"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Triyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah ia mengeluarkan keberaniannya untuk memesan kue milik keluarga Al, kini saatnya Acha mengambil kue tersebut dengan sistem Cash On Delivery. Jantungnya terasa dipompa sementara pipinya terus bersemu merah. Acha tidak bisa menutupi rasa bahagianya ini, karena sebentar lagi ia akan bertemu pujaan hatinya. Karena itulah, Serra dan Maya datang ke rumah Acha sebagai permintaan gadis itu. Acha butuh seseorang sebagai penyemangat sekaligus pemberi saran pakaian yang akan dikenakan nanti.
"Pakai jeans aja udah beres," kata Serra memberi saran. Ia tiduran di kasur sementara Acha dan Maya sibuk mengobrak-abrik lemari. "Dari pada buang waktu gitu."
Acha mendengus kesal. Agaknya tidak berguna jika ia mengajak Serra untuk membantunya. Nyatanya, selama satu jam lebih, Serra bermain ponselnya di atas kasur. Sementara dirinya dan Maya mencari pakaian yang membuat Acha kesal sendiri, karena sampai sekarang ia belum menemukan pakaian yang cocok.
"Gimana kalau gaun ini aja, Cha?" Maya mengambil sebuah gaun panjang berwarna biru dengan pita di bagian dada. "Nggak norak alias simple, nih."
Acha mengamati gaun itu dengan saksama. Kemudian, ia mengiyakan dan segera mengganti pakaiannya dengan gaun itu. Setelah dari kamar mandi, Acha mulai duduk di depan meja rias. Dibantu dengan Maya, wajahnya kini dipoles menjadi semakin cantik. Diraihnya tas kecilnya lalu berdiri di depan cermin.
"Cantik loh, Cha," puji Maya tersenyum manis.
Acha semakin tidak sabar untuk menunjukkan penampilannya pada Al. Ia membuka ponselnya. Kebetulan saat itu juga, dua notifikasi dari Al terpampang. Acha membukanya lalu memberikan balasan.
[al_ardonio]
[Jam 12 di Gandaria City.]
[Cuman reminder.]
[khansa.achaa]
[Okey.]
Acha mulai memperbaiki gaya typing-nya. Yang biasanya terlihat ramah, kini ia harus terlihat cuek dan singkat. Ia tidak mau Al semakin risi. Bisa-bisa Instagram-nya akan di-block oleh pria itu. Meski terlihat cuek, Acha tidak menyangkal bahwa hatinya berdegup kencang. Ia benar-benar menantikan hari ini.
Serra yang menyadari Acha sedang gugup segera menyeletuk. "Udah, bawa santai aja. Cuman COD aja berasa dilamar."
"Pantes lo nggak pernah dideketin cowok, modelan lo aja begini," ledek Acha dengan gaya arogan. Lalu, ia menatap Maya dengan penuh harap. Biasanya Maya jago memberikan kata-kata penenang maupun motivasi. Berbeda dengan Serra yang asal ceplas-ceplos.
Maya terkekeh geli. Lalu, menepuk-nepuk bahu Acha agar gadis itu sedikit lebih tenang. "Kamu santai aja. Nggak usah terlalu gugup atau salting. Semangat!"
Acha menarik lalu menghembuskan napas berkali-kali. Setelah merasa sedikit tenang, ia mengambil tasnya lalu bersiap untuk keluar kamar. Begitu pula dengan Serra dan Maya yang membereskan barang-barang mereka. Ketiganya berjalan menuju garasi di mana Pak Iman—supir pribadi keluarga Acha—sudah bersiap mengantar gadis itu.
"Yakin lo, nggak perlu kita ikutin kayak kemarin?" tawar Serra untuk kedua kalinya. "Gue nggak mau, tiba-tiba lo suruh ke Gandaria waktu gue udah balik ke rumah."
Acha memutar bola matanya dengan malas. "Yakin! Ya udah, lo pulang sana. Entar kabarin kalau kalian berdua udah sampai rumah."
"Kamu juga jangan matikan hapemu, ya. Kalau udah sampe sana, chat di grup aja," pesan Maya.
Selanjutnya, Acha mulai memasuki mobil dan membiarkan kedua temannya berdiri di samping mobil. Setelah mobil Acha keluar dari garasi, barulah Serra dan Maya menaiki motor Serra untuk kembali ke rumah. Sebenarnya mereka hendak mengikuti Acha diam-diam untuk memastikan gadis itu aman, tetapi mereka urungkan karena mungkin Acha akan risi. Mereka juga tidak mau mengusik privasinya.
