Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flying Hovering Castle
Arata memandang manekin di hadapannya—refleksi sempurna dirinya yang kini memancarkan kedamaian. Sejenak, ruangan itu hening, hanya diisi oleh cahaya keemasan fajar yang semakin terang.
"Dewi Eika," Arata akhirnya berkata, suaranya penuh ketulusan. "Saya... telah belajar banyak hal selama berada di sini. Tidak hanya tentang seni penciptaan, tapi juga tentang mengendalikan amarah dan memahami makna sejati dari kekuatan."
Eika mengangguk pelan, menunggu Arata melanjutkan kata-katanya.
"Saya rasa... sudah waktunya saya kembali, aku sekarang benar-benar siap menghadapi Noah — sejujurnya tidak secara langsung." Arata menatap ke arah jendela, ke arah mawar-mawar perak yang berkilau di taman.
"Kalau begitu," Eika mengangkat tangannya, menciptakan lingkaran sihir keperakan di udara, "izinkan aku membantumu membuka portal terakhir kali."
Portal keemasan terbentuk di hadapan mereka, memancarkan cahaya yang menyilaukan. Namun sebelum Arata melangkah masuk, Eika menahan bahunya.
"Arata," suaranya terdengar serius, "ingatlah apa yang telah kau pelajari di sini. Kekuatan sejati tidak selalu berarti—"
"—menghancurkan," Arata menyelesaikan kalimatnya dengan senyum tipis. "Saya mengerti, Dewi Eika. Terima kasih untuk segalanya."
Dengan satu anggukan terakhir, Arata melangkah memasuki portal. Namun, begitu kakinya keluar di sisi lain, dia langsung menyadari ada yang tidak beres. Udara terasa berat dan mencekam, dipenuhi oleh aura divine yang sangat kuat.
"Selamat datang kembali, Arata sang pembunuh adik Noah," sebuah suara dingin menyapanya.
Belum sempat Arata bereaksi, rantai-rantai besar mercusuar melesat dari berbagai arah, melilit tubuhnya dengan kuat. Di hadapannya berdiri sosok tinggi berarmor emas — Garnava raja api kematian, panglima tertinggi pasukan Noah master pembunuh.
"Bagaimana..." Arata berusaha meronta, tapi rantai-rantai itu menyerap energi spiritualnya.
Garnava tersenyum dingin. "Kau pikir Lord Noah tidak tahu tentang keberadaanmu di Fablohetra? Kami telah menunggu kepulanganmu sejak lama. Portal keluar dari dunia itu selalu muncul di tempat yang sama."
Arata mengumpat dalam hati. Tentu saja—bagaimana dia bisa begitu ceroboh? Portal transfer dari dunia Fablohetra pasti memiliki titik koordinat tetap di dunia luar.
"Dan sekarang," Garnava mengangkat tangannya, membuat rantai-rantai itu semakin mengerat, "Lord Noah ingin berbicara langsung denganmu."
Kesadaran Arata mulai memudar akibat rantai divine yang terus menyerap energinya. Hal terakhir yang dia lihat adalah senyum kemenangan di wajah Garnava dan kilauan portal emas yang membawanya menuju istana Noah.
Di istana Noah, Garnava menyeret "Arata" yang tak sadarkan diri ke hadapan singgasana perak yang megah. Di sana, Noah duduk dengan angkuh, matanya berkilat tajam menatap sosok yang terborgol rantai divine.
"Bangunkan dia," perintah Noah dingin.
satu pengikut pasukan Garvana mengeluarkan sihir kejut, membuat "Arata" tersentak membuka mata. Namun ada yang aneh—tak ada perlawanan, tak ada amarah yang biasanya berkobar di mata sang pembunuh dewa.
Sementara itu, di dunia Fablohetra...
Arata yang asli masih berdiri di samping portal yang baru saja menutup, seringai tipis tersungging di bibirnya. "Sepertinya dugaan kita benar, Dewi Eika."
Eika mengangguk, senyum penuh arti menghiasi wajahnya. "Ya, Noah memang selalu mengawasi portal keluar Fablohetra, tidak—seluruh portal. Tapi..." ia melirik ke arah manekin yang kini kosong di sudut ruangan, "dia tidak pernah menyangka akan menghadapi tipu daya seperti ini."
"[D'leaks] yang Anda berikan pada manekin itu tidak hanya memberikan kehidupan, tapi juga menyimpan sebagian energi spiritualku," Arata menjelaskan, "cukup untuk membuat mereka percaya bahwa itu adalah aku yang asli."
Revalon yang baru saja memasuki ruangan tertawa kecil. "Siapa sangka sang pembunuh dewa bisa menjadi begitu licik? Kurasa ajaranku tentang strategi tidak sia-sia."
"Ini bukan kelicikan," Arata menggeleng pelan, "ini adalah pemahaman baru tentang kekuatan. Seperti yang Dewi Eika ajarkan—tidak semua pertempuran harus dimenangkan dengan kehancuran."
Kembali ke istana Noah...
Noah bangkit dari singgasananya, mendekati "Arata" yang masih terdiam. Namun begitu tangannya menyentuh wajah tawanannya, matanya melebar dalam keterkejutan.
"Ini..." suaranya bergetar dalam amarah, mata Noah berkobar kemerahan api abadi.
Tepat saat itu, tubuh "Arata" mulai retak, menampakkan tekstur kayu di balik kulit yang sempurna. Sebelum siapapun sempat bereaksi, manekin itu hancur berkeping-keping, menyisakan serpihan kayu yang berkilau oleh sisa-sisa sihir D'leaks.
