"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Nina menunggu Bri sekitar 20 menit, tadi pagi ia sudah menelepon temannya itu bahwa dia akan datang ke rumah baru— yang sebenarnya bukan.
Bri turun dari mobilnya dan menghampiri Nina yang berdiri di depan pagar.
"Kau menunggu lama ya?" tanyanya khawatir.
"Tidak, cuma 20 menit. Ayo kita masuk, aku tidak sabar melihat rumah ini," ucap Nina tidak sabaran.
Ketika Bri hendak membuka pintu rumahnya seseorang muncul di pagarnya sambil menenteng beberapa bungkusan yang sepertinya berisi makanan. Orang itu Vita, rumahnya akan ramai hari ini pikir Bri.
Mereka bertiga berkumpul di dalam kamar Bri, rencananya teman-temanya itu akan menginap kebetulan besok hari minggu. Bri mempersiapkan kasur lantai untuk mereka berdua lengkap dengan selimut dan bantal.
"Kau sudah bertemu dengan tetanggamu itu?" tanya Vita yang sedang menaruh krim malam di wajahnya.
Bri bangkit dan duduk di pinggir kasur, "Sepertinya dia sudah pindah."
"Yah sayang sekali padahal aku ingin melihat wajahnya," ucap Vita pura-pura sedih.
"Dasar! Ingat pacarmu Vita. Rumah ini sangat nyaman, bagaimana perasaanmu setelah pindah ke sini?" Nina bertanya sembari memeluk bantalnya yang ia rasa wangi sabun.
"Rasanya seperti pulang ke rumah yang sesungguhnya, tapi aku masih sedikit asing mungkin karena belum terbiasa," ucap Bri menatap teman-temannya bergantian.
Mereka berceloteh sampai larut malam tentang berbagai hal dari mulai masalah pekerjaan, masa lalu, percintaan, gosip selebriti dan apapun yang terlintas di kepala mereka. Malam semakin larut dan mulai turun hujan menambah suasana malam semakin menarik. Bri melirik kedua temannya di bawah yang sudah terlelap terhanyut bersama mimpi mereka, sementara dia masih tetap terjaga memikirkan sesuatu yang dirasanya tidak begitu penting.
***
Raga sangat menikmati liburanya di kota itu. Meskipun ini buka pertama kalinya dia pergi ke Jogja tapi dulu ia tidak pernah sempat menjelajahi beberapa tempat menarik di sana. Sebelum pergi dia sudah menyiapkan tempat-tempat yang akan ditujunya.
Pada hari keduanya di Jogja, ia memutuskan untuk mengunjungi Taman Sari sendirian karena sang ayah harus bekerja dan tante Restu harus menghadiri acara ulang tahun teman si kembar.
Dia tiba di sebuah bekas istana air yang dulunya menjadi tempat peristirahatan dan rekreasi keluarga Keraton Yogyakarta.
Sesampainya di pintu masuk, Raga disambut dengan suasana yang tenang. Di depan mata, berdiri bangunan berarsitektur unik yang memadukan gaya Jawa, Eropa, dan Portugis. Bersama dengannya ada lima orang lainnya juga turut tergabung dalam kelompok tur kecil tersebut.
Pemandu lokal yang ramah menyarankan mereka untuk memulai eksplorasi dari area Umbul Pasiraman, kolam mandi yang dulunya digunakan para istri dan selir raja.
Kolam tersebut terlihat begitu megah, meskipun usianya sudah ratusan tahun. Tiga kolam dengan air biru kehijauan memantulkan sinar matahari pagi, menciptakan suasana yang damai.
Pemandu menceritakan bahwa raja biasa duduk di sebuah menara tinggi di sisi kolam untuk mengamati selir-selirnya. Dia takjub membayangkan kehidupan di masa lalu yang penuh kemegahan.
Dari Umbul Pasiraman, Raga melanjutkan perjalanan ke bagian Sumur Gumuling, sebuah masjid bawah tanah yang terkenal karena desain arsitekturnya yang unik.
Untuk mencapainya, ia harus melewati lorong-lorong batu yang sempit dan berliku. Saat tiba di tengah masjid, ia melihat tangga berbentuk lingkaran dengan lima cabang yang mengarah ke berbagai sudut. Tangga tersebut menjadi titik pertemuan sekaligus tempat yang sering digunakan untuk berdoa. Raga mengabadikan momen itu dengan kameranya, merasa seperti sedang berada di tempat yang penuh misteri.
Setelah itu, ia berjalan menuju lorong bawah tanah lainnya yang menghubungkan berbagai bagian Taman Sari. Lorong-lorong ini terasa sejuk meskipun di luar udara cukup panas. Pemandu bercerita bahwa lorong ini dahulu digunakan sebagai tempat perlindungan jika terjadi serangan musuh. Raga merasakan sensasi bergidik saat menyusuri lorong-lorong tersebut.
Tak lupa, ia menyempatkan diri untuk naik ke salah satu menara pengawas di area Taman Sari. Dari atas, ia bisa melihat pemandangan sekitar yang dipenuhi rumah-rumah warga, sebagian besar masih mempertahankan gaya tradisionalnya. Di kejauhan, tampak puncak Keraton Yogyakarta, menambah kesan magis tempat tersebut.
