NovelToon NovelToon
Rawon Kesukaan Mas Kai

Rawon Kesukaan Mas Kai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Beda Usia / Keluarga / Karir / Cinta Murni / Angst
Popularitas:933
Nilai: 5
Nama Author: Bastiankers

Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 12

Pagi-pagi sekali Shana sudah tidak mendapati Kaivan di sisinya saat terbangun. Bahkan, saat pagi yang masih terasa dingin khas pedesaan, lelaki itu sudah pergi. Setelah memeluk tubuh Shana semalaman dengan penuh kehangatan. 

Tirai pintu berwarna merah muda yang usang terbuka, menampakkan indung yang datang dengan segelas air putih. Duduk di sisi ranjang dan mengangsurkan gelasnya, “Minum dulu. Tadi malam indung dengar kamu nggak enak badan.”

Setelah mengucapkan kalimat terima kasih, Shana segera meminumnya. Dia baru saja tersadar setelah memerhatikan wajah indung yang menatapnya dalam. Seakan tahu apa yang dipikirkan indung, Shana segera menjawab, “Nggak apa-apa kok, Bu. Semalam langsung minum obat yang dikasih Puput. Sekarang, sudah baikan.” Shana tersenyum tatkala indung bernafas lega sembari mengusap dada.

“Alhamdulillah … indung lega.”

“Bu, Mas Kai kemana?” Shana hendak turun dan memakai sendalnya. Namun, indung menarik lengannya hingga Shana terduduk di sisi ranjang.

“Kaivan tadi dipanggil ke ladang sama om nya. Kamu di sini aja. Nggak boleh kecapekan,”ucap Indung dengan khawatir. Setelahnya, Shana terduduk sendiri ketika indung mulai keluar kamar. 

Benar. 

Mungkin demam yang melanda semalam karena Shana kecapekan, apalagi mereka benar-benar belum istirahat sesampainya di Bandung. Jadi, Shana mewajarkan guratan penuh khawatir pada wanita paruh baya itu.

Namun, Shana tidak mungkin hanya rebahan di dalam kamar. Setelah merapihkan tempat tidur, dia bergegas untuk mandi, dan duduk di samping Indung yang tengah menumbuk bumbu. Beliau tampak cekatan dalam pekerjaannya. 

“Begini lah, Teh. Kalau rumah anak-anak sudah pergi sekolah, Om-nya Kaivan ke ladang, maka rumah menjadi sepi,”ujar Indung, “Tapi, saat ini berbeda. Indung senang saat ada Teteh yang menemani.”

Senyum khasnya menimbulkan kesan bahagia di benak Shana. Shana menyentuh beberapa kunyit yang belum terkupas dari dalam wadah. “Ibu, nggak bosan?”

Indung menggeleng, “Bosan? Untuk apa? Semuanya Indung nikmati bahkan sampai akhir hayat nanti.”

Pergerakan Shana yang hendak mengupas kunyit terhenti. Nafasnya tertohok mendengar ucapan Indung. “Ibu … tolong jangan ngomong seperti itu. Kalau semua anak-anak ibu mendengarnya, mereka pasti akan bersedih.” 

Indung tersenyum meski kerutan di wajahnya terlipat. Beliau memasukkan beberapa bahan yang belum masuk ke dalam tumbukan nya. Sedari tadi belum siap membalas ucapan Shana. Tubuhnya bergerak ke sana kemari demi memastikan bahwa alat-alat masaknya tidak akan gagal. 

Beliau meraih kunyit dari tangan Shana, namun Shana menariknya kembali. “Biar aku bantu, Bu.” Dan, Indung mengangguk.

Hening. Senyap melanda keduanya. Indung sesekali terduduk di dekat kompor dengan menyeka sudut matanya. 

“Baru kali ini ada yang memanggil Indung dengan sebutan ‘Ibu’.” Indung menoleh lalu tersenyum pada Shana. “Rasanya seperti berbeda. Tapi, Indung bahagia mendengarnya. Seperti ada bahagia lain yang tersisip di hati Indung.” Perlahan air matanya mulai membasahi pipi. Shana mendekat, memeluknya dan mengusap lengannya. 

“Ibu … marah? Kalau—”

“Nggak! Indung nggak marah,”pungkasnya. Indung menggeleng cepat, “Jangan menggantinya, Teh. Indung senang. Itu artinya … kamu sudah menganggap Indung seperti ibumu sendiri. Terima kasih.” Air matanya meluncur lagi. 

Mata Shana sudah berkaca-kaca, dia menyekanya saat air itu sudah membasahi pipinya. “Aku senang mendengarnya. Jujur. Aku senang saat tahu ibu menyayangi aku, seperti Kaivan.”

Indung tersenyum penuh haru. Dia menoleh, lalu mengecup pipi kanan Shana. Dan, Shana, masih mengusap lengannya. 

“Indung … pengen ke Jakarta. Menemui ibu kamu. Indung ingin melihat wanita yang sudah melahirkan putri secantik dan sebaik kamu. Boleh, kan?” 

