Korban Virtual Check!

Korban Virtual Check!

Gila, Ganteng Banget!

Tangan Acha asyik menggulir layar ke atas untuk melihat video-video lucu di aplikasi TikTok. Zaman sekarang, hampir semua orang—dari anak SD hingga orang dewasa—mempunyai akun TikTok untuk menghibur mereka. Kalau kata beberapa remaja sih, mereka lebih memilih untuk menonton video TikTok ketimbang melihat postingan Instagram. Ya, itu karena TikTok memiliki banyak hiburan yang bisa mencerahkan pikiran dari sibuknya dunia nyata.

Seperti yang dilakukan Acha, ia sedang mencari hiburan di tengah pembelajaran yang cukup membosankan. Tidak peduli penjelasan guru, yang terpenting ia bisa melihat jajaran cowok-cowok ganteng di TikTok itu.

Tiba saatnya, ia melihat sebuah video dengan dua laki-laki berwajah tampan. Yang satu duduk di belakang sambil memainkan ponselnya, yang satunya lagi sedang lipsync lagu dari TikTok. Tetapi yang menarik perhatian Acha justru laki-laki di belakang.

"Gila, ganteng banget!" bisiknya pada diri sendiri.

Maya—teman sebangku sekaligus sahabat Acha—langsung berbisik pelan. "Cha, kamu ngapain?"

"Cuci mata," jawabnya enteng.

Maya menatap Acha dengan lelah. Sahabatnya itu tidak takut ditegur guru. "Awas ditegur Bu Lena, galaknya nggak main-main, loh."

Untuk kalimat yang satu ini, Maya melontarkannya dengan cukup serius. Memang guru yang berada di depan papan tulis itu adalah guru paling galak di SMA Harapan Bangsa. Tetapi sifat yang galak dan disiplin tetap tidak membuat Acha mematikan ponselnya. Seakan Acha tidak memiliki rasa takut.

Gadis itu justru sedang mencari username Instagram milik laki-laki yang tadi menarik perhatiannya. Hanya bermodalkan satu ponsel dan lima menit, Acha berhasil menemukan Instagram-nya. Inilah alasan Acha mendapat julukan konyol dari teman-temannya, yaitu the Girl with Magic Hand. Kemampuan stalking-nya tidak main-main.

Acha melihat nama panjang yang tertera pada profil Instagram. Alister Edward Ardonio. 'Gue tandain lo!' batinnya.

"Khansa Aria Medina!"

Acha langsung terdiam di tempat. Ditutupnya ponselnya pelan-pelan lalu dimasukkan ke dalam saku. Matanya langsung fokus menatap buku pelajaran, sesekali ia membolak-balik kertasnya.

"Cha, udah aku bilangin, kan?" kata Maya sambil mendengus.

"Khansa?" panggil Bu Lena sekali lagi.

Acha langsung menatap ke depan. Tidak baik jika dipanggil Bu Lena tetapi matanya masih tertuju ke arah buku. Acha tahu betul karakter Bu Lena. Selain galak, beliau juga sangat sensitif. Apa saja yang dilakukan murid, jika menurutnya tidak cocok, beliau akan memarahinya.

"Kamu dengar penjelasan saya tadi?" tanya Bu Lena.

Jelas jawaban Acha adalah tidak. Bu Lena sudah mengajar selama empat puluh menit dan selama itu pula, Acha tidak mendengarkan penjelasannya sama sekali.

"Ti-tidak, Bu," jawab Acha sambil merutuki kebodohannya. Biasanya ia tidak pernah kena tegur ketika bermain ponsel, tetapi kali ini ... sepertinya Acha sedang kena sial.

Bu Lena menghela napas lalu menunjuk ke arah pintu. "Tahu konsekuensi ketika main hape di jam saya, kan?"

Acha mengangguk pelan lalu berjalan keluar kelas. Ia tahu betul apa yang diminta Bu Lena. Kalau ada siswa yang ketahuan tidur atau bermain ponsel di jam mengajar, maka siswa itu wajib membuat resensi buku di perpustakaan. Itu sebabnya kini Acha berada di perpustakaan dengan satu buku di tangannya.

'Masa bodoh soal resensi, gue bakal stalking itu cowok,' batin Acha.

"What the f—astaga, Acha, tobat ngomong kasar. Aaaa, tapi dia ganteng banget!" oceh Acha sambil memberikan hati pada postingan Al. "Gimana, nih? Kayaknya gue beneran suka, deh."

