Sudah sepantasnya kalau seorang istri menuntut nafkah pada suaminya. Namun bagaimana jika si suami sendiri yang tidak ada keinginan untuk menunaikan kewajibannya dalam menafkahi keluarga? Inilah yang dialami Hanum Pratiwi, istri dari Faisal Damiri selama 5 tahun terakhir.
Hanum memiliki seorang putra bernama Krisna Permana, yang saat ini masih kuliah di Jurusan Informatika. Tentu saja Hanum masih memerlukan biaya yang cukup banyak untuk biaya pendidikan putranya, ditambah juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Hanum harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan seringkali meminjam kepada saudara dan teman-temannya. Beruntung sang anak bersedia membantu menitipkan kue di kantin, yang bisa dijadikan sumber income keluarga. Namun pendapatannya yang tak seberapa itu, hanya cukup untuk transport dan uang saku sang anak, kalaupun ada lebih untuk membeli beras.
Bagaimana Hanum bertahan dalam 5 tahun ini? Apakah kesulitan ini mengharuskannya menyerah? Lalu bagaimana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ida Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Hanum Sakit Part 2
Ternyata sakitnya Hanum cukup serius, ini sudah masuk hari ke-3, tapi belum ada perubahan. Suhu tubuhnya naik turun, kadang panas kadang menggigil dan yang bikin nggak bisa bangunnya itu adalah sakit kepala yang terasa ditusuk-tusuk. Faras sudah menyarankan untuk berobat, tapi karena Hanum termasuk yang anti dokter masih terus menolak. Sudah dua hari juga tidak ada kue yang dititipkan, otomatis tidak ada pemasukan. Itulah yang membuat Hanum berfikir ulang untuk berobat ke dokter. Hanum pun melewatkan waktu mengajar tahsin untuk ibu-ibu komplek, untung masih ada temannya yang bisa membackup, meskipun tema pembelajarannya berbeda.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuuh" terdengar orang mengucapkan salam
"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuuh. Oh silahkan masuk Bu!" kudengan suara Faras yang menjawab salam dan membuka pintu.
"Ibunya ada Bang?"
"Ada Bu, sebentar saya bantu keluar dulu dari kamar. Silahkan duduk!" tak lama suara Faras menghilang, sepertinya menuju ke dapur
Hanum menengok jam, ternyata sudah jam 5 sore,
"berarti itu rombongan ibu-ibu pengajian bertamu." ucap Hanum lirih sambil berusaha untuk bisa bangkit dari tempat tidur. Dengan dibimbing Faras, Hanum menuju ruang tamu menemui tamunya. Setelah memastikan ibunya duduk nyaman di sofa, baru Faras pamit ke dalam. Di meja tamu sudah terhidang minuman kemasan gelas yang ditata di sebuah keranjang rotan. Hanum tersenyum kecil dan memuji kesigapan anaknya menjamu para tamu.
"Ya Allah Bu, saya beneran kaget pas Ibu chat tidak bisa ngajar hari ini. Saya fikir kenapa, eh pas di gerbang ketemu anak bujang terus nanya kenapa. Katanya lagi sakit sudah 4 hari. Sakit apa sebetulnya Bu" tanya Bu Manaf penuh rasa penasaran.
"Ya saya juga mengiranya hanya sakit demam seperti biasa saja, yang bisa langsung membaik setelah istirahat sehari dua hari. Eh rupanya masih betah menemani. He...he...he..."