Hening. 

Badan Shana mendadak kaku dengan aliran darah yang tiba-tiba terputus. Tangannya sudah tidak lagi mengusap lengan Indung. Shana bingung. Dia bingung harus menjelaskannya bagaimana.

“Ibu kamu sibuk?”

Hening lagi. Shana belum menjawab apa-apa. Dia bingung harus menjelaskan semuanya bagaimana. 

Terdengar helaan napas panjang di sampingnya. Indung menepuk pundaknya. “Nggak apa-apa, Teh. Mungkin lain kali.”

Diam, Shana hanya terdiam memikirkan ucapan Indung sebelum beliau larut dalam aktivitas memasaknya. Beliau hanya mengizinkan Shana untuk duduk dan melihat, tanpa harus bergerak membantunya. 

Mata Shana hanya tertuju pada telapak tangannya yang kosong. Hampa. Bibirnya terkatup rapat. Tidak melakukan apa-apa lagi selain berkutat dengan pemikirannya sendiri.

Dia tidak mungkin menolak secara terang-terangan permintaan Indung. Orang tua sebaik Indung tidak mungkin harus dibalas dengan penolakan yang kasar. 

Tapi, hal itu tidak serta-merta harus membuat Shana menyetujuinya. Dia tahu betul apa yang akan terjadi saat ibunya tahu kedatangan Indung. 

Dan…, Shana tidak mau orang sebaik Indung harus disakiti oleh ibunya. 

“Teh, mau ikut ke ladang?” 

Shana mengerjab, wajahnya mendongak pada indung yang berdiri. Di tangannya sudah ada rantang susun dan satu termos air di tangan lain. Shana segera bangkit. Menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas. Ternyata, sudah lama Shana merenung.

“Iya, Bu. Mari. Biar aku aja yang antar ke ladang.” Shana mengambil rantang dan termos dari tangan Indung. Sesaat, Indung menolaknya. Alasannya sama, takut Shana kecapekan. Padahal perempuan itu belum melakukan apa-apa semenjak obrolan mereka terhenti.

Kaki Shana menjejak tanah dengan sendal jepitnya. Kakinya terayun setelah berpamitan pada Indung di depan rumah. Kini, Shana hanya berjalan dengan bayang-bayang yang mengikuti pergerakannya.

Cuaca panas siang hari tak gentar membuatnya memutar balik. Dia tahu di mana keberadaan Kaivan. Lelaki itu sudah dalam jangkauan matanya. Tengah mengibaskan kaosnya dengan bersandar di dinding gubuk kecil tempat peristirahatan mereka. 

Shana tersenyum melihat wajah manis Kaivan yang belum melihatnya. Namun, senyuman itu pudar tatkala ucapan pria itu berputar-putar di kepalanya. Hanya beberapa kalimat yang terdengar di telinganya semalam. Namun, tak urung membuat hatinya bertanya-tanya. 

“Mas?”

Kaivan menoleh ke arah kiri, lalu mendongak pada Shana yang menjinjing rantang susun dan termos. Kaivan segera berdiri, merampas semua barang dari tangan Shana. “Kamu ngapain ke sini? Nggak usah repot-repot, Shan. Takutnya demam kamu makin parah.” Kaivan hendak menyentuh wajah Shana, namun urung karena melihat telapak tangannya yang kotor. 

“Duduk sini,”lanjutnya, mereka berdua duduk bersisian memandang ke hamparan ladang yang sangat luas. Di arah kejauhan sana, Shana dapat menangkap sesosok tubuh ringkih yang dia kenal itu Om Kaivan.

“Aku sudah baikan kok, Mas. Kalau nggak sehat, nggak mungkin ibu ngizinin aku ke sini,”jawab Shana tanpa menoleh. 

“Tetap aja, Shan. Kamu itu lagi berbadan dua. Harus pikirin kesehatan kamu dan calon bayi kita. Ya?” Kaivan menginginkan Shana membalas tatapannya dan tersenyum. Namun, Shana masih menatap lurus. Dia hanya mengangguk pelan atas ucapan Kaivan.

Lalu, “Mas …, ibumu selalu ingin menemui ibuku. Menurut kamu, bagaimana?” Kali ini Shana menoleh. 

Benar dugaan Shana, Kaivan tidak langsung menjawab. Kepalanya menunduk lama, seakan merenungi jawaban apa yang pas. 

“Kalau aku, tentu saja dengan senang hati ingin ibumu datang. Tapi …” Shana kembali memandang ke depan, “Aku tidak mau menyakitinya dengan sikap ibuku.” Nadanya melemah dengan tatap sendunya. 

Membuat Kaivan segera menoleh, setelah menghela napas panjang, Kaivan menjawab. “Nggak apa-apa. Mungkin suatu saat setelah ibumu bisa menerima aku,”lirihnya dengan rahang mengeras.

1
kanaikocho
Alur yang brilian
Bastiankers
terima kasih sudah berkunjung
Kiran Kiran
Wow, aku gak bisa berhenti baca sampai akhir !
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!