Update Sebulan Sekali (Opsional)
*Author Sedang Melakukan Remake Pada Karya Ini
Local Galactic Group, dimensi yang menjadi ajang panggung pertarungan para dewa dalam siklus pengulangan abadi. Noah, Raja Iblis pertama harus menghadapi rivalitas abadinya, Arata, Dewa Kegilaan akan tetapi ia perlahan menemukan dirinya terjebak dalam kepingan-kepingan ingatan yang hilang bagaikan serpihan kaca.
The LN dewa pembangkang yang telah terusir dari hierarki dewa. Mendapatkan kekuatan [Exchange the Dead] setelah mengalahkan dewa Absurd, memperoleh kitab ilahi Geyna sebagai sumber kekuatan utama.'Exchange the Dead' kemampuan untuk menukar eksistensi dan mencabut jiwa sesuka hati, mampu menukar kematian ribuan kali, menjadikannya praktis tak terkalahkan menguasai kitab ilahi Dathlem sebagai sumber kekuatan tambahan menciptakan makhluk-makhluk rendah dengan satu bakat sihir sebagai perpanjangan kekuasaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Signature Ganda: Ujian Revalon dan Pembelajaran Arata
Saat matahari mulai tenggelam, Dewi Eika bersama keempat maidnya kembali ke kastil. Tangan para maid penuh dengan berbagai pemberian dari penduduk kota—keranjang buah-buahan segar, kain sutra halus, dan berbagai kerajinan tangan yang dibuat dengan penuh dedikasi oleh para manekin.
"Sungguh hari yang menyenangkan," gumam Eika sambil melangkah melalui koridor kastil yang megah. Namun langkahnya terhenti saat mendekati ruang kerjanya. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, dia mendengar suara yang sangat familiar—suaranya sendiri.
"Kau membuat replika dirimu sendiri. Itu adalah bentuk kesombongan tertinggi dalam seni penciptaan manekin. Kau masih belum memahami esensi sejati dari apa yang kuajarkan."
Eika membeku. Keempat maidnya saling berpandangan dengan waspada. Dengan gerakan perlahan, Eika mendorong pintu ruang kerjanya hingga terbuka sepenuhnya.
Di dalam, dia melihat sosok yang identik dengan dirinya sedang berdiri di hadapan Arata yang terduduk lemas. Di lantai berserakan kepingan-kepingan manekin yang tampaknya baru saja dihancurkan. Dari sisa-sisa signature magis yang masih berpendar, Eika bisa melihat bahwa kualitas manekin itu jauh lebih baik dari percobaan Arata sebelumnya.
"Peniru ganda?" tanya Eika dengan suara dingin kepada sosok yang mirip dirinya itu.
Sosok itu berbalik perlahan, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Arata yang tadinya tertunduk langsung mengangkat wajahnya, matanya membelalak melihat ada dua Dewi Eika di hadapannya.
"Apa yang—" kata-kata Arata terputus. Dia memandang bergantian antara kedua sosok yang identik itu, kebingungan terpancar jelas di wajahnya.
Keempat maid Eika segera mengambil posisi defensif, bersiap melindungi tuan mereka yang asli. Ketegangan memenuhi ruangan saat kedua sosok Dewi Eika saling berhadapan, masing-masing memancarkan aura kekuatan yang luar biasa.
"Menarik sekali," sosok yang telah menghancurkan manekin Arata berkata dengan nada geli. "Sepertinya permainan kita baru saja dimulai. Tuan boneka palsu."
Eika yang asli melangkah maju dengan anggun, matanya menatap tajam ke arah sosok duplikatnya. "Palsu, bermain? Aku tidak ingat pernah mengundangmu untuk bermain di wilayahku."
"Ah, tapi bukankah ini menarik?" sosok itu menjawab, berjalan mengelilingi ruangan dengan gerakan yang sama persis seperti Eika. "Seorang Dewi yang mengajari dewa lain membuat manekin, padahal dia sendiri tidak bisa menciptakan jiwa sejati."