Wajah mulus nan tampan ditambah proporsi tubuh yang ideal membuat Acha klepek-klepek dibuatnya. Ingin sekali Acha memeluk cowok itu sekarang juga. Lalu, Acha membuka tombol pesan dan memikirkan sesuatu yang hendak ia kirim melalui DM kepada Al.

[khansa.achaa]

[Hai!]

"Perfect!"

***

Bruk!

Al melempar tas sekolahnya ke jok motor besarnya. Pulang sekolah ini, harusnya ia memiliki mood bagus karena usainya aktivitas sekolah yang sangat melelahkan. Tetapi banjiran DM Instagram yang tidak berhenti sejak kemarin membuat kesal sendiri. Wajahnya menahan amarah dengan ponsel di tangannya. Bisa saja ia menyalakan tombol mute dan tidak perlu membaca seluruh isi DM, tetapi ada satu hal yang membuat Al tidak bisa melakukannya.

"Woi, lo mau pulang atau nyari rusuh?" tanya Bagas—sahabat Al. Motornya berada di samping Al sehingga tiap pulang sekolah, ia ikut bersama menuju tempat parkir.

"Gara-gara lo!" hardik Al.

Bagas mengerutkan kening—merasa heran. "Maksud lo?"

"Gue udah bilang kalau gue nggak mau ikutan bikin TikTok. Termasuk nggak mau nyempil di TikTok lo." Al memberikan tekanan pada setiap kata yang dilontarkan.

"Nyempil?" Bagas segera membuka ponsel dan aplikasi TikTok. Lalu, dicarinya video yang dimaksud Al. Rupanya ia pernah membuat video dan tidak menyadari ada Al di belakangnya. Dan, berakhir dengan viralnya video itu. "Anjir, TikTok gue dapet jutaan views!"

"Asal lo tahu, DM gue rame banget. Gue jadi nggak bisa bedain mana yang mau beli kue dan mana yang mau modus," jelas Al kesal.

Bunda Al memang berjualan berbagai macam kue kering dan Al mempromosikan jualan Bundanya pada Instagram-nya. Biasanya, pembeli memesan kue kering melalui DM Instagram Al atau WhatsApp Bunda Al.

Bagas terkekeh. Melihat wajah orang marah menjadi hiburan tersendiri bagi Bagas. Mungkin itu sebabnya Bagas memiliki sifat yang usil. Tetapi di lubuk hatinya terdapat sedikit rasa heran karena netizen berhasil menemukan akun Instagram sahabatnya. "Coba gue lihat Instagram lo. Gini-gini, gue bisa bedain mana yang beneran beli dan mana yang modus. Entar yang modus, biar gue hapus."

"Dih, nggak usah alasan lo! Gue tahu, lo pasti ngincer cewek cantik, kan? Nggak cukup ribuan cewek di Instagram lo?" Al menyindir Bagas dengan sinis.

Bagas hanya menyengir. Pada akhirnya, Al memberikan ponselnya pada Bagas. Sembari menunggu Bagas menghapus beberapa DM yang mengganggu, Al memundurkan motornya lalu naik ke atas jok.

"Gila, gila, gila! Banyak banget yang nggak lo balesin. Sumpah, gue greget pengen balesin."

Sontak, Al melotot. Diambilnya kembali ponselnya itu. Jangan sampai Bagas melakukan hal-hal kurang ajar yang menggunakan akunnya.

Bagas menyengir geli. "Bercanda, Al. Itu baru lima yang gue hapus. Pinjem lagi, dong."

Al menghela napas. Ia turun dari motornya lalu menurunkan standar. Al kembali memberikan ponselnya pada Bagas. Tetapi kali ini, ia ikut mengawasi agar sahabatnya tidak macam-macam. Ia paham karakteristik Bagas yang genit terhadap perempuan.

Bagas kembali melihat isi DM lalu membuka sebuah profil seorang perempuan. "Cantik banget ... Khansa Aria Medina?" gumamnya.

"Ngapain lo buka profil?" tanya Al heran. Matanya langsung melotot saat melihat Bagas menekan tombol accept. "Ehhh, ngapain lo accept request DM-nya?!"

"Kayaknya dia mau beli tuh," jawab Bagas setelah ponsel di tangannya direbut Al lagi.

Al mendengus kesal. "Kalau mau beli mah nggak usah say hi. Kalau beneran niat, pasti langsung ke intinya."

"Iyain. Pinjem lagi, gue belum hapal username-nya dia, mau gue follow." Bagas menyengir geli.

Al tidak mendengarkan ucapan Bagas. Ia kembali naik motor dan menyalakan mesin. Lalu, ia menyimpan ponselnya ke dalam saku dan mulai menjalankan motornya.

