NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:603
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14

Suasana di jembatan perbatasan kota Singaraja hari ini penuh dengan hiruk-pikuk. Pasukan Monasphatika tengah sibuk membangun sebuah benteng kokoh di perbatasan kota. Menara pengawas menjulang tinggi, dikelilingi barikade yang tertancap kuat di tanah, seolah siap menghadapi segala ancaman.

Bahan yang digunakan terlihat sederhana, yaitu bambu. Akan tetapi, bambu ini bukan sembarang bambu. Mereka menggunakan spesies bambu langka yang hanya tumbuh di salah satu desa terpencil di Singaraja. Bambu ini dikenal memiliki ketahanan luar biasa terhadap api dan benturan, hingga melebihi bahan lain yang bisa mereka temukan. Setiap batangnya dipilih dengan cermat untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari yang terbaik.

Benteng ini dibangun sebagai pertahanan terdepan untuk menangkal serangan dari Karangasem, jika mereka benar-benar berniat menyerbu Buleleng. Di atas menara penembak, terpasang pelontar granat dan meriam kecil yang siap menembakkan serangan mematikan. Senjata-senjata api ini adalah hasil rampasan dari penyerbuan mereka di Mall Bali Galeria beberapa waktu lalu.

Di tengah keriuhan pembangunan, terlihat Indra sedang berdiri tegap mengawasi anak buahnya bekerja. Luka sisa pertempuran sengit melawan Pasukan Badung beberapa minggu lalu masih terasa perih di sekujur tubuhnya. Meski belum sembuh sepenuhnya, sorot matanya tetap tajam dan penuh tekad. Ia merasa bahwa waktu adalah musuh terbesarnya saat ini.

Luthfi, yang berdiri di samping Indra, tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Wow, mereka bisa menyelesaikan benteng ini hanya dalam 7 hari saja. Luar biasa!" Ujarnya penuh decak kagum.

Indra tersenyum tipis. "Yah, mereka sudah lama tidak diajak bertugas. Tenaga mereka yang terpendam sepertinya sudah lama menunggu untuk dilepaskan." Jawabnya dengan tawa kecil.

Kiara, yang berdiri di sebelah Luthfi, mengangguk pelan. "Benar, dari 117 Prajurit Monaspathika, sebagian besarnya tidak pernah kau ajak bertugas lagi sejak tahun kedua musim dingin." Ujarnya seperti menyimpan sedikit pertanyaan.

Indra menghela napas. "Aku nggak suka membawa pasukan besar-besaran. Toh, kekuatan tempur kita juga nggak akan terasa, meski aku membawa mereka semua." Ujarnya mencoba menjelaskan alasannya.

Ketiganya terus mengawasi pembangunan benteng dari bawah, memastikan setiap detail sesuai dengan desain yang telah dibuat oleh Luthfi, sang arsitek berbakat. Desainnya begitu detail dengan menggabungkan kekuatan dan keindahan, seolah benteng ini bukan sekadar pertahanan, tapi juga sebuah mahakarya.

Tiba-tiba, Kiara memecah keheningan dengan pertanyaan yang mengusik pikirannya. "Kenapa kau memilih membangun benteng di perbatasan kota Singaraja? Bukankah seharusnya kita bangun ini di perbatasan Buleleng-Karangasem?" Tanyanya penuh rasa ingin tahu.

Indra meliriknya sejenak sebelum menjawab. "Membangun di sana akan memakan lebih banyak waktu dan tenaga karena distribusi senjata serta material banguannya akan menjadi lebih rumit. Kalau di sini, kita bisa memanfaatkan sumber daya yang ada dengan lebih efisien." Ujarnya dengan tenang.

Kiara mengangguk, memahami alasan di balik keputusan itu. Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, seorang prajurit Monasphatika datang menghampiri dengan tergesa-gesa. Ia menunggangi kudanya dengan wajah yang serius.

Indra segera berdiri untuk menyambut prajuritnya. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Tanyanya penuh kewaspadaan.

Prajurit itu menarik napas dalam sebelum menjawab. "Iya, Azmi dari Buleleng Barat datang mencarimu."

...***...

Indra menuangkan air hangat ke dalam cangkir Azmi, yang duduk di depannya dengan tenang. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba Azmi datang ke Singaraja untuk memberikan pasokan daging ayam kepada Monasphatika. Kedatangannya seperti angin segar di tengah kesibukan pembangunan benteng.