Arata bangkit perlahan, matanya masih memandang kedua sosok itu dengan kebingungan. "Dewi Eika..."
"Diam di tempatmu, Arata," kedua Eika berkata bersamaan, membuat situasi semakin membingungkan.
Para maid bergerak dalam formasi yang lebih ketat, mengepung sosok duplikat itu. Signature magis mereka mulai berpendar, siap bertindak melindungi tuan mereka yang asli.
"Kalian pikir bisa menghentikanku?" sosok itu tertawa. Dengan satu gerakan tangannya, udara di sekitar bergetar. "Aku adalah manifestasi dari apa yang kalian semua takutkan—kegagalan dalam penciptaan yang sempurna."
Eika yang asli mengangkat tangannya, menciptakan barrier pelindung di sekeliling Arata. "Jadi kau adalah anomali? Hasil dari signature yang tak sempurna?"
"Aku jauh lebih dari sekadar anomali," sosok itu menyeringai. "Aku adalah evolved—hasil dari ribuan kegagalan yang telah berevolusi menjadi kesempurnaan. Dan sekarang..." dia melirik ke arah serpihan manekin Arata, "aku akan membuktikan bahwa sistemmu sudah usang, Dewi Eika."
Tiba-tiba, serpihan-serpihan manekin yang hancur mulai bergetar, terangkat ke udara dengan sendirinya. Signature magis yang tersisa di serpihan itu berpendar dalam warna yang berbeda—bukan lagi keemasan, melainkan ungu gelap yang mencekam.
"Hentikan!" Eika berseru, menyadari apa yang akan terjadi. "Signature itu masih terhubung dengan energi spiritual Arata!"
Terlambat. Serpihan-serpihan itu mulai menyatu kembali, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Bukan lagi replika Arata, melainkan sosok yang lebih gelap, lebih mengancam. Signature magis ungu itu membentuk jaringan kompleks yang tidak pernah diajarkan Eika pada muridnya.
"Lihat?" sosok duplikat itu berkata puas. "Inilah evolusi sejati dari seni penciptaan manekin. Bukan lagi sekadar boneka yang mengikuti aturan, tapi makhluk yang bisa berkembang sendiri."
Arata merasakan energinya tersedot perlahan ke dalam manekin yang sedang terbentuk itu. Dia jatuh berlutut, napasnya terengah. "Dewi Eika... tolong..."
"Cukup!" Eika yang asli akhirnya bertindak. Dengan gerakan cepat, dia membentuk segel magis kompleks di udara. Keempat maidnya segera bereaksi, masing-masing mengambil posisi di empat penjuru, menciptakan formasi pengunci.
"Kau pikir bisa menghentikanku dengan segel kuno?" sosok duplikat itu mendengus. Namun sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, segel Eika dan para maid mulai bersinar terang, menciptakan kubah cahaya yang mengurung sosok itu beserta manekin yang sedang terbentuk.
"Mungkin kau benar," Eika berkata tegas. "Mungkin sistemku memang perlu berevolusi. Tapi bukan dengan cara seperti ini—bukan dengan mencuri energi spiritual orang lain."
Eika mengangkat tangannya, menghentikan aliran segel magis yang mengurung sosok duplikatnya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, berbeda dengan ekspresi tegang yang ditampilkannya sejak tadi.
"Revalon," Eika menghela napas panjang, "kurasa sudah cukup sandiwaranya."
Sosok duplikat itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya tertawa kecil. Perlahan, ilusi yang membentuk wajah Eika memudar, menampakkan sosok asli Dewi Revalon Tunr—seorang dewi dengan rambut keunguan dan mata violet yang berkilau.
"Kau menyadarinya sejak awal, sahabatku memang hebat. Tidak aku sangka menipu Dewa utama Arata akan semulus ini," kata Revalon masih dengan senyum jahilnya.
"Tentu saja," Eika berjalan mendekati Arata yang masih berlutut lemas. "Signature magismu terlalu khas untuk bisa ditiru. Lagipula, hanya kau yang akan membuat drama sebesar ini hanya untuk menguji muridku."