***
Acha merutuki dirinya sendiri karena tidak pandai mengontrol emosi. Padahal tadi ia sudah sedikit tenang, tetapi sesampainya di Gandaria City, ia kembali berdegup kencang. Untuk menghilangkan rasa gugup, ia berniat jalan-jalan terlebih dahulu. Toh, saat ini masih pukul sebelas, Acha datang satu jam lebih awal. Tidak lupa ia mengirim pesan kepada temannya dulu.
Acha memasuki beberapa toko pakaian lalu melihat puluhan pakaian yang dipajang di etalase. Sayang sekali Serra dan Maya tidak ikut serta. Jika mereka ikut, mungkin suasananya akan lebih seru. Ya, Acha agak menyesal karena tidak membiarkan Serra dan Maya ikut. Acha hanya tidak mau merepotkan mereka. Toh, mereka sudah menemaninya sewaktu ia bertemu Bagas.
Ngomong-ngomong soal Bagas, mereka sudah jarang mengirim pesan. Itu karena Acha sedikit memberi jarak. Bukan terlalu pede, tetapi Acha merasa Bagas sedikit menyukainya. Sehingga ia harus menjauh agar tidak dianggap memberi harapan pada laki-laki itu. Lagi pula, ia tidak lagi ingin menggunakan bantuan pria asing untuk berdekatan dengan Al. Ia akan mencoba menggunakan caranya sendiri.
Tririring! Saat asyik memilih baju, ponsel Acha bergetar diiringi ringtone yang sedikit asing. Ternyata seseorang meneleponnya melalui fitur telepon di Instagram. Pantas saja ringtone-nya asing di telinganya. Tetapi saat membaca namanya, jantung Acha kembali berdegup. Kali ini tangannya ikut bergetar ketika memegang ponselnya. Ia berdeham pelan lalu pelan-pelan menekan tombol hijau.
"Ha-halo ...?" Acha rasanya ingin menjerit sekarang. Bisa-bisanya suaranya tiba-tiba serak saat mendapat telepon dari Al.
"Halo. Lo udah di Gandaria belum?" tanya Al dari seberang telepon.
Acha tidak menyangka, selain memiliki wajah tampan, suara Al pun sama tampannya.
"Heh, udah sampai belum?" tanya Al mengulangi pertanyaannya.
Acha langsung melihat jam tangannya. Rupanya karena keasyikan, ia tidak menyadari jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Dalam hatinya, ia mengucapkan berbagai kalimat pedas untuk dirinya. "Aduh, sorry, gue nggak lihat jam. Tapi gue udah di sini kok! Lo di mana?"
"Depan H&M bisa?" tanya Al.
"Bisa kok, bisa! Gue ke sana sekarang!" jawab Acha antusias.
"Jangan cari gue, ya. Lo cari aja ibu-ibu pake gaun warna merah, rambutnya disemir coklat. Makasih." Al buru-buru menutup panggilan tanpa berniat mendengarkan balasan Acha.
Mata Acha langsung melotot. Ia tidak salah dengar, kan? Barusan Al menyuruhnya bertemu seorang wanita. Apa ia sedang ditipu atau bagaimana? Karena sedang bingung, Acha mencoba menelepon Al tetapi tidak perlu waktu lama, Al langsung mematikan panggilannya. Acha semakin bingung dan panik.
"Anjir, ini apaan sih? Kok gue jadi ketemu ibu-ibu?" Meski begitu, Acha tetap mendengarkan perintah Al. Kakinya berjalan menuju H&M—toko yang jaraknya tidak jauh dari tempat ia berdiri. Tiba-tiba, bunyi notifikasi terdengar. Acha melihat DM yang Al kirim padanya.
[al_ardonio]
[Lo nggak salah denger. COD-nya bukan sama gue.]
Acha melotot. Sungguh, ia benar-benar merasa ditipu sekarang. Setelah sampai di H&M, Acha melihat seorang perempuan paruh baya yang ciri-cirinya persis seperti perkataan Al. Wanita cantik itu berdiri sambil menengok ke sana ke mari. Acha jadi yakin wanita itu memang yang disebutkan Al.
Dengan satu tarikan napas, Acha berjalan pelan menghampiri wanita itu. Meski dengan perasaan yang sangat dongkol, Acha tetap memasang senyum manis.
Acha mendekati wanita paruh baya itu dengan pelan-pelan. Awalnya wanita itu menatap Acha dengan bingung, tetapi akhirnya seulas senyum menempel di bibirnya. Acha semakin tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia ingin membuka pembicaraan tetapi lidahnya terasa kelu.
"Khansa Ar—emm ...." Wanita itu tampak berpikir sejenak untuk menyebut nama Acha.
"Khansa Aria Medina, Tante." Acha memasang senyum yang terlihat ramah. Padahal dalam hatinya, ia sedang mempertanyakan siapa wanita itu dan di mana Al sebenarnya. "Itu saya kok."