Di akhir kunjungan, Raga duduk di sebuah sudut Taman Sari, menikmati segelas teh jahe yang dibelinya dari pedagang setempat. Ia menghirup aroma teh sambil memandangi arsitektur bangunan yang penuh sejarah.
Dia tiba di rumah sekitar jam 7 malam. Setelah mandi dan bersih, dia bergabung denga anggota keluarga lain yang sudah berkumpul di meja makan. Hari ini tante Restu membuat soto ayam lengkap dengan perkedel kentang, bakwan jagung dan oseng tempe. Sementara di piring si kembar ada dua buah sosis ayam hasip dari permintaan mereka.
"Raga juga dapat ini," ucap Restu sambil meletakkan dua buah sosis di piring kecil tepat di depannya.
"Terima kasih tante."
Ayahnya mulai menyendok nasi ke piringnya. "Bagaimana hari ini? Katanya kau ke Taman Sari?" tanya sang ayah sambil membetulkan kacamatanya.
"Menyenangkan. Akhirnya aku bisa kesana juga," ucap Raga lalu mencicipi soto buatan ibu tirinya itu.
"Ini enak sekali." Raga selalu memuji masakan Restu dan itu membuatnya sangat senang dan terharu.
"Makanlah yang banyak. Pulang dari sini beratmu harus bertambah ya," canda Restu
"Wah. Itu bisa bahaya." Restu tergelak diikuti dengan ayahnya.
Sementara si kembar tampak sibuk dengan makanan di depan mereka, salah satunya menatap Raga dan menyahut, "Besok kita jadi jalan-jalan kan mas?" Kian berusaha menkonfirmasi kembali entah sudah yang keberapa kalinya.
"Kalian harus tidur cepat ya, biar besok bisa bangun pagi."
"Besok biar ayah yang antar. Sekalian kami jalan ke rumah Pak Joko," ucap ayah di seberangnya.
Besok hari yang sangat ditunggu oleh adik-adik kembarnya. Mereka sampai ke Taman Pintar, tempat wisata edukasi interaktif yang terkenal di Jogja.
Si kembar memulai eksplorasi di area Zona Playground yang terletak di luar ruangan. Keenan langsung tertarik pada pipa suara, sebuah alat komunikasi sederhana yang memperdengarkan suara dari ujung satu ke ujung lainnya melalui pipa panjang. "Kian, coba bicara. Aku mau dengar!" katanya sambil memasang telinga di ujung pipa. Kian yang patuh pun mengucapkan kalimat lucu yang membuat Raga tertawa geli melihat tingkah laku mereka.
Tak jauh dari sana, Kian dan Keenan mencoba papan jungkat-jungkityang menunjukkan perbandingan berat badan menggunakan prinsip tuas. "Harusnya di ujung sana mas Raga yang naik!" ujar Kian protes karena tidak ada perubahan signifikan terjadi di papan itu dikarenakan berat mereka hampir sama.
Raga hanya tersenyum dan berkata, "Kalau mas naik, nanti papannya patah terus kita ditangkap satpam." Si kembar tergelak mendengarnya.
Setelah puas bermain di luar, mereka masuk ke Gedung Oval dan Kotak, yang penuh dengan wahana edukasi interaktif. Di pintu masuk, Raga sebagai orang dewasa masih bisa merasa terpukau melihat maket Gunung Merapi yang bisa menyimulasikan letusan. "Wah, ini seperti gunung sungguhan!" katanya sambil memegang tombol untuk memulai simulasi. Raga menjelaskan bahwa letusan gunung bisa membawa dampak besar, tetapi juga menyuburkan tanah di sekitarnya. Si kembar mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Di dalam gedung, Kian dan Keena sangat tertarik dengan Zona Generator Van de Graaff, tempat rambutnya berdiri seperti terkena listrik statis. Raga tertawa sambil mengambil foto, "Ayo lihat sini anak-anak! Nanti mas kasih lihat ke ayah dan ibu kalian." Si kembar ceria sembari tersenyum cerah dan berposen dengan lucunya membuat Raga gemas.
Bagian favorit Keenan adalah Planetarium Mini. Mereka duduk di dalam ruangan berbentuk kubah, menonton simulasi langit malam yang penuh bintang. Keenan menunjuk rasi bintang yang ditunjukkan oleh pemandu. "Mas, lihat! Persis seperti yanh ada di buku antariksa Keenan!" katanya dengan mata berbinar-binar. Sementara Kian sibuk menghitung bintang-bintang yang berpendar tepat di atas langit-langit.
Setelah selesai mereka keluar bersamaan dengan pengunjung lain. Beberapa anak tampak berlari sembarangan hingga hampir menabraknya. Diraihnya tangan mungil di sampingnya, namun dia hanya dapat meraih Kian. Dia mencari kembali ke dalam dan tidak menemukan Keenan di manapun, Raga panil sementara Kian hampir menangis.
"Mas Raga. Ayo cari Keenan," ucap Kian dengan suara bergetar menahan tangis.