Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti dan Pembenaran
Cukup jauh Hana mencari-cari hotel bintang lima yang dimaksud. Sudah empat hotel dikunjunginya, tapi tak ada satu pun yang mencantumkan nama Yudis dan Arum di daftar pengunjung.
Kendati demikian, bagaimanapun juga usaha tak akan mengkhianati hasil. Ketika hendak memasuki halaman hotel, ia mendapati sebuah mobil ambulans terparkir.
Dari dalam lobi hotel, tampak empat petugas kesehatan menandu seorang gadis menuju ambulans. Sontak, Hana terkesiap menyadari bahwa gadis yang sedang dibawa itu tidak lain adalah Arum.
"Arum ... Aruuum!" teriak Hana sembari berlari menghampiri ambulans.
Dipandanginya Arum yang berbaring di ranjang dalam ambulans, sambil menyerobot masuk. Akan tetapi, ia tiba-tiba ditahan oleh dua petugas kesehatan lain.
"Tunggu dulu! Kamu siapanya korban? Apa kamu keluarganya?" tanya seorang perawat laki-laki pada Hana.
"Iya, Kak. Aku teman dekatnya dia," jelas Hana.
"Kalau begitu, kamu boleh ikut kami ke rumah sakit," ujar perawat itu.
Hana mengangguk cepat. Namun, belum sempat ia menaiki ambulans, sudut matanya menangkap sosok Yudis yang baru saja keluar dari hotel. Amarahnya seketika meledak tatkala melihat pria itu melenggang dengan santai.
Alih-alih meluapkan gejolak amarah di dalam dadanya, Hana tertegun sejenak mendapati dua polisi berjalan di belakang Yudis. Hatinya seketika lega, menganggap bahwa pria itu akhirnya ditangkap atas kesalahannya melenyapkan Arum. Hana pun naik ke mobil ambulans, mengantar jenazah sahabatnya ke rumah sakit.
Di dalam ambulans, Hana menatap dua perawat yang mendampinginya mengantar Arum. "Sebenarnya apa yang terjadi sama Arum? Apa kalian tau?"
"Dari keterangan pacarnya, sih, dia tiba-tiba nggak sadarkan diri setelah meminum sampanye. Sebelumnya dia baik-baik saja," jelas salah satu perawat.
Hana mendesah kasar sambil mengepalkan tangannya. Tidak salah lagi, Yudis pasti telah mencampurkan sesuatu pada makanan dan minuman Arum sampai meregang nyawa, pikirnya.
"Yudis! Kamu harus menerima balasan setimpal. Setidaknya malam ini aku bersyukur polisi akhirnya menangkap kamu gara-gara menghabisi Arum," desis Hana, menatap tajam.
Sementara itu, Yudis datang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Sebagai orang pertama yang menemukan Arum sudah tak bernyawa, ia patut dijadikan saksi utama. Ia masuk ke ruang penyidik bersama dua polisi yang mendampinginya.
"Apa sebelumnya kamu melihat tanda-tanda mencurigakan sebelum pacar kamu meninggal?" tanya sang penyidik.
"Tidak, Pak. Saya nggak melihat ada yang mencurigakan sama sekali," jawab Yudis sambil mengedikan bahu.
"Barangkali kamu tau sesuatu mengenai seseorang yang diduga sudah meracuni pacar kamu."
"Tidak, Pak. Saya tidak tahu-menahu mengenai hal itu. Yang jelas, saya ingin menghabiskan malam panjang bersama pacar saya. Itu saja," tegas Yudis.
"Jadi, kamu benar-benar nggak tau siapa pelakunya?" tanya sang penyidik merasa sangsi.
"Mana saya tau. Barangkali kandungan alkoholnya nggak bisa ditolerir sama tubuh Arum, makanya Arum nggak sadarkan diri sampai meninggal di kamar," sanggah Yudis, sambil menduga-duga.