"CARI DIA!" Noah menggelegar, "ARATA TIDAK MUNGKIN JAUH!"
Tapi di dunia Fablohetra, Arata, Eika, dan Revalon hanya tersenyum mendengar gemuruh amarah yang sayup-sayup terdengar dari dunia luar.
"Jadi," Revalon menyeringai, "apa langkah selanjutnya?"
"Kita punya keuntungan sekarang," Arata menatap ke arah mawar-mawar perak yang berkilau semakin terang, "Noah mengira aku sudah keluar dari Fablohetra. Dia tidak akan mencari ke sini lagi."
"Dan itu memberimu waktu yang cukup untuk mempersiapkan rencana selanjutnya," Eika menambahkan, "rencana yang tidak melibatkan pertumpahan darah."
Arata mengangguk. Di tangannya, sebuah sketsa mulai terbentuk—sketsa yang akan menjadi kunci kemenangannya melawan Noah. Kali ini, bukan dengan pedang Agroneme, tapi dengan kebijaksanaan yang telah ia pelajari di dunia Fablohetra.
Langit Fablohetra yang selalu tenang tiba-tiba bergemuruh. Arata, Eika, dan Revalon yang sedang membahas rencana mereka mendongak ketika cahaya keemasan yang biasanya menyelimuti dunia itu mulai meredup.
"Tidak mungkin..." bisik Eika, wajahnya memucat. "Ini..."
Suara retakan membelah udara, memekakkan telinga. Di atas sana, langit Fablohetra—yang selama ini tak pernah tersentuh—mulai menampakkan guratan-guratan hitam, seolah ada yang mencoba membelahnya dari luar.
KRAKK!
Sebuah mata pedang raksasa berwarna hitam keunguan menembus langit, menciptakan retakan yang semakin lebar. Venuszirad—pedang kehancuran, pedang kuno yang terbuat dari esensi divine Dewi Kehancuran Alnaturyu.
"Noah..." geram Arata, tangannya mengepal. "Tidak disangka dia berbuat sejauh ini untuk mencari aku!"
Revalon menghunus pedangnya. "Ini gila! Memaksa masuk ke dimensi suci seperti ini bisa menghancurkan keseimbangan Fablohetra!"
Retakan di langit semakin melebar, membentuk lubang hitam menganga. Dari dalamnya, sosok Noah muncul—bukan lagi dengan arogansi tenang yang biasa ia tunjukkan, tapi dengan murka yang membuat seluruh Fablohetra bergetar.
"ARATA!" suara Noah menggelegar, membuat mawar-mawar perak di taman bergetar dan berjatuhan. "Kau pikir bisa mempermainkanku dengan trik murahan seperti itu?"
Tanah bergetar hebat ketika Noah mengayunkan Venuszirad. Gelombang energi hitam menyapu area itu, membuat pepohonan tumbang dan bebungaan hancur penduduk manekin ikut tersapu dan hancur. Kastil Eika mulai terangkat dari fondasinya, bebatuan dan pilar-pilarnya melayang di udara seolah gravitasi tak lagi berlaku.
"Hentikan, Noah!" teriak Eika, mencoba menahan kastilnya dengan sihir. "Kau tidak tahu apa yang kau lakukan! Fablohetra adalah pusat keseimbangan! Jika kau—"
"Diam!" Noah mengayunkan tangannya, menciptakan gelombang energi yang membuat Eika terpental di dalam kastil. "Kalian semua sudah mengkhianatiku! Melindungi pembunuh adikku... memberikan tempat berlindung pada sampah seperti dia!"
Arata melompat menangkap tubuh Eika sebelum membentur dinding. Sementara Revalon mencoba menstabilkan kastil yang masih melayang dengan sihirnya.
"Noah," Arata berkata tenang, meski matanya menyiratkan kesedihan. "Apa kau tidak lelah? Dengan semua dendam dan kehancuran ini?"
"DIAM!" Noah mengayunkan Venuszirad lagi, kali ini membuat seluruh kastil Eika terangkat sepenuhnya ke udara. "Kau tidak punya hak bicara tentang lelah! Tidak setelah apa yang kau lakukan pada adikku!"
Langit Fablohetra kini sepenuhnya hitam, dipenuhi awan gelap yang berputar-putar dengan Noah sebagai pusatnya. Kastil melayang semakin tinggi, sementara energi destruktif Venuszirad mulai memecah realitas di sekitar mereka.
"Jika kalian melindunginya," Noah mengarahkan pedangnya ke arah kastil yang melayang, "maka kalian akan hancur bersamanya!"
Arata memandang sekelilingnya—dunia indah yang telah mengajarinya begitu banyak, kini di ambang kehancuran. Eika yang terluka, Revalon yang kehabisan tenaga mempertahankan kastil, dan Noah... Noah yang termakan dendamnya sendiri.
Di tangannya, sketsa yang baru saja ia buat terbakar oleh energi destruktif Noah. Namun Arata tersenyum tipis. Mungkin inilah saatnya membuktikan bahwa ia benar-benar telah berubah—bahwa ada cara lain untuk mengakhiri lingkaran dendam ini.
"Noah," Arata melangkah maju, menghadap sang dewa yang dikuasai amarah, "mari kita akhiri ini. Bukan dengan pedang atau kehancuran... tapi dengan kebenaran yang selama ini kau tolak untuk dengar."
"Oh, berani sekali kau Arata dimana kau dapatkan sikap itu? Dan mana, sikap yang selalu menganggap aku rival sejati — kau tahu perbedaan kita sekarang? Kau hanyalah dewa pengecut Arata."