"Ah, begitu!" Wanita itu terkekeh pelan. Lalu, ia memberikan sekantong plastik berisi kue-kue pesanan Acha dari tangannya. "Aduh, kamu cantik sekali ya. Kalau begitu, harusnya Tante dandan dulu biar nggak jomplang, hehe."
Acha bingung menanggapinya bagaimana. Alhasil, ia hanya menerima kantong plastik itu lalu menukarkannya dengan uang tunai. Selanjutnya, Acha hendak berpamitan, tetapi wanita yang merupakan ibu kandung Al itu tiba-tiba memegang perutnya. Acha langsung memegangi tubuhnya—untuk berjaga-jaga apabila Marlina kehilangan keseimbangan.
"Ta-Tante nggak apa-apa?" tanya Acha sedikit khawatir. "Kok tiba-tiba pegang perut? Kesakitan?"
Marlina tersenyum canggung. "Tante tiba-tiba laper, apalagi ini udah jam makan siang. Tante mau cari makan, kamu ikut ya?"
Acha tampak kikuk dibuatnya. Ia ingin menolak karena bagaimanapun tidak nyaman bila makan bersama orang asing. Tetapi Acha juga tidak mungkin menolak ajakannya. Selain karena ia penasaran dengan identitas Marlina, Acha juga tak tega membiarkan Marlina makan siang sendiri.
"Tante bukan orang yang aneh-aneh. Kalau kamu nggak nyaman, kamu—"
"Eh, saya mau kok, Tan! Kebetulan lagi jam makan siang, sekalian makan sama saya aja." Buru-buru Acha mengiyakan ajakan Marlina tanpa pikir panjang lagi.
***
Di sebuah kamar yang tidak terlalu besar dengan pendingin ruangan yang sudah menyala selama dua jam, Al duduk di meja belajarnya. Di depannya ada komputer yang menyala dan menampilkan sebuah permainan. Tangan kanannya sibuk menggerakkan tetikus sementara matanya sangat fokus sehingga tanpa sadar, Al mengerutkan alisnya.
"Terus—terus! Eh, lo ke sana! Jagain sebelah sana! Yes—dikit lagi. Yessssss, menang!" Begitulah ocehan Al terdengar di seluruh penjuru kamar. Setelah beberapa kali memenangkan permainan, Al memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia mematikan segala perangkat komputernya lalu merebahkan dirinya di atas kasur. Ia memejamkan mata dan pikirannya langsung tertuju pada Marlina dan Acha. Keduanya sedang bertemu hari ini. Al yakin, Acha akan merasa dongkol karena tidak bisa bertemu dengannya. Ya, Al sengaja meminta tolong Marlina untuk menggantikannya.
Flashback on.
"Bunda," panggil Al. Dari tadi, otaknya sedang menyiapkan kalimat yang pas untuk dilontarkan.
Marlina langsung menoleh. Ia menghentikan aktivitasnya sejenak sembari melihat putranya yang berdiri di dekat pintu dapur. "Kenapa, Sayang?"
"Bunda keberatan nggak, kalau Bunda yang COD sama pembeli?" tanya Al pelan. "Al cuma tanya, Bun. Kalau Bunda keberatan, biar Al aja yang COD."
Meski begitu, dalam hatinya, Al berharap Marlina menyetujui permintaannya itu. Al tahu selama ini Marlina sudah kecapekan membuat kue, tetapi ia juga tidak ingin bertemu Acha. Al sudah membayangkan apabila ia bertemu Acha. Gadis itu pasti berteriak-teriak lalu berceloteh yang membuat Al tidak paham. Baru membayangkannya saja sudah membuatnya pusing.
"Boleh, biar Bunda aja yang ketemu. Sekalian Bunda juga mau jalan-jalan."
Mata Al langsung berbinar. "Beneran, Bun? Bunda nggak kecapekan?"
Marlina mendengus geli. "Iya, lagian nggak sekali dua kali kamu kayak gini. Jadi, nggak usah ngerasa nggak enak."
Al terkekeh. Memang bukan sekali dua kali ia meminta ibunya untuk menggantikannya bertemu pembeli. Karena perempuan seperti Acha tidak hanya satu di dunia ini.
Flashback off.
Begitulah yang membuat Al tidak jadi bertemu Acha. Al tidak bermaksud membuat Acha kecewa. Jika Acha memang kecewa, berarti Acha yang salah karena memiliki ekspektasi tinggi. Toh, jika niatnya memang membeli kue, Acha seharusnya tidak mempermasalahkan siapa yang akan ia temui.
Al merasa puas sekarang. Ia hanya berharap Acha berhenti mengejarnya. Tidak hanya Acha, melainkan perempuan-perempuan lain di luar sana.