Arata mengangkat wajahnya, kebingungan masih terpancar jelas di matanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Eika membantu Arata berdiri, tangannya dengan lembut mengalirkan energi untuk memulihkan kekuatan spiritualnya yang terkuras. "Dewi Revalon adalah sahabatku sejak lama. Dia memiliki kebiasaan... unik, untuk menguji setiap murid yang kuambil."
"Dan kau membiarkannya?" tanya Arata, masih tidak percaya dengan situasi yang baru saja dialaminya.
"Maafkan aku, Dewa Arata," Revalon melangkah mendekat, wajahnya kini menunjukkan penyesalan tulus. "Aku mungkin terlalu berlebihan kali ini. Tapi aku harus memastikan bahwa murid Eika memahami esensi sejati dari penciptaan manekin."
"Dengan menghancurkan karyaku dan hampir mengambil energi spiritualku?" Arata bertanya dengan nada getir.
"Revalon," Eika menatap sahabatnya dengan tatapan menegur, "kau memang keterlaluan kali ini. Lihat betapa pucat wajah Dewa Arata."
Revalon mengangguk. "Hanya butuh sedikit penyempurnaan pada aliran energinya. Dan kurasa..." dia melirik Eika, "kau memiliki guru yang tepat untuk membimbingmu mencapai hal itu."
Eika menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya, namun senyum kecil tetap terukir di wajahnya. "Nah, Arata, kurasa cukup untuk hari ini. Istirahatlah. Besok kita akan mulai membuat manekin baru—" dia melirik Revalon dengan tatapan tajam, "—tanpa ada gangguan dari dewi iseng yang suka menyamar."
Revalon mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, tapi tawanya yang renyah memenuhi ruangan. "Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Tapi ingat Arata," dia menatap Dewa Arata itu dengan serius, "kegagalan bukanlah akhir. Justru dari kegagalan itulah kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih indah."
Arata mengangguk, kali ini dengan senyum kecil di wajahnya. Meskipun masih lelah, dia bisa merasakan ada pelajaran berharga di balik ujian tak terduga ini.
Para maid yang sejak tadi tegang akhirnya bisa bernapas lega, kembali ke posisi normal mereka. Saat matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat, ruangan itu dipenuhi cahaya hangat dari lilin-lilin yang menyala dengan sendirinya—signature magis Eika yang lembut menerangi kastil, menandai berakhirnya satu hari yang penuh kejutan.
"Revalon," Eika berkata lembut setelah memastikan Arata telah kembali ke kamarnya untuk beristirahat, "ikutlah denganku ke ruang teh."
Revalon mengikuti langkah Eika dalam diam, menyadari perubahan atmosfer dari sahabatnya. Para maid dengan sigap menyiapkan ruangan pribadi Eika—sebuah ruangan elegant dengan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke taman mawar perak.
Setelah teh dituang dan para maid undur diri, Eika menatap tajam ke arah Revalon. "Kau bisa saja terbunuh hari ini."
Revalon yang baru saja akan menyesap tehnya, terhenti. "Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura bodoh," suara Eika berubah dingin. "Kau tahu persis siapa Arata. Empat Dewa Perang terkuat dari Dunia Atas telah jatuh di tangannya—esensial divine mereka bersemayam dalam pedang Agroneme Arata, aku juga sangat takut saat dia tiba disini."
Revalon meletakkan cangkirnya perlahan. "Dan jangan lupakan puluhan Dewa Minor yang mencoba menghalangi jalannya."
"Tepat," Eika mengetuk meja dengan jarinya, menciptakan riak kecil di permukaan teh mereka. "Lalu dengan bodohnya kau memancing amarahnya seperti itu? Menghancurkan karyanya? Menguras energi spiritualnya?"
"Aku tahu apa yang kulakukan, Eika," Revalon menjawab tenang. "Justru karena dia adalah Arata sang pembunuh dewa, aku harus memastikan dia untuk tidak mengincar nyamamu dia telah berkelana dunia hanya untuk membunuh. Sebab itu aku menjadi sosoknya yang lain di dunia Endignyu seolah-oleh menuntunnya kemari — itu efektif dia malah jadi muridmu sekarang."
