat, buktinya Aruna berhasil melewati semuanya dengan begitu baik sampai saat ini.
Untuk Alana, Aruna sedang bertanya-tanya, apa kabar dengan perempuan baik hati itu? Apakah Alana sudah mendapatkan kebahagiannya? Dan Aruna saat ini begitu berharap bahwa Alana sudah menemukan kebahagiannya sendiri.
•
•
•