Penyidik mengembuskan napas pelan, sambil menatap tajam pada Yudis. "Apa benar begitu? Tim kami menemukan kandungan arsenik pada botol sampanye di kamar kalian. Jika kalian berdua sama-sama meminumnya, seharusnya kamu juga bernasib sama seperti pacarmu."
"Saya kebetulan belum sempat meminum sampanye, makanya baik-baik saja sampai sekarang. Saya benar-benar tidak tahu kalau sampanye itu beracun," tutur Yudis menegaskan.
"Baiklah, kalau begitu, terimakasih atas kerjasamanya," pungkas sang penyidik.
"Sama-sama, Pak. Saya pamit undur diri dulu," sahut Yudis sambil beranjak dari kursi.
Yudis keluar dari kantor polisi dengan tenang. Tak ada raut tegang atau penyesalan sama sekali di wajahnya. Rencana meracuni Arum dengan menyuruh orang kepercayaannya menyamar menjadi pelayan hotel dan mengantarkan sampanye, sudah berjalan lancar. Kalaupun polisi menyelidiki para pegawai hotel lebih lanjut, tak akan ada satu pun dari mereka yang mengaku.
***
Suasana pemakaman Arum begitu ramai dikunjungi keluarga dan teman-teman gadis itu. Hana merangkul ibu Arum menyaksikan detik-detik sahabatnya itu dikebumikan. Betapa sakit hati Hana mendengar tangisan ibu sahabatnya. Seandainya ia tak mengikuti ego, mungkin Arum baik-baik saja hari ini.
Ketika Hana hendak pulang dari kediaman Arum setelah acara pemakaman selesai, ia melihat Yudis baru keluar dari mobilnya di pinggir jalan raya, dengan pakaian serba hitam. Dengan tergesa-gesa ia menghampiri pria itu, sembari membawa segenggam amarah.
"Sudah puas kamu, ha? Apa kamu senang saat menyaksikan sahabat aku sekarat?" cecar Hana menatap nyalang pada Yudis.
"Kenapa kamu begitu marah, Hana? Seharusnya kamu berterimakasih padaku karena sudah melenyapkan Satria dan Arum," sanggah Yudis mengernyitkan kening.
"Apa? Jadi benar, kamu juga menghabisi pacar aku?! Keparat!" bentak Hana mengangkat tangannya, sambil melayangkan tamparan ke pipi Yudis.
Dengan sigap, Yudis memegang tangan Hana seraya berkata, "Sebaiknya kamu dengar dulu penjelasanku. Aku melakukan semua ini bukan semata-mata ingin memilikimu saja."
"Lantas, apa? Jelas-jelas kamu sudah mengancam aku dengan membunuh Satria dan Arum agar aku mau nerima kamu. Kamu mau beralasan apa lagi?" cerocos Hana bersungut-sungut.
"Sebaiknya kamu tenangkan diri dulu. Aku punya bukti mengejutkan buat kamu," ujar Yudis sembari melepas genggaman dari tangan Hana dan mengambil ponsel dari saku celananya.
Sementara Yudis mencari bukti di ponsel, Hana mendengus sebal menatap tajam pada pria di depannya. Gadis itu melipat kedua tangan, seolah enggan menerima bukti yang sebentar lagi akan ditunjukkan oleh Yudis.
Tak berselang lama, Yudis memperlihatkan foto-foto mesra Arum dan Satria. Terbelalak mata Hana melihat kedekatan antara mendiang kekasih dan sahabatnya. Mulutnya ternganga lebar, seolah tak percaya dengan bukti baru di ponsel Yudis.
"Gimana? Apa kamu masih mau menyalahkan aku karena sudah melenyapkan dua pengkhianat itu?" tanya Yudis dengan dingin.
Hana menoleh pada Yudis seraya berkata, "Dari mana kamu dapatkan foto-foto ini? Kamu nggak merekayasa semua ini demi membenarkan kejahatan kamu, kan?"