Keduanya duduk di aula Taman Kota Singaraja, ditemani oleh suara gemericik air mancur kecil di tengah taman. Pandangan mereka sesekali beralih ke pasukan Monasphatika yang sibuk menurunkan barang-barang bawaan Azmi dari kereta kuda. Suasana terasa hangat, meski pertemuan ini tak direncanakan.

"Ini belum genap tiga bulan sejak terakhir kali kau menyuplai kami dengan daging ayam." Ujar Indra sambil meneguk air hangatnya perlahan. "Walau kita sudah kenal lama, aku baru tahu kalau kau sebaik ini."

Azmi tersenyum. "Yah, apa salahnya sesekali berkunjung?" Jawabnya dengan ringan. "Ngomong-ngomong, apa yang terjadi lagi padamu?" Tanyanya sambil menunjuk luka-luka di tubuh Indra yang masih terlihat jelas.

Indra menghela napas dengan wajah yang mencerminkan sedikit rasa jengkel. "Ah, ceritanya konyol banget." Ujarnya dengan senyman masam. "Beberapa minggu yang lalu, seseorang dari Badung menghajarku sampai babak belur saat aku berusaha mengambil alih sebuah desa di Penebel."

Azmi tertawa kecil, lalu mengangguk pelan. "Begitu, ya." Ucapnya singkat.

"Yah, begitulah." Balas Indra kecut. "Ngomong-ngomong, orang yang memukuliku itu sifatnya sangat mirip dengan Aslan, lho." Tambahnya menceritakan tentang Aryandra.

"Aslan, ya?" Azmi mengernyit karena tiba-tiba teringat kenangan lama. "Dia juga pernah menghajarmu, kan?"

Indra hanya tertawa kecil untuk menghindari jawaban langsung. Baginya, kenangan itu terasa manis karena penuh nostalgia, tapi juga pahit karena Aslan sudah tidak ada lagi di dunia.

Azmi kemudian mengalihkan pembicaraan. "Lalu, ada apa dengan benteng yang sedang kau bangun itu?" Tanyanya sambil meneguk air hangatnya.

Indra menghela napas panjang. "Itu untuk menghalau serangan dari Karangasem. Pemimpin mereka sedang berambisi untuk menguasai seluruh Pulau Bali dengan memanfaatkan situasi krisis ini." Jawabnya tegas, namun berisi kekhawatiran.

Mata Azmi membesar karena terkejut. "Serius?" Tanyanya memastikan sekali lagi.

"Serius, dong." Balas Indra datar. "Ngapain aku bercanda sampai bikin benteng segala."

Indra kemudian memberi Azmi sebuah informasi penting. "Saat ini, perang besar sedang terjadi di Bali selatan yang melibatkan Aliansi Badung, Bangli, dan Gianyar melawan Karangasem. Informasi ini kudapat dari orang yang memukuliku itu. Dia adalah pemimpin Pasukan Badung."

Azmi menghela napas panjang mendengar informasi itu. "Tiga wilayah sampai harus bersatu untuk melawannya... Kekuatan tempur Karangasem pasti luar biasa." Gumamnya sambil menghabiskan air hangatnya.

"Begitulah." Balas Indra dengan berat. "Aku penasaran apa sedang yang terjadi di sana..."

...***...

Asap hitam pekat menyelimuti langit Bangli siang hari ini. Kobaran api melahap bangunan dengan rakus, sementara suara pedang yang saling beradu menciptakan melodi yang menegangkan.

Suasana Bangli yang dulunya hijau dan asri kini berubah menjadi lautan api, bagaikan neraka yang menyala-nyala. Udara panas dan bau hangus memenuhi setiap sudut, membuat napas terasa berat.

Anak-anak, perempuan, dan lansia berlarian panik, berusaha menyelamatkan diri dari amukan perang. Jerit tangis dan teriakan mereka seolah memekakkan telinga. Pasukan Aliansi sibuk mempertahankan wilayah Bangli sekaligus berusaha menyelamatkan warga yang terjebak dalam kepungan api dan kepanikan.

Peperangan ini pecah setelah Karangasem datang untuk menculik seorang ahli strategi milik Aliansi. Dialah otak di balik berbagai kekalahan yang diderita Karangasem dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya. Namanya adalah Dewa Ayu Sekar Kencana, seorang perempuan cantik nan cerdas. Selain menjadi ahli strategi bagi aliansi, ia juga adalah kakak kandung dari pemimpin Bangli saat ini, yaitu Dewa Made Aditya Krismawan.