"Dengan mempertaruhkan nyawamu?"
"Dengan memastikan bahwa dia bisa mengendalikan amarahnya," Revalon menatap lurus ke mata Eika. "Kau lihat sendiri, dia tidak langsung menyerangku meski aku menghancurkan karyanya. Dia mencari pertolonganmu terlebih dahulu. Itu menunjukkan kemajuan besar dalam pengendalian dirinya."
Eika menghela napas panjang. "Tetap saja, itu terlalu beresiko. Bagaimana jika dia lepas kendali? Bagaimana jika esensial divine para dewa perang bangkit? Kau tahu sendiri apa yang terjadi — kau tau dia membunuh dewa untuk bisa menandingi dari Dewa Noah."
"Ya, aku tahu," Revalon tersenyum tipis. " Arata benar-benar dikendalikan oleh rasa bersalah dan takut mati dibunuh Dewa Noah. Tapi justru karena itulah aku harus melakukan ini, Eika. Untuk memastikan bahwa dia tidak akan pernah mengancam nyawa temanku."
"Dengan mengorbankan dirimu sendiri?" Eika menggeleng. "Kau terlalu ceroboh, Revalon meski itu terimakasih banyak."
"Dan kau terlalu khawatir," Revalon tertawa kecil. "Bukankah ini yang selalu kita lakukan? Aku yang ceroboh dan kau yang selalu menjagaku?"
"Ini berbeda," Eika menatap ke arah taman, dimana bunga-bunga mawar perak berkilau di bawah cahaya bulan. "Dia hanya mengejar kepuasannya."
"Justru karena itu dia membutuhkanmu," Revalon menjangkau tangan sahabatnya. "Dan setelah apa yang kulihat hari ini, aku yakin kau adalah guru yang tepat untuknya. Dia mulai belajar mengendalikan amarahnya, mulai memahami makna sejati dari penciptaan. Itu semua berkat kau, Eika."
Eika terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Kau tetap harus berjanji untuk tidak melakukan hal seperti ini lagi. Setidaknya, tidak tanpa memberitahuku terlebih dahulu."
"Baiklah, baiklah," Revalon mengangkat tangannya. "Aku berjanji. Lagipula..." dia menyeringai jahil, "kurasa aku sudah cukup menguji kesabaran sang pembunuh dewa untuk saat ini."
"Revalon!"
Tawa renyah Revalon memenuhi ruangan, berbaur dengan aroma teh yang menguar lembut. Di luar, bulan perlahan naik lebih tinggi, menyinari kastil tempat dua dewi menikmati hangatnya secangkir teh.
Fajar menyingsing di ufuk timur, menciptakan semburat keemasan yang memantul di permukaan danau kristal. Arata telah berada di ruang kerjanya sejak sebelum matahari terbit, jemarinya bergerak dengan presisi mengukir setiap detail pada manekin di hadapannya. Kali ini, tidak ada keraguan dalam setiap gerakannya—hanya kepastian dan pemahaman mendalam akan setiap lekuk dan guratan yang ia ciptakan.
Sinar mentari yang merembes masuk melalui jendela tinggi menyinari sosok manekin yang kini berdiri sempurna. Setiap detail terangkum dengan begitu akurat—dari tatapan mata yang tajam namun menyimpan kehangatan, hingga postur tubuh yang memancarkan aura seorang pejuang. Bahkan goresan-goresan halus bekas pertarungan masa lalu terpahat dengan begitu natural pada permukaan kayunya.
Eika memasuki ruangan tepat ketika Arata menyelesaikan sentuhan terakhir. Langkahnya terhenti sejenak, terpukau oleh kesempurnaan karya di hadapannya. Manekin itu bukan sekadar replika fisik Arata—ia adalah cerminan jiwa sang pembunuh dewa yang kini sedang dalam proses transformasi.
"Mengagumkan," Eika berkata dengan nada takjub yang tulus. "Kau tidak hanya menciptakan sebuah manekin, Arata. Kau telah menuangkan esensi dirimu ke dalamnya."
