The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06.) Pengenalan
Chapter 6: Profiling
Di sinilah kami sekarang berada.
Berada di dalam mobil pribadi Mas Satya. Tanpa satupun ajudan yang menyertai. Hanya berdua saja, dengan Mas Satya sebagai sopir dan aku penumpangnya.
Tentu saja aku duduk di depan, di sebelahnya.
“Jadi kita mau kemana, Mas?” tanyaku yang menyadari mobil ini hanya berputar-putar tanpa tujuan yang jelas.
Mas Satya mengusap wajahnya bingung. “Sebenarnya saya mau ngajak kamu ke food festival di alun-alun kota. Tapi saya baru ingat kalau Bara, ajudan saya sedang libur hari ini.”
Aku terdiam menyadari kegundahan Mas Satya. Sebulan berada di sini membuatku tahu betapa terkenalnya dia sebagai Bupati muda yang masih lajang.
“Kalau gitu nyamar aja, Mas. Biar ga dikenali.” usulku. “Di sini ada hoodie atau topi buat nutupin wajah gitu?”
“Kayaknya di belakang ada hoodie, Kal.”
Aku melongokkan tubuhku ke kursi belakang untuk mencari hoodie yang Mas Satya maksud.
“Duh, hati-hati, Kalila sayang. Kamu bisa minta saya berhenti dahulu kalau mau ngecek kursi belakang.”
Mas Satya menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Membuatku lebih leluasa melihat keadaan di kursi belakang.
Di pojok kanan kursi bagian bawah ada paperbag berukuran sedang yang menarik perhatianku. Kuraih paperbag tersebut untuk mengintip isinya. Di dalamnya terdapat hoodie berwarna abu-abu yang terlipat rapi.
“Ada nih, Mas. Coba pakai.” kataku menyodorkan hoodie tersebut kearahnya.
Menuruti ucapanku, Mas Satya segera memakai hoodie tersebut. Untung saja sebelumnya ia memakai outfit kasual berupa celana jeans dan kaos. Jadi tidak akan terlalu panas jika ditumpuk hoodie yang berbahan cukup tebal.
Aku memasangkan topi berwarna hitam, yang juga kutemukan di dalam paperbag tersebut, ke kepala Mas Satya. Juga memasangkan tudung hoodie di atas topi tersebut.
Kuamati beberapa saat penampilan Mas Satya yang tampak jauh lebih muda saat ini.
“Nah, sudah keliatan kaya pemuda gen-z yang sukanya ngeributin jati dirinya. Ga akan ada yang sadar kalau ini Mas Bupati kesayangan warga Bawera.” komentarku.
Mas Satya menjawil ujung hidungku. “Termasuk Kalila juga ya?” godanya.
Aku menyedekapkan tanganku ke dada seraya melihat ke arah depan. “Maaf mengecewakan nih yaa. Saya bukan warga Bawera, Pak.”
Mas Satya tertawa. “Maksud saya, bukannya Kalila juga masuk gen-z yang masih meributkan jati diri itu ya?”
Aku memalingkan wajahku menatap jalan di samping, berusaha meredam rasa malu karena terlalu percaya diri.
“Kapan ini berangkatnya? Keburu malam.” tanyaku ketus, masih tetap melihat ke samping kiri.
Mas Satya mengusap kepalaku gemas. “Ini tinggal satu belokan sudah sampai.” jawabnya.
Ia mulai menjalankan kembali mobilnya. Setelah belokan pertama, terlihat area alun-alun yang ramai.
Mas Satya menjalankan mobilnya pelan. Berusaha mencari tempat parkir strategis yang tidak perlu berjalan terlalu jauh.
Seorang juru parkir mengarahkan mobil Mas Satya ke lahan kosong tepat di depan pintu masuk, yang baru saja ditinggalkan mobil sebelumnya.
“Kalau emang VIP tuh ya pasti dapat fasilitas utama ya, Pak Bupati?” celetukku.
Mas Satya tertawa. “Rezeki orang baik, Kalila.”
Aku mencibir. “Masih diragukan statement pribadinya, Mas.”
Mas Satya memarkirkan mobilnya dengan mulus.
“Bukan plat merah kan ini?”
Mas Satya menelengkan kepalanya, tampak berpikir mengingat-ingat. “Bukan, kayaknya.”
Aku melotot ke arahnya. “Yang benar, Mas? Kok ga yakin gitu sih jawabnya.” desakku.
Tak menunggu Mas Satya mematikan mesinnya, aku langsung turun dari mobil menuju ke depan mobil. Untuk memastikan langsung plat nomor yang digunakan.
BW 1209 SD. Warna hitam.
“Parkirnya, Mbak.” Sang juru parkir menyodorkan karcis parkir ke arahku.
“Oiya.” Kuterima karcis tersebut dan segera memasukkan ke tas tangan yang kubawa. “Terima kasih.”
Akan tetapi sang juru parkir masih berada di hadapanku. Terlihat menunggu sesuatu, padahal aku sudah mengucapkan terima kasih dengan sopan. Kutatap sang juru parkir tersebut bingung.
“Ini ya, Mas. Simpan saja kembaliannya.”
Tiba-tiba Mas Satya menyodorkan selembar uang berwarna biru ke juru parkir tersebut.
“Waah, terima kasih, Mas. Semoga rezekinya semakin lancar.” kata juru parkir tersebut. Setelahnya ia pergi untuk mengarahkan mobil lain yang akan parkir.
Aku menatap Mas Satya menuntut penjelasan.
“Kalau di sini kebanyakan parkir bayar di awal, Kal.” jelasnya. Ia merangkul bahuku dan mengarahkan berjalan masuk ke tempat festival.
