Menjadi aktris baru, nyatanya membuat kehidupan Launa Elliza Arkana jungkir balik. Menjadi pemeran utama dalam project series kesukaannya, ternyata membuat Launa justru bertemu pria gila yang hendak melec*hkannya.
Untung saja Launa diselamatkan oleh Barra Malik Utama, sutradara yang merupakan pria yang diam-diam terobsesi padanya, karena dirinya mirip mantan pacar sang sutradara.
Alih-alih diselamatkan dan aman seutuhnya, Launa justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Barra, hingga ia terperosok ke dalam jurang penyesalan.
Bukan karena Barra menyebalkan, tapi karena ia masih terikat cinta dengan sahabat lamanya yaitu Danu.
“Lebih baik kau lupakan kejadian semalam, anggap tidak pernah terjadi dan berhenti mengejarku, karena aku bukan dia!” ~Launa Elliza
“Jangan coba-coba lari dariku jika ingin hidupmu baik-baik saja.” ~ Barra Malik Utama
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erma Sulistia Ningsih Damopolii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 6 Kamu Pasti Jadi Milikku- Garry
Dengan rahang mengeras dan tangan yang terkepal kuat, Launa menatap tajam punggung Barra yang semakin menghilang. Dada Launa naik turun seakan ingin menghantam puncak kepala Barra saat itu juga.
Merasa tak ada urusan lagi di sana, Launa pulang ke rumah karena ia pikir, untuk apa bertahan lama di sana sedangkan jadwal syutingnya nanti lusa.
Dalam keadaan emosi yang membara, Launa menyetir dengan kecepatan tinggi seakan ia lah penguasa jalan.
Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di rumahnya adalah tiga puluh menit, tapi Launa persingkat menjadi sepuluh menit. Kebiasaan Launa yang suka menyetir persis orang kesetanan ini lah yang membuat bunda Salsa kerap mengurut dada. Sudah berulang kali dinasehati, tetap tidak akan masuk ke telinga Launa.
Rumah dalam keadaan sepi, karena ayah dan bundanya sedang berada di rumah om Reza dan tante Yura untuk membantu mempersiapkan acara aqiqah cucu tante Yura.
Jadi, karena sepi, Launa bisa dengan leluasa menuju kamarnya tanpa harus menanggapi pertanyaan sang bunda.
Kesal, lelah, bimbang, bersatu padu dalam benak Launa. Sesampainya di kamar, ia langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur, seraya menatap langit-langit kamar.
Launa memijat pangkal hidungnya karena saking letihnya. Meski kekesalannya sudah sampai ubun-ubun, Launa masih berusaha tenang meski hasrat ingin menyiram kepala Barra pakai air es selalu terbersit di benaknya.
Wanita itu berusaha mengatur napasnya, hingga di menit kedua, tiba-tiba ponselnya berdering tanda panggilan masuk dari penelepon yang dinamai Sepupu cantik. Bukan Launa yang menulisnya melainkan Iva sendiri. Dengan malas Launa menggeser icon hijau, dan menjawab panggilan tersebut.
“Hallo.”
“Launa, kamu sudah pulang?” Tanya Iva di seberang sana.
“Menurutmu?”
“Kamu nggak nungguin aku?”
“Ngapain? Aku udah nggak ada urusan lagi di sana Va.”
“Kamu masih ada urusannya Lau, kamu kan juga ikut andil dalam series itu.”
“Ikut andil jadi orang gila?” Ketus Launa hingga terdengar helaan napas panjang dari Iva di sana.
“Maaf ya Lau.”
“Maaf untuk?”
“Aku nggak bisa bantu kamu. Niat hati ingin mewujudkan impian kamu jadi pemeran utama. Aku nggak tau sama sekali rencana pak Barra ini, karena pak Barra orangnya susah ditebak Lau. Aku nggak bisa menebak isi pikirannya. Lagi pula di sini aku cuma bawahan, aku nggak mungkin bisa melawan orang yang lebih berkuasa.” Jelas Iva panjang lebar. Tanpa menyelah sedikit pun Launa mendengar semua penjelasan Iva dengan seksama, hingga menimbulkan salah paham dari Iva.
“Launa kamu marah ya?”
“Nggak, ngapain marah, buat apa juga coba? Kamu sudah baik membantuku masuk ke sana. Aku berterimakasih akan hal itu. Walau pun pada akhirnya dirubah total oleh sutradara kolot itu.” Ucap Launa dengan suara pelan di akhir kalimat.
Cukup lama mereka diam dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Launa kembali buka suara.
“Nge-Mall yuk.”
“Kapan?”
“Sekarang. Sudah lama juga kan kita nggak jalan-jalan. Aku mau menghibur diri.”
Mendengar ajakan Launa, Iva diam sejenak. Ia ingin menerima ajakan Launa, akan tetapi, pekerjaannya di kantor menumpuk.
“Lau, gimana kalau besok aja? Hari ini aku nggak bisa, kerjaan aku banyak, kalau aku pergi, takutnya pak Barra marah. Apalagi nanti malam aku harus membantu menyiapkan acara ulang tahun perusahaan kan.” Cetus Iva hingga Launa memutar bola matanya malas.