Arata berbalik, ada kilat kepuasan di matanya yang biasanya dipenuhi kegelisahan. "Aku telah sampai jauh di titik ini. Kali ini... kali ini aku benar-benar memahami apa yang Anda ajarkan. Tentang menciptakan, bukan menghancurkan."
"Dan kau telah melakukannya dengan sempurna," Eika tersenyum hangat, menghampiri manekin tersebut untuk mengamati lebih detail. "Lihat bagaimana kau menangkap setiap detail dengan begitu cermat, namun tetap mempertahankan esensi yang lebih dalam. Ini bukan sekadar tiruan—ini adalah refleksi sejati."
"Saya mulai mengerti," Arata mengangguk pelan, "bahwa kekuatan tidak selalu tentang menghancurkan. Terkadang... terkadang kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang bermakna."
Eika meletakkan tangannya di bahu Arata, matanya memancarkan kebanggaan yang tak terkatakan. "Selamat, Arata. Kau telah melewati ujian ini dengan sangat baik. Dan yang lebih penting, kau telah memulai perjalanan untuk memahami makna sejati dari kekuatanmu."
Sinar matahari semakin terang, memandikan ruangan dalam cahaya keemasan, seolah alam sendiri turut merayakan pencapaian ini. Di sudut ruangan, tanpa sepengetahuan mereka, setangkai mawar perak mulai mekar. Pertanda peperangan antara seluruh alam dewa akan kembali pecah.
Eika terdiam sejenak, mengamati manekin di hadapannya dengan seksama. Ada sesuatu yang masih kurang—sesuatu yang akan membuat karya ini benar-benar sempurna.
"Arata," ia berkata lembut, "izinkan aku memberikan sentuhan terakhir pada karyamu."
Arata mengangguk, mundur selangkah untuk memberi ruang. Eika mengangkat kedua tangannya, jemarinya yang lentik mulai bergerak dalam pola rumit di udara. Cahaya keperakan mulai menari di sekitar jari-jarinya.
"[D'leaks]," bisiknya, suaranya mengalun bagai melodi kuno.
Seketika, cahaya keperakan itu melesat menyelimuti manekin Arata. Perlahan namun pasti, permukaan kayu yang halus mulai bertransformasi. Tekstur kayu berubah menjadi tekstur kulit yang sempurna—persis seperti kulit dan wajah seperti Arata sendiri.
"Lihatlah," Eika tersenyum, menunjuk pada detail-detail yang kini semakin nyata.
Bekas luka di bahu—hasil pertarungan dengan Dewa Perang. Guratan halus di punggung tangan—jejak dari pertempuran melawan Dewa Perang Timur. Bahkan rona kulit kecokelatan yang terbakar matahari selama pengembaraannya kini tercetak sempurna pada permukaan manekin.
Arata terpana. Tangannya terulur, menyentuh permukaan manekin yang kini terasa hangat dan hidup. "Ini... mengagumkan," bisiknya.
"Sihir D'leaks adalah sihir transformasi tertinggi," Eika menjelaskan. "Ia tidak sekadar mengubah penampilan, tapi juga menuangkan esensi kehidupan ke dalam objek yang disentuhnya."
Manekin itu kini berdiri dengan kesempurnaan yang nyaris mencengangkan—sebuah replika hidup dari sang pembunuh dewa. Namun ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya. Jika mata Arata sering dipenuhi kegelisahan dan amarah, mata manekin ini memancarkan kedamaian dan kebijaksanaan—seolah menjadi cerminan dari sosok yang mungkin akan menjadi diri Arata di masa depan.
Di kejauhan, setangkai mawar perak yang baru mekar itu berkilau semakin terang, seolah beresonansi dengan sihir yang baru saja dilepaskan.
apa maksudnya begini,
Mengapa Dia hanya memikirkan hiburan untuk dirinya hingga membuat kita mati mempertahankan sebuah 'nyawa'.
mungkin bagus jika kalimatnya begitu. coba dipertimbangkan.