Di tengah hujan deras yang mengguyur jalanan kota, Kinanti menemukan seorang anak kecil yang tersesat. Dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan, anak itu tampak sangat membutuhkan bantuan. Tak lama kemudian, ayah dari anak itu muncul dan berterima kasih atas pertolongan yang ia berikan.
Meskipun pertemuan itu sederhana, tidak ada yang tahu bahwa itu adalah awal dari sebuah kisah yang akan mengubah hidup mereka berdua. Sebuah pertemuan yang membawa cinta dan harapan baru, yang muncul di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rhtlun_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6
Di sinilah Julian berada, di ruang kantornya yang luas dan berkelas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan laporan yang menuntut perhatian penuh.
Kesibukannya di kantor seolah tak pernah berakhir, dengan berbagai tanggung jawab yang harus ia selesaikan sebagai pemimpin perusahaan. Namun, pikirannya masih tertinggal di rumah, memikirkan wajah ceria Kenzo.
Ketukan pintu yang tiba-tiba terdengar membuyarkan konsentrasinya. Julian menghela napas dan melirik ke arah pintu.
"Masuk." Ucapnya singkat, matanya kembali tertuju pada dokumen di depannya.
Pintu terbuka perlahan, dan seorang wanita masuk dengan langkah anggun. Rambutnya yang panjang tergerai rapi, dan wajahnya dipulas dengan riasan tipis yang mempertegas kecantikannya.
Wanita itu adalah Hanah, seseorang yang sangat dikenal Julian, namun tidak dengan cara yang menyenangkan.
"Julian." Sapa Hanah dengan suara lembut namun penuh maksud, senyuman manis terlukis di bibirnya.
Julian mendongak dan matanya langsung menyipit melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Hanah adalah wanita yang pernah dijodohkan oleh ibunya dengannya, sebuah upaya yang sejak awal sudah ditolak mentah-mentah oleh Julian.
Namun, Hanah tampaknya tidak pernah menyerah. Ia selalu saja menemukan alasan untuk datang dan mendekatinya, seolah tidak ada habisnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Hanah?" Tanya Julian dengan nada datar, mencoba menahan rasa muaknya.
Hanah berjalan mendekat, meletakkan kotak makan siang yang dibawanya di meja Julian.
"Aku hanya ingin memberikan makan siang untukmu." Jawabnya dengan nada manja, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa dan wajar.
Julian mendesah, memalingkan wajah sejenak untuk menenangkan dirinya.
"Aku tidak butuh itu." Jawabnya tegas.
"Dan aku tidak punya waktu untuk ini. Aku sedang sibuk, Hanah."
Namun, Hanah tidak menyerah begitu saja. Ia duduk di kursi di depan meja Julian, menyilangkan kakinya dengan elegan.
"Julian, kamu tidak bisa terus seperti ini. Aku hanya ingin membantu, tidak lebih." Katanya dengan nada yang dibuat sehalus mungkin.
Julian menatap Hanah dengan tajam. "Aku sudah bilang dari awal, aku tidak tertarik dengan apa pun yang kamu tawarkan, Hanah. Tolong jangan ganggu aku saat bekerja."
Hanah tersenyum kecil, seolah-olah tidak mendengar apa yang dikatakan Julian.
"Aku hanya ingin memastikan kamu makan dengan baik. Bukankah itu hal yang baik?"
Julian berdiri, menunjukkan ketidaksabaran yang mulai memuncak.
"Aku menghargai perhatianmu, tapi aku tidak memerlukannya. Dan aku tidak ingin kamu datang ke sini tanpa alasan yang jelas."
Hanah tetap duduk dengan santai, matanya menatap Julian dengan tatapan penuh arti.
"Julian, aku tahu ini mungkin sulit untukmu, tetapi aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupmu. Kenapa kamu tidak memberi aku kesempatan?"
Julian mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya.
"Hanah, aku sudah memberikan jawabanku berkali-kali. Aku tidak ingin menjalin hubungan denganmu, dan aku berharap kamu bisa menghormati keputusan itu."
Hanah akhirnya berdiri, tetapi bukannya menyerah, ia malah mendekati Julian lebih dekat.
"Aku bisa menjadi ibu yang baik untuk Kenzo Julian. Anak itu membutuhkan sosok seorang ibu di dalam hidupnya."
Julian menatap Hanah dengan tajam, ia merasa tidak nyaman dengan pernyataan itu.
"Hanah, aku sudah bilang sejak awal, aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan denganmu. Dan aku tidak membutuhkanmu untuk menjadi ibu bagi Kenzo."
Hanah tertawa kecil, meskipun senyumnya kini mulai memudar. "Oh, Julian, aku hanya khawatir. Kamu tahu betapa aku peduli pada kalian berdua."
Julian berdiri, tatapannya tetap tajam. "Aku menghargai perhatianmu, tapi aku sudah memutuskan. Tolong hargai keputusan itu dan jangan datang ke sini tanpa alasan yang jelas."
Hanah tetap duduk dengan tenang, tidak terpengaruh oleh penolakan Julian. "Aku hanya ingin memastikan kamu tahu bahwa aku ada untukmu. Kenzo bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu, dan aku bisa memberikan itu."
Julian menggelengkan kepala, merasa lelah dengan pembicaraan ini. "Hanah, aku tidak ingin membicarakan hal ini lagi. Tolong pergi, aku perlu menyelesaikan pekerjaanku."