“Jadi kamu lebih milih bersama sutradara kolot itu dibanding jalan sama aku?”
“Bukan begitu Lau, kamu tau sendiri kan pak Barra gimana_”
“Yah udah kerja sana, aku tutup telepon dulu.” Jawab Launa tidak bermaksud merajuk atau semacamnya tapi terdengar ketus di telinga Iva.
Kini Launa kembali melamun dan pindah posisi menghadap dinding warna soft blue itu. Belum kering bibirnya usai bicara dengan Iva, ponsel Launa kembali berdering hingga ia menghela napas kasar.
“Dia pasti mau minta maaf.” Launa bermonolog mengingat kebiasaan Iva yang selalu minta maaf saat wanita itu menolak ajakan Launa. Tanpa melihat si penelepon, Launa meraih ponselnya.
“Nggak apa-apa Va, kamu kerja aja aku nggak marah kok_”
“Marah kenapa?” Suara berat itu terdengar asing di telinga Launa hingga wanita itu perlahan melirik ponselnya. Nomor tidak dikenal, tapi dari fotonya bisa Launa lihat itu dari siapa.
“Pak Garry?”
“Kamu kenapa?”
“Ng_nggak apa-apa.”
“Maaf ya.”
“Maaf kenapa pak?” Tanya Launa sontak bangkit dari pembaringan usai mendengar pernyataan itu.
Bagaimana tidak? Salah satu orang berpengaruh di Bintang Utama meminta maaf padanya.
“Karena saya tidak bisa mencegah pak Barra saat ia mengganti peranmu.” Jawab Garry hingga Launa menghela napas panjang. Yang berbuat siapa, yang minta maaf siapa. Launa terus mengumpat Barra dalam hati dan menjulukinya manusia primitif.
“Ah tidak perlu minta maaf begitu, ini bukan kesalahan bapak. Kenapa bapak harus minta maaf? Yang salah kan sutradara kolot itu bukan bapak.” Ungkap Launa dengan nada lembut, berbeda sekali saat bicara dengan Barra. Padahal Barra lah CEO-nya, tapi Launa lebih segan dan sopan kepada Garry dibanding Barra.
Mendengar celetukkan Launa, Garry hanya tertawa pelan.
“Kenapa bapak ketawa?”
“Kamu lucu, bisa-bisanya kamu menjuluki pak Barra dengan sebutan itu.”
“Hehehehehe.” Balas Launa ikut tertawa walau hanya tertawa karir.
“Lucunya di mana coba? Aku kesal bukan ngelawak.” Ujar Launa dengan suara yang amat pelan dan sengaja mengatur kalimatnya agar pak Garry tidak mendengar dengan jelas.
“Kenapa?” Tanya Garry kembali memastikan namun Launa segera menyangkalnya.
Cukup lama mereka terdiam, hingga akhirnya Garry kembali memulai percakapan.
“Launa?”
“Ya pak.”
“Jadi kan nanti malam?” Tanya Garry hingga Launa kembali teringat undangan itu.
Sebenarnya malas saja andai dia harus ke sana. Akan tetapi, karena pak Garry baik, jadi Launa mau memenuhi undangan itu. Toh juga dia ke sana untuk pak Garry bukan untuk Barra, pikirnya.
“Aku jemput ya.”
“Nggak usah pak.” Jawab Launa buru-buru mengingat pria tersebut adalah tunangan Jovita. Adik dari pak Barra. Launa yang sangat menentang keras pengkhianatan apalagi perselingkuhan, tak bisa menerima tawaran Garry begitu saja. Jika dia membenci pelakor, akan sangat tidak mungkin dia menggeluti perbuatan itu.
“Kenapa?”
“Kita ketemu di sana saja, aku sudah janji ke sana bareng Iva.” Jawab Launa beralasan, walau pun memang benar dia ingin mengajak Iva.
“Oh begitu? Yah sudah, aku tunggu di sana.”
“Ya, saya tutup telepon dulu ya pak.” Izin Launa lalu kemudian mematikan sambungan telepon tanpa harus menunggu jawaban Garry selanjutnya.
“Kok makin ke sini, perasaan aku semakin tidak enak. Seperti ada sesuatu yang pak Garry inginkan, tapi apa?” Batin Launa menerka-nerka.
Terlalu lama berpikir, Launa menggeleng-gelengkan kepala sembari memejamkan matanya.
“Mikir apa sih aku? Pak Garry bukan Barra, jadi nggak mungkin dia nyakitin perasaanku.”
Disaat Launa tengah dalam keadaan sangsi, di sudut sisi yang lain pria yang sedang ia pikirkan kini tengah mengulas senyum sembari menatap ponselnya.
“Aku pasti bisa mendapatkan kamu Launa Elliza. Kamu harus jadi milikku.” Garry bermonolog seraya tersenyum evil di depan cermin kamarnya.
sorry tak skip..