"Untuk apa aku merekayasa foto itu? Arum sendiri yang bilang sama aku, kalau dia menjalin hubungan dengan Satria di belakang kamu. Dia bilang sendiri saat makan malam, bahkan merendahkan kamu karena dia merasa lebih unggul bagi mendiang pacar kamu. Maka dari itu, aku mengambil foto dan video dari ponsel dia untuk membuktikan pengkhianatan mereka sama kamu," jelas Yudis meyakinkan.
"Nggak mungkin ... Nggak mungkin. Mereka nggak mungkin nusuk aku dari belakang," ucap Hana gemetar dengan mata menatap nanar.
"Coba lihat lagi foto-foto itu. Apa semua itu masih belum cukup membuktikan kalau mereka berdua berselingkuh? Arum bilang sama aku, kalau Satria menjalin hubungan dengan dia karena kamu nggak mau diajak tidur bareng. Bukankah itu sangat menyakitkan bagi perempuan berprinsip kuat seperti kamu?" tutur Yudis, sambil menyerahkan ponselnya ke tangan Hana.
Hana menatap lagi foto-foto mesra Arum bersama Satria di ponsel Yudis. Semakin ia menggeser layar ponsel, semakin banyak bukti baru mengenai kedekatan di antara mereka berdua. Tak hanya itu saja, Hana pun dibuat terperangah oleh video mesum Arum dan Satria saat berada di kos mendiang kekasihnya itu.
Perlahan, air mata Hana meleleh membasahi pipinya. Ia mengembalikan ponsel Yudis, sembari menangis tersedu-sedu. Rasa sakit bercampur kecewa pada kekasih dan sahabatnya berkecamuk di dalam dada Hana. Ia tak sanggup menerima kenyataan bahwa dirinya telah dikhianati begitu kejam.
Melihat kesedihan di wajah gadis pujaannya, Yudis mengusap punggung Hana. Ia merasa senang, amarah Hana mereda dan digantikan oleh kesedihan setelah melihat bukti perselingkuhan Arum dan Satria. Yudis tak menyangka, jika semua tindakan buruknya justru mendatangkan kebaikan bagi Hana.
"Sudahlah, nggak ada gunanya kamu menangisi dua pengkhianat itu. Setidaknya, sekarang kamu tidak perlu sakit hati berkepanjangan atau dendam sama mereka berdua. Aku sudah membalaskan kejahatan mereka buat kamu," ujar Yudis menatap wajah Hana lekat-lekat.
Hana menoleh pada Yudis, sambil menyeka air matanya. "Tapi tujuan utama kamu menghabisi mereka bukan buat membalaskan dendam aku, kan? Bagaimana bisa kamu merasa menjadi pahlawan buat aku?"
"Memang. Tapi sekarang, kamu merasa lega, kan?"
"Itu tetap nggak bisa dibenarkan, Yudis. Kamu telah melakukan kejahatan, dan mereka seharusnya tetap hidup."
Tercengang Yudis mendengar perkataan naif Hana. "Jadi, kamu lebih memilih buat merasa sakit hati lebih lama? Bukannya kamu akan lebih tenang kalau mereka lenyap dari dunia ini?"
Hana menggeleng pelan. "Lebih baik aku sakit hati berkepanjangan daripada kehilangan. Kalau aku kecewa, aku bisa menjalani hidup baru di tempat berbeda. Dengan begitu, aku nggak perlu lagi menyaksikan pengkhianatan mereka, kan?"
"Kenapa kamu ini naif sekali, sih? Sudah jelas mereka mengkhianati kamu, tapi kamu memilih buat sakit hati berkepanjangan. Aku benar-benar menyayangkan, gadis sebaik kamu tidak sepantasnya tinggal bersama orang-orang munafik seperti mereka."
"Lalu, aku harus bagaimana?"
Yudis mengulurkan tangan pada Hana, seraya berkata, "Terimalah aku dalam hidupmu. Kita jalani hidup baru bersama-sama dan lupakan masa lalu. Kamu mau, kan?"