"Perasaan waktu hari Ahad kemarin ketemu pas belanja sayur belum apa-apa deh" sahut Bu Hani
"Memang baru terasa nggak enak badannya itu pas Ahad malam, persendian terasa ngilu, terus badannya lemas gitu. Tapi saya coba tetap lawan, minum air hangat terus. Sampai selesai masak dan beberes di dapur pas melangkah ke tempat nyuci baju, kesadaran saya hilang dan tergeletak. Anak saya yang bawa ke kamar dan terus mencoba menyadarkan saya. Alhamdulillah nggak lama katanya, pingsannya sekitar 10 menitan"
"Innalillahi kok bisa sampai pingsan sih Bu? Ada gejala darah rendah ya?" tanya Bu Hani lagi
"Iya, saya kalau sedang drop tensinya, kadang pingsan. Terutama kalau habis jongkok lama, begitu bangkit pasti saja langsung keleyengan. Ini sudah ada kali 4 tahun baru kambuh lagi"
"Tapi sudah ke dokter belum Bu? Biar tahu apa penyakitnya" tanya Bu Ati.
"He... He... He... Saya termasuk yang malas ke dokter Bu. Lebih sering didoping madu dan air hangat saja. Tapi ini kalau sampai besok belum membaik, terpaksa saya harus mengunjungi dokter"
"Iyalah Bu, takutnya ada sesuatu yang berbahaya jadi biar bisa cepat ketahuan dan diatasi" saran Bu Ati
"Ya sudah deh Bu, menjelang Magrib nih. Kami pamit ya, semoga cepat sembuh dan rasa sakitnya menjadi berkah. Ini ada sedikit tanda cinta dari kami, jangan dinilai dari jumlahnya ya Bu, tapi lihatnya sebagai kasih sayang dari kami" ujar Bu Manaf sambil menyelipkan amplop di tangan saat bersalaman.
"Masya Allah... Jadi ngerepotin ibu-ibu ini sih. Padahal mah ditengoknya juga sudah bahagia, yang penting doanya Bu" Hanum berusaha menolaknya dengan halus
"Nggak apa-apa Bu, itu rejeki untuk Ibu. Diterima ya, semoga bermanfaat." ujar Bu Hani menengahi keduanya.
"Alhamdulillah.. Jazakumullah khoyron katsiron atas perhatiannya ibu-ibu, semoga Allah mengganti rejekinya dengan berlipat ganda. Aamiin"
"Aamiin.."jawab ibu-ibu serempak.
"Mari Bu, kami pamit ya. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuuh" Ucap Bu Manaf mewakili ibu-ibu yang lain
"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuuh. Terima kasih atas kunjungannya Bu"
Setelah rombongan menjauh, Faras keluar dari kamar dan menutup pintu. Hanum terlihat membuka amplop dan isinya uang warna merah 5 lembar. Hanum mengambil 2 lembar dan menyerahkannya ke Faras
"Bayar pay later kamu yang kemarin, supaya tenang" ujar Hanum
"Mendingan pakai berobat dulu saja Bu, bismillah pasti ada tambahan rejekinya nanti"
Faras berusaha menolak, karena dia lebih mengkhawatirkan kesehatan ibunya.
"Nggak apa-apa pegang dulu. Besok kamu antar Ibu ke Puskesmas, insya Allah di Puskesmas juga cukup bagus" ujar Hanum masih memaksa.
Faras pun menerima uang yang diberikan ibunya, dan memapah sang ibu ke kamar mandi, biar sekalian ambil wudhu.
...🌾🌾🌾🌾🌾...
Malam selesai sholat Isya, Hanum berusaha tidur cepat. Saat sedang merapikan posisi bantal dan guling, Faisal kembali menunjukkan chat dari pemilik rumah. Hanum menarik nafas panjang dengan rasa jengkel.