Awalnya, Kencana ditempatkan sementara di wilayah Badung demi keamanannya. Sebagai ahli strategi Aliansi, keberadaannya sangat vital untuk memenangkan perang ini. Namun, setelah Karangasem berhasil dipukul mundur pada pertempuran sebelumnya, Sekar memohon untuk kembali ke Bangli untuk melepas rindu pada kampung halamannya.

Sayangnya, rencana itu bocor. Karangasem mengetahui keberadaannya dan memutuskan untuk menculiknya. Tanpa keberadaan Sekar, Aliansi akan lumpuh karena kehilangan ahli strategi mereka. Selain itu, dengan menjadikannya tawanan, Aliansi akan merasakan beban yang lebih berat, sehingga jadi lebih mudah untuk dikalahkan.

Di tengah kekacauan itu, sebuah kereta kuda melaju kencang, berusaha menjauh dari medan perang. Kereta kuda itu dikendalikan oleh Aditya yang berniat membawa kakaknya kembali ke Badung untuk menjauhkannya dari bahaya. Di kursi belakang, sang Pemimpin Gianyar bernama Wibisana, sedang memegang senapannya dengan erat untuk menghalau siapa pun yang mencoba mendekat.

Setelah berhasil menjauh dari pusat pertempuran, Aditya mencoba menenangkan Sekar yang duduk di dalam kereta dengan wajah pucat penuh ketegangan. "Tenang saja, Kak. Kita sudah berhasil menjauh dari mereka!" Ujarnya mencoba menyuntikkan semangat.

Wibisana yang tetap waspada, lalu mencoba memperingatkan. "Jangan lengah, Aditya. Kita tidak tahu sejauh mana musuh telah menguasai wilayahmu. Mereka bisa menyerang dari mana saja!"

Sekar mengangguk penuh kekhawatiran. "Benar, Aditya. Tetaplah waspada." Ujarnya lembut. Ia lalu menoleh ke arah Wibisana. "Kau juga, Wibisana. Posisimu lebih rentan terhadap serangan dibandingkan kami berdua."

Baru saja kata-kata itu terucap, tiba-tiba dari balik hutan di samping mereka muncul seorang penunggang kuda. Tubuhnya tertutup jubah dan cadar hitam, serta membawa sebuah karung kecil di tangan kirinya. Dengan langkah cepat penuh ancaman, ia mendekati kereta mereka bertiga.

Aditya segera mengenali sosok itu. "Cih, itu Yuda! Prajurit terkuat Karangasem!" Teriaknya penuh kegeraman.

Wibisana tidak tinggal diam. Dengan cepat, ia mengangkat senapannya dan melepaskan berbagai tembakan. Sayangnya, dengan manuver kuda yang gesit, Yuda dapat menghindari setiap peluru yang melesat.

"Gila... Dia bisa menghindari tembakanku!" Gumam Wibisana kagum sekaligus frustasi.

Sementara Wibisana sibuk mengisi ulang amunisinya, Yuda perlahan semakin dekat dengan mereka. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan karung kecil yang dibawanya ke bawah kereta. Begitu menyentuh tanah, karung itu meledak dengan dahsyat, hingga menghempaskan kereta dan membuatnya hancur berkeping-keping.

Setelah terbanting ke tanah, tubuh Aditya terasa berat dan sulit digerakkan. Dari posisinya yang tergeletak, ia melihat Yuda mendekati Sekar yang tak sadarkan diri. Dengan gerakan yang berhati-hati, Yuda mengikat Sekar dan membawanya pergi menuju Karangasem.

Aditya bangkit dan berusaha mengejar dengan sisa tenaganya. "K-kembalikan... Kembalikan kakakku!" Teriaknya dengan suara serak.

Sayangnya, tubuh Aditya sudah tidak mampu berlari lagi. Ia hanya bisa berlutut dan menatap Sekar yang berhasil diculik dengan putus asa.

...***...

Beberapa hari setelah insiden penculikan Sekar, ketiga pemimpin Aliansi berkumpul bersama di markas mereka yang berlokasi di Badung. Aditya, Wibisana, dan Aryandra duduk mengelilingi meja bundar dengan membawa beban pikiran yang berat. Suasana ruangan rapat begitu sunyi, dibalut dengan perasaan sedih dan kecewa atas kejadian buruk yang menimpa Sekar.