Aku mengangguk paham. Tiba-tiba aku teringat kecerobohannya, atau mungkin keusilannya karena tidak yakin dengan plat nomor yang digunakannya. Kucubit kesal pinggangnya yang berdempetan denganku.
Mas Satya menunduk menatapku dengan melotot menahan sakit. “Kenapa dicubit, Kal?”
“Salah sendiri usil. Saya ga suka ya sama orang yang ceroboh.”
Sembari tertawa, Mas Satya mengelus lenganku yang berada dalam rangkulannya.
“Kalau gini harus segera dilakukan profiling nih. Biar ga ada ganjalan-ganjalan di hati.” katanya.
“Emang boleh se-touchy ini padahal baru mau profiling?” sindirku menatap tangannya yang merangkul bahuku.
“Makanya jajannya yang cepet, biar bisa segera profiling.” balasnya.
Kami berjalan santai melihat-lihat aneka makanan yang dijual di festival ini. Kebanyakan makanan tradisional khas nusantara. Sesuai dengan tema yang diangkat, cita rasa warisan nusantara. Meski begitu, tetap bisa dijumpai beberapa makanan kekinian viral yang terlihat ramai antrian anak-anak muda.
Aku memilih mencoba berbagai makanan tradisional dengan cita rasa manis dari berbagai daerah. Sementara Mas Satya memilih makanan berat yang bercita rasa gurih.
Sembari menenteng jajanan yang sudah dibeli, kami berjalan mencari tempat duduk kosong yang bisa ditempati. Di pojokan terlihat meja berukuran sedang yang belum ditempati orang lain.
“Kamu jajannya dessert semua, Kal.” kata Mas Satya saat kami duduk di meja pojokan yang kosong tadi.
“Habisnya menarik semua…” kataku tertawa. “Eh, ini minumnya belum ada.”
Mas Satya lantas berdiri. “Yaudah, saya beli dulu. Kalila mau minum apa?”
“Air mineral aja.” jawabku. “Hati-hati ya, Mas. Jangan sampai kebongkar penyamarannya.”
Mas Satya menyatukan jarinya membentuk isyarat oke. Ia bergegas pergi menuju salah satu stand yang menjual minuman terdekat.
Aku menata semua makanan yang telah kami beli tadi di atas meja. Setelah terlihat estetik aku mengambil beberapa foto makanan tersebut satu persatu dan secara keseluruhan.
“Mbak Kalila ternyata kesini juga?”
Aku mendongak dan menemukan anak-anak YMB berdiri di depanku.
“Hai,” sapaku pada 6 anak muda kebanggaanku. “Kalian nih main bareng ga ajak-ajak.”
“Lah, kami kira Mbak Kal ga suka ke acara ramai-ramai gini.” kata Arabella.
“Mbak Kal, kami gabung ke mejanya yaa. Penuh semua ini.” pinta Renata.
Aku menatap sekitar dan memang sudah tidak ada space meja lagi selain punyaku.
“Boleh. Duduk-duduk. Udah pada jajan apa belum?” ijinku mempersilahkan mereka duduk semeja denganku.
Mereka memamerkan tentengan plastik di tangan masing-masing. “Udah, dong.”
“Mbak Kal jajannya banyak banget. Emang bakal habis, Mbak?” tanya Rama.
“Eh, ini bukan cuma punyaku.”
Mereka langsung menatapku menggoda.
Tak lama, Mas Satya kembali dengan membawa dua gelas es teh dan air mineral. Ia menyerahkan segelas es teh kepadaku tanpa memerhatikan keadaan meja kami yang sekarang ramai anak YMB.
“Nih, cobain es teh lokal sini, Kal.” katanya.
“Masnya pacarnya Mbak Kalila, ya?” tanya Renata kepo.
Mendengar suara orang lain membuat Mas Satya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ia terlihat kaget melihat anak-anak muda yang memenuhi mejanya.
Begitupun dengan anak-anak YMB yang juga kaget mendapati wajah familiar di depannya. Bahkan Rama sampai berdiri dari duduknya karena ia yang paling mengenali wajah di depannya ini daripada teman-temannya yang masih tampak yakin tak yakin dengan dugaan mereka.
Aku mengisyaratkan mereka untuk duduk dengan tenang. Mengantisipasi sebuah nama yang keluar dari mulut mereka secara heboh, sehingga dapat menarik perhatian yang lain.
“Harap tenang ya, gaes. Orang ini sesuai dengan tebakan kalian, kok.” konfirmasiku. “Dan ini anak-anak YMB, Mas.”
Santika menutup mulutnya kaget. “OMG! Aku ga pernah nyangka kalau Mas Bupati kita bisa berpenampilan se idol ini.” katanya.
Renata dan Arabella mengangguk setuju.
“Mas Satya sama Mbak Kalila pacaran, ya?” tanya Rama.
Aku menggeleng cepat. “Engga. Tadi kita habis bahas project lanjutan YMB. Ternyata ada event di sini, jadi sekalian liat.”
“Kalau iya, juga gapapa, Mbak. Kami sangat merestui kalau Ibu Bupati Bawera nanti Mbak Kalila.”
Mas Satya mencondongkan tubuhnya tertarik mendengar perkataan Santika.
“Beneran ya kalian setuju kalau Ibu Bupati Bawera ntar Kalila?” tanyanya.
Keenamnya mengangguk kompak. “Sangat setuju.”
“Kalau begitu bantuin ya. Lagi di tahap profiling nih. Jadi jangan share kemana-mana dulu, ntar ada yang ngambek.”
“Tenang aja, Mas Buapti. Kami ini bisa jaga rahasia.”
“Kalau butuh info kegiatan sama sifatnya Mbak Kal di YMB bisa langsung menghubungi kami.”