"Ayah, memang nggak kasihan lihat Ibu lagi sakit begini masih disuruh mikirin yang kontrakan?" nada suara kesal Hanum terdengar lebih keras
"Ya kasihan sih, tapi kan Ayah juga pusing diteror terus sama Bu Henny kapan transfernya" jawab Faisal tanpa rasa bersalah
"Makanya kerja, cari uang biar bisa bayar kontrakan. Bukan hanya ngeluh. Bayat kontrakan itu tanggung jawab seorang suami,bukan malah dibebankan lagi ke istri. Dulu saja lagi kerja diojok-ojok suruh resign, alasan bakti sama suami. Kakakmu ngatain aku kerja bertahun-tahun tapi perhiasan saja nggak punya. Sakit hati Ibu dengarnya, nggak tahu saja biaya kita nikah dari ibu karena Ayah masih menganggur, mana ada sumbangan dari keluarga Ayah, renovasi rumah juga begitu, beli kendaraan juga gaji ibu yang dipotong tiap bulan. Ingin buka usaha penagihan, gaji ibu lagi yang dipotong. Tapi kan nggak pernah ibu omongin sama keluarga Ayah, saking menghargai Ayah. Terus sekarang Ibu yang sudah nggak kerja, masih juga disuruh nanggung ekonomi keluarga." akhirnya keluar juga unek-unek yang selama ini dipendam Hanum.
Faras yang mendengar teriakan Hanum langsung memeluk dan menangkan sang Ibu. Ingin dia memakai sang Ayah, tapi ingat ini Ayah kandungnya.
Air mata Hanum sudah berderai membasahi wajahnya, dan kepalanya kembali sakit berasa ditusuk-tusuk. Akhirnya Hanum memilih tidur dan memejamkan mata. bibirnya terus beristighfar sambil menekan tombol tasbih digital. Setelah Hanum tertidur, baru lah Faras mengeluarkan kekesalannya pada sang Ayah.
"Jika Ayah masih ingin disebut kepala keluarga lebih baik diam kalau nggak bisa ngasih solusi. Jangan selalu mengintimidasi Ibu dengan hal-hal yang harusnya menjadi tanggung jawab Ayah. Ibu sudah menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu dengan baik" omel Faras sambil menatap sang Ayah.
"Ya sudah kalau kalian tidak menghargai Ayah lagi, Ayah akan diam. Nggak peduli apa yang akan terjadi nanti, Ayah nggak akan ikut campur" ancam Faisal
"Ya sudah kalau memang itu maunya. Berarti pantas disebut kepala rumah tangga yang tidak bertanggung jawab" ujar Faras sambil berjalan kembali ke kamarnya.
Sampai di kamar dia termenung, menarik nafas panjang dan mencoba mencari solusi untuk permasalahan uang kontrakan. Tiba-tiba dia membuka aplikasi belanja dan menekan fitur Spinjam. Ternyata dia punya limit pinjaman Rp 3 juta. Mungkin cukuplah untuk bayar kontrakan 2 bulan ke depan.
"Lebih baik besok dibicarakan sama Ibu saja bagaimana baiknya. Uang yang tadi Ibu berikan akan dibayarkan, jadi cicilannya tetap hanya 1 transaksi" gumam Faras lalu menutup aplikasi belanjanya.
"Sampai kapan akan seperti ini Ya Allah..? Apakah masih ada kesempatan bagi hamba untuk melanjutkan kuliah lagi nantinya? Bagaimana hamba bisa membantu keluarga ini, sedang hingga hari ini belum ada tanda-tanda pekerjaan yang datang." Faras masih merenung sambil berdoa, sampai tidak sadar tertidur di depan komputer yang masih menyala.
Lain lagi dengan Faisal yang terpaksa menggelar kasur lantai di ruang tengah, karena tidak berani masuk kamar. Dia terlihat frustasi dengan semua permasalahan yang datang, namun tidak ada keinginan untuk mencari nafkah. Hanum pernah menyuruhnya untuk menjadi driver ojek online, tinggal perpanjang SIM C nya, tapi dia beralasan pandangan sudah bermasalah dan tidak bisa mengemudi jarak jauh. Disuruh daftar taksi online atau jadi supir pribadi, masih juga banyak alasan yang dikemukakan.
Memang kalau tidak ada dorongan yang kuat dari dirinya, pasti akan selalu banyak alasan untuk menolak. dan itulah yang terjadi dengan Faisal