Aryandra, yang duduk di seberang kedua rekannya, memecah keheningan dengan membuka rapat tersebut. "Sebelum kita mulai, aku ingin meminta maaf atas ketidakhadiran Pasukan Badung dalam pertempuran kemarin. Kami menyesal karena belum bisa memberikan bantuan yang seharusnya." Ucapnya dengan suara pelan, namun berwibawa

Aditya dan Wibisana tersentak dari lamunan mereka. Wibisana lalu mengangguk, mencoba melepaskan ketegangan di pundaknya. "Ah, tidak perlu khawatir, Aryandra. Kondisimu juga belum pulih sepenuhnya setelah pertempuran di Tabanan." Ujarnya mencoba menenangkan.

Aditya menambahkan dengan suara datar, namun tidak menyalahkan. "Kalau pun Pasukan Badung ikut waktu itu, mungkin kalian justru akan menjadi beban bagi kami. Jangan terlalu dipikirin."

Mata Aditya kemudian tertuju pada luka-luka yang masih terlihat jelas di tubuh Aryandra. Ia memperhatikan luka bakar, tebasan pedang, dan lebam-lebam yang menghiasi kulit rekannya dengan seksama. "Ngomong-ngomong, siapa yang berhasil membuat pendekar terkuat milik Aliansi sampai babak belur seperti ini?" Tanyanya mencoba mengalihkan suasana.

Wibisana juga ikut penasaran. "Benar, kau nggak pernah sampai seperti ini saat berperang melawan Karangasem. Pasti lawanmu itu sangat kuat, ya?"

Aryandra tertawa kecil mendengar pertanyaan rekan-rekannya yang penasaran. "Sebenarnya, orang itu nggak terlalu kuat secara fisik. Tapi, dia berhasil menghajarku sampai seperti ini karena taktik bertarungnya yang cerdas." Jawabnya dengan penuh hormat.

Aditya mengerutkan kening. "Cih, jadi dia petarung yang jenius, ya. Semakin hari, semakin banyak saja musuh yang harus kita hadapi." Keluhnya dengan suara penuh kelelahan.

Aryandra tersenyum dengan mata penuh tekad yang kuat. " Akan tetapi, berkat hubungan yang berhasil aku bangun dengan orang itu, misi penyelamatan Sekar rasanya akan jadi lebih mudah."

Aditya dan Wibisana tertegun, lalu saling memandang satu sama lain dengan wajah kebingungan. "Bisa kau jelaskan maksudmu?" Tanya Aditya penasaran.

Aryandra berdiri, lalu menatap kedua rekannya dengan wajah yang optimis. "Aku akan meminta izin pada orang itu untuk memasuki wilayah Buleleng, lalu mendobrak masuk wilayah Karangasem dari sisi barat." Ujarnya memulai penjelasannya.

Ia kemudian melanjutkan dengan suara penuh keyakinan. "Agar pasukanku bisa masuk dengan mudah, kita perlu melemahkan pertahanan internal mereka terlebih dahulu. Maka dari itu, aku meminta kalian untuk memusatkan kekuatan di bagian selatan Karangasem. Dengan begitu, mereka akan terpaksa mengerahkan sebagian besar pasukannya ke sana."

Aryandra berhenti sejenak untuk mengambil nafas, sebelum mengakhiri penjelasannya. "Sementara mereka sibuk melawan kalian, pasukan Badung akan menyerang dari barat, lalu menyelamatkan Sekar. Sekian rencana yang bisa kutawarkan pada kalian."

Aditya dan Wibisana mengangguk sebagai isyarat bahwa mereka mengerti setiap kata yang diucapkan Aryandra. Namun, Aditya masih terlihat ragu. "Rencanamu bagus. Tapi, jika ini gagal, Ashura bisa saja menyerang Buleleng karena telah memberimu izin masuk." Ujarnya dengan suara penuh kekhawatiran.

Wibisana mengangguk setuju. "Benar, risikonya terlalu besar. Kau bisa membuat Buleleng menjadi hancur jika rencana ini gagal."

Aryandra tersenyum dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Jangan khawatir. Aku yakin rencana ini akan berhasil!" Ujarnya penuh keyakinan.

Melihat tekad Aryandra yang tak tergoyahkan, Aditya dan Wibisana hanya bisa menghela napas. Mereka saling memandang satu sama lain, sebelum akhirnya mengangguk sebagai isyarat persetujuan.

Aryandra tersenyum lebar dan semangatnya semakin berkobar.

"Baiklah! Aku akan segera mengirimkan pesan kepadanya!"

Ilustrasi Tokoh:

...Dewa Made Aditya Krismawan...

...Dewa Ayu Sekar Kencana...

...Gusti Ngurah Ananta Wibisana...

...Made Yuda Singha...

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!