"AL! BALES CHAT-NYA, WOI! AWAS KALAU LO BACA DOANG!"

Ia bisa mendengar suara Bagas yang berteriak memanggilnya. Biarkan saja Bagas berteriak, Al sudah cukup lelah menghadapinya.

***

Ritual mandi Acha selalu dimulai pukul enam malam dan diakhiri pukul enam lebih lima belas menit. Karena hari ini rumahnya kedatangan Serra dan Maya, maka Acha buru-buru menyelesaikan ritual mandinya dan segera keluar dari kamar. Beruntung kamar tidurnya memiliki fasilitas kamar mandi pribadi, sehingga Acha tidak perlu menggunakan kamar mandi di lantai satu.

"Hape lo masih belum penuh? Hape gue lowbatt nih, nggak bawa charger," kata Serra. Ia juga salah satu sahabat Acha.

Acha yang sedang mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk lantas menyuruh Maya untuk mengecek baterai ponselnya. "May, tolong cek baterai gue, dong. Gue mau sisiran, nih."

Maya segera menyalakan ponsel Acha. Setelah dinyalakan, rupanya ponsel Acha banjir notifikasi dari berbagai aplikasi. Tetapi ada satu notifikasi yang membuat Maya agak penasaran.

"Alister Edward Ardonio? Hayooo ... kamu lagi deket sama cowok lagi, ya? Yang Febrian itu mau ditaruh di mana?" goda Maya cekikikan.

"Lo pikir Febrian barang apa? Lagian, lo kayak nggak tahu Acha aja, May. Dia kan playgirl cap kakap," kata Serra menyindir. Memang Serra terkenal dengan kalimatnya yang jujur dan blak-blakan.

"Gue anggep itu pujian," ujar Acha yang berusaha sabar menghadapi Serra. "Tunggu ... lo bilang apa tadi, May? Alister Edward Ardonio?" Otak Acha berusaha mencerna kalimat Maya tadi.

Maya mengangguk pelan. Sedetik kemudian, Acha berlari mendekatinya dan segera merebut ponsel yang masih tertancap kabel charger. Agak terkejut tetapi Maya masih maklum karena Acha memang sangat heboh.

"AAAAAA!" teriak Acha kesenangan. "Woi, DM gue dibales! Aduh, bentar lagi jadian kali ya? Entar gue ngadain anniversary di mana, ya? Terus gue enaknya pakai dress selutut atau panjang?"

Serra dan Maya yang tidak mengerti keadaan hanya bisa saling menatap. Kemudian karena penasaran, mereka pun melihat layar ponsel Acha.

"Nih, Guys, gue nemu cowok yang ganteng banget. Terus gue iseng kirim DM ke dia, eh dibales dong!" pekik Acha. "Kayaknya dia ngerasa gue cantik banget, makanya dia bales."

"Modal cantik doang bisa bangga, ya?" sindir Serra.

Acha mendengus kesal. "Ye, sialan lo!"

"Lihatin postingannya dong, Cha," pinta Maya.

Lalu, Acha membuka profil Instagram Al dan menekan postingan satu-satunya itu. Kemudian, terdengar tawa terbahak-bahak yang berhasil membuat Acha kebingungan.

"Lo bilang cowok modelan begini bales chat lo?" tanya Serra yang masih tertawa. "Yang bales temennya pasti, seratus persen gue yakin."

Acha memutar bola matanya dengan malas—berusaha untuk tidak termakan kalimat Serra. "Julid tanda iri."

"Cowok kayak gitu biasanya tipe-tipe yang dingin, Cha. Dia nggak mungkin bales DM apalagi ke orang yang nggak dikenal. Mungkin itu temennya kali?" Maya memberikan pendapat.

Serra membenarkan pendapat Maya sambil melirik ke arah Acha yang tampak masa bodoh. "Bener, palingan temennya yang bales, terus sengaja pendek-pendek biar kelihatan cool. Mau taruhan?"

Acha tetap pada pendiriannya. Ia yakin yang membalas DM-nya ini adalah Al sendiri. Lagi pula, kalau memang Al adalah tipe yang dingin, bukannya biasanya tidak mengizinkan orang lain menyentuh barang pribadi—terutama ponsel yang menyangkut hal privasi?

"Oke, gue bakal buktiin kalau memang itu dia sendiri yang ngetik," kata Acha dengan mantap.

Serra menyengir. "Yang kalah, hukumannya wajib beliin gue sama Maya baju di Zara atau Bershka."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!