***
"J-jadi, Tante ini ibunya Al?!" Acha menatap Marlina dengan tidak percaya. Ia merasa bodoh karena tidak mengenali Marlina sebagai ibu Al. Ya, kalau dilihat-lihat, wajah Al dan Marlina memang sedikit mirip. Hanya otak Acha saja yang sangat lemot sehingga tidak menyadari bahwa keduanya memiliki hubungan darah.
Setelah mengetahui fakta itu, Acha mulai memutar otak. Ia berusaha mencari berbagai topik agar acara makan siang mereka tidak berlangsung canggung. Marlina yang notabenenya sangat ramah pun dengan senang hati menanggapinya. Mereka mengobrol hingga pesanan makanannya datang.
"Kamu teman sekolah Al atau bukan?" tanya Marlina sambil mengambil spaghetti-nya dengan garpu.
"Bukan, Tante. Acha tahu Al dari TikTok Bagas. Eh, Tante tahu TikTok nggak ya?" Acha melihat anggukan Marlina, lalu melanjutkan kalimatnya. "Nah, Acha tahu dari situ.Terus Acha lihat Al jualan kue, makanya Acha mutusin buat beli. Acha emang suka kue, Tan. Biasanya Acha juga bikin kue kering."
"Kamu juga bikin kue?" Marlina menatap Acha dengan takjub.
Acha terkekeh pelan. Lalu, ia menjawab dengan antusias. "Iya, Tan! Yang paling sering Acha bikin lidah kucing sama cookies coklat. Kalau nastar tuh, biasanya waktu lebaran aja. Lagian susah banget bikinnya."
Acha tidak sepenuhnya berbohong soal membuat kue. Ia memang membuat kue, tetapi tidak sesering itu. Mungkin setahun hanya sekitar dua hingga tiga kali saja.
"Bener, nastar emang susah, tapi itu kesukaan Tante loh. Mungkin kita bisa bikin kue bareng? Ya, itu kalau kamu nggak keberatan. Toh, kita juga satu kota," tawar Marlina.
Acha langsung menatap Marlina dengan tidak percaya. Ia mengulangi kalimat Marlina dalam otaknya untuk memastikan ia tidak salah dengar. Acha benar-benar tidak menyangka akan mendapat lampu hijau di pertemuan pertama mereka.
"I-ini serius, Tan?" Lidah Acha sedikit bergetar. Ia menghentikan aktivitas makannya sejenak.
"Iya dong! Tante nggak punya saudara atau teman yang suka bikin kue. Padahal tante juga pengen bikin kue bareng sama orang lain. Kita bisa tukar nomor WhatsApp dulu aja." Marlina mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, kemudian menyodorkannya pada Acha.
Dengan cepat, Acha mengetikkan nama dan nomor teleponnya pada aplikasi WhatsApp. Otaknya memikirkan berbagai skenario kemungkinan yang terjadi di rumah Marlina nanti. Misalnya, Al yang mencoba kue buatan Acha dan Marlina, lalu Al mulai jatuh cinta karena kue buatan Acha sangat enak. Sedikit alay tapi ada kemungkinan terjadi, bukan? Ya, intinya, Acha tidak sabar dengan hal itu.
Setelah selesai makan, Acha berinisiatif mengantar Marlina menuju parkiran. Sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Acha. Rupanya Marlina tidak membawa mobil sendiri. Beliau dijemput Al di parkiran. Acha tidak mengira ia akan bertemu Al secepat ini. Toh, tadinya ia pikir ia akan bertemu Al di rumah Marlina nanti.
'Mampus, mampus, mampus! Itu Al! Kyaaa! Oke, lo kudu stay calm,' batin Acha. Ia bisa melihat Al yang berdiri di samping mobil dengan menggunakan masker hitam. Matanya terus menatap Al sementara Al sama sekali tidak berniat menatapnya. Ia sibuk dengan ponselnya sendiri.
"Makasih banyak udah beli kuenya Tante," tutur Marlina. "Kalau Tante lagi senggang, kita bikin kue bareng ya."
"I-iya, Tante! Kalau bikin bareng Acha, dijamin bakal enak dan nggak gagal." Acha mengangkat jempolnya. Tak lupa, menyengir lebar agar Marlina semakin yakin untuk mengajaknya membuat kue.
Marlina tertawa lebar. Lalu, ia melambaikan tangannya. "Kalau gitu, Tante pamit dulu ya. Hati-hati di jalan."
Acha berdiri menunggu Marlina memasuki mobilnya. Tetapi hingga keduanya memasuki mobil, Al sama sekali tidak melihat dirinya. Ia sedikit kecewa. Ia ingin menyapa duluan, tetapi sepertinya Al tidak akan meresponsnya. Lalu, Acha memutuskan berbelanja di mal ini. Ia akan membeli beberapa bahan kue dan mencoba berlatih membuat kue kering di rumah nanti. Ia harus memastikan kue buatannya enak di mata Al.