Hanah akhirnya berdiri, namun tetap mencoba tersenyum. "Baiklah, Julian. Aku akan pergi sekarang. Tapi ingat, aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu dan Kenzo."
Hanah berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Julian yang kembali duduk dengan berat hati. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup, merasa lega dengan kepergian Hanah.
Pikirannya kembali terfokus pada tugas-tugasnya, meskipun ia tahu bahwa ini bukan akhir dari usaha Hanah untuk mendekatinya.
Julian menatap kotak makan siang yang ditinggalkan Hanah, lalu menggesernya ke sisi meja. Ia tidak ingin terpengaruh oleh kehadiran wanita itu. Baginya, fokus utamanya adalah Kenzo dan kesejahteraan anaknya. Hanah mungkin memiliki niat baik, tetapi Julian tahu bahwa perasaan dan keputusannya tidak bisa dipaksakan.
Dalam diam, Julian bertekad untuk menjaga jarak dari Hanah dan memastikan bahwa kehidupannya tetap berjalan sesuai dengan keinginannya. Kenzo adalah prioritasnya, dan Julian ingin memastikan bahwa putranya mendapatkan kebahagiaan yang layak, tanpa campur tangan yang tidak diinginkan.
Julian duduk kembali di kursinya, mencoba menenangkan pikirannya yang sedikit terganggu oleh kehadiran Hanah. Ia mengalihkan perhatiannya kembali pada tumpukan berkas yang harus diselesaikan.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Ponsel di mejanya bergetar, menampilkan nama ibunya di layar. Julian menarik napas panjang sebelum mengangkat telepon itu.
"Halo, Ma." Sapanya dengan nada netral.
"Julian! Apa yang kamu lakukan dengan mengusir Hanah tadi?" Suara Marta terdengar tegas, penuh dengan nada ketidaksetujuan.
Julian memejamkan mata sejenak, berusaha menahan rasa frustrasi yang mulai naik. "Ma, aku sedang bekerja. Kita bisa membicarakan tentang hal ini nanti."
"Tidak, Julian. Ini penting. Hanah datang ke kantormu untuk menunjukkan perhatiannya, dan kamu malah mengusirnya? Itu tidak sopan Julian." Suara Marta semakin meninggi.
"Ma, aku sudah berkali-kali bilang, aku tidak tertarik dengan Hanah. Aku tidak ingin hubungan apa pun dengannya." Jawab Julian, mencoba tetap tenang.
"Hanah adalah wanita yang baik, Julian. Dia peduli padamu dan Kenzo. Menurut mama, dia bisa menjadi ibu yang baik untuk Kenzo" Marta melanjutkan dengan nada persuasif.
Julian menghela napas dalam-dalam. "Ma, aku tahu Mama memiliki niat baik, tapi aku yang menjalani hidupku. Aku yang tahu apa yang terbaik untukku dan Kenzo. Aku minta tolong, stop menjodohkanku dengan Hanah."
"Tapi, Julian—"
"Mama..." Julian memotong ucapan Mama dengan suara tegas namun tetap hormat.
"Aku mohon, hargai keputusanku. Aku tidak menyukai Hanah, dan aku tidak akan pernah berubah pikiran tentang itu. Aku ingin Mama berhenti mendorongku ke arah yang tidak aku inginkan."
Ada keheningan sejenak di ujung telepon. Julian bisa merasakan Mama sedang berusaha menenangkan diri.
"Julian, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu dan Kenzo." Akhirnya Marta berkata dengan nada lebih lembut.
"Aku mengerti, Ma. Tapi yang terbaik untuk kami adalah aku yang menentukan. Aku harap Mama bisa menghormati itu." Julian menambahkan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
Marta menghela napas panjang mencoba untuk mengerti. "Baiklah, Julian. Mama akan mencoba menghormati keputusanmu, meski Mama tetap merasa Hanah adalah pilihan yang baik."
"Terima kasih, Ma." Julian menjawab dengan lega.
"Aku harus kembali bekerja sekarang."
"Baiklah, Julian. Mama hanya ingin kamu bahagia." Marta menutup percakapan dengan nada yang masih sedikit kecewa.
"Terima kasih, Ma. Aku juga ingin Mama bahagia." Julian menutup telepon dan meletakkannya kembali di meja.
Julian kembali bersandar di kursinya, mencoba menenangkan pikirannya yang masih sedikit terganggu oleh percakapan barusan.
Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik untuknya, tetapi Julian juga sadar bahwa ia yang harus mengambil kendali atas hidupnya.
Pikirannya kembali kepada Kenzo dan Kinanti di rumah. Bagi Julian, yang terpenting saat ini adalah memastikan Kenzo tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan kebahagiaan.
Kehadiran Kinanti yang telah mampu membuat Kenzo tersenyum lagi memberikan harapan baru bagi Julian, dan itu lebih berarti daripada apa pun yang bisa ditawarkan oleh Hanah.
Julian menatap tumpukan berkas di hadapannya, merasa lebih mantap dengan keputusannya. Ia tahu bahwa jalan yang ia pilih mungkin tidak mudah, terutama dengan tekanan dari keluarganya, tetapi ia yakin bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat untuk dirinya dan putranya.
Dengan tekad yang lebih kuat, Julian kembali fokus pada pekerjaannya, siap menghadapi tantangan yang ada di depannya dengan penuh keyakinan.