Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINTA???
Sekar duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela sambil memperhatikan rumah-rumah yang semakin besar, jalan masuk yang semakin panjang, dan pagar-pagar yang semakin tinggi.
"Kenapa orang kaya, semakin banyak harta yang dimiliki, cenderung semakin ingin menjaga jarak dari orang lain?"
"Kamu tahu berapa banyak orang yang ingin meminta uang padamu?" Panji melirik ke arahnya sambil terus menyetir. "Dan tahukah kamu, ada berapa banyak orang yang ingin masuk ke rumahmu dan mencuri jika kamu memiliki sesuatu yang tidak mereka miliki?"
"Adikku tinggal di kontrakan yang sederhana, tempat dimana gelandangan sering tidur di lorongnya, tapi dia tidak pernah dirampok." Sekar membalas.
"Adikmu tidak punya barang berharga yang bisa dicuri," jawab Panji santai sambil tetap fokus menyetir. "Lagipula, setiap orang berhak punya privasi, tidak peduli kaya atau miskin."
Sekar diam saja, memperhatikan Panji yang menyetir dengan santai. Lengannya terlihat rileks di setir, sesekali dia melirik kaca spion lalu kembali fokus ke jalan. "Kenapa kamu tidak punya sopir?"
"Kenapa pula aku perlu sopir?"
Sekar mengangkat bahu. "Bukankah biasanya orang kaya punya sopir?"
Panji kembali melirik ke arahnya. "Aku menunggu tujuh belas tahun dengan susah payah untuk bisa menyetir sendiri. Aku tidak peduli seberapa banyak uang yang aku punya, tidak ada yang boleh menyentuh setir mobilku selain aku."
"Aku juga tidak boleh?" tanya Sekar dengan nada menggoda.
"Termasuk kamu," jawab Panji sambil tersenyum. "Kamu bisa punya mobil sendiri, tinggal minta saja."
"Aku lebih memilih naik bus," Sekar mendesah pelan lalu kembali memandang ke luar jendela.
Panji menggelengkan kepala sambil melirik ke arah Sekar, lalu kembali fokus ke jalan. "Kenapa kamu selalu membuat segalanya menjadi sulit? Padahal aku bisa membuat hidupmu jauh lebih mudah."
Damar adalah orang yang mengajarinya mengemudi ketika mereka tinggal di Semarang. Salah satu teman mereka pernah dirampok di kereta. Sejak saat itu, Damar tidak ingin Sekar menggunakan kereta lagi. Mereka mempelajari semua rute bus bersama-sama, dan kadang menggunakan taksi. Sekar memandangi cincin pernikahnya sambil menggigit bibir. Damar adalah pria terakhir yang peduli padanya dan mencoba membuat hidupnya lebih mudah—bukan karena uang, tapi karena cinta. Sekar menyibakkan sehelai rambut di belakang telinganya.
"Karena uang bisa mengubah seseorang, dan aku menyukai diriku apa adanya. Aku bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kumiliki, dan aku punya prinsip," katanya dengan bangga.
"Benarkah? Jadi, prinsip apa yang mengizinkanmu menikahi seseorang demi uang?" Panji bertanya sambil menghentikan mobil di depan gerbang dan membuka jendelanya untuk berbicara ke interkom.
Sekar menghela napas panjang dan menggelengkan kepala, memalingkan wajah darinya. Dia membenci Panji—tidak tahan dengan sikapnya—dan menurutnya, seluruh hidup pria itu terasa seperti dunia khayalan. Namun, tiba-tiba Panji meraih tangannya, membuat Sekar terkejut.
"Jangan marah," Panji berkata dengan tenang. "Aku menikahimu juga untuk mendapatkan apa yang kuinginkan dan sebaliknya, kamu menikahiku untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Kita impas. Bisakah kita berdamai?"
Sekar menarik tangannya kembali dan menghela napas. Menyadari maksud Panji.
"Aku tidak akan tidur denganmu."
"Hanya masalah waktu," jawab Panji sambil tersenyum, lalu melanjutkan perjalanan begitu gerbang mulai terbuka.
Ketika Panji membuka pintu mobil untuknya, Sekar keluar dengan melipat kedua tangan di dadanya, berdiri diam sementara Panji mengambil tas kerjanya dari kursi belakang. Dia melihat sekeliling, memperhatikan lantai bata dan pagar tanaman yang rapi. Tempat ini sudah tidak asing baginya. Pesta pertunangan mereka pernah diadakan di halaman belakang rumah ini. Tenda putih dari satin, makanan yang didatangkan dari berbagai penjuru dunia, dan tamu undangan yang sangat banyak. Semuanya berlangsung begitu cepat dan penuh kemewahan, hingga sekarang pun rasanya seperti mimpi.
Ketika dia merasakan sentuhan lembut tangan Panji di punggung bawahnya, Sekar terkejut dan langsung mendorong tangan itu menjauh.
"Aku tahu di mana pintunya," katanya dengan tegas.
"Oh, baiklah," jawab Panji, berjalan melewatinya sedikit lalu berbalik menghadapnya. "Haruskah aku membiarkanmu memimpin jalan?" katanya sambil menunjuk ke arah rumah.
Sekar kembali melipat tangannya dan mulai berjalan menuju pintu dengan Panji mengikuti di belakangnya.
"Aku bisa merasakan nafasmu," katanya pelan saat menekan bel pintu.
Panji mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Sekar, menariknya perlahan hingga tubuh mereka bersentuhan. Dia menyandarkan wajahnya di leher Sekar yang hangat dan mengecupnya lembut. Panji tersenyum kecil saat merasakan Sekar sedikit gemetar, tangannya kini memegang tangan Panji yang berada di pinggangnya.
"Katakan padaku," bisik Panji lembut, "apa lagi yang kamu rasakan?" lanjutnya sambil menarik Sekar lebih dekat.
"Astaga, kalian berdua terlihat sangat manis," suara Maya memecah suasana ketika dia membuka pintu depan.
Sekar segera menjauh dari Panji, meraih Maya untuk memberinya pelukan—melakukan apa saja agar bisa menjauh dari Panji.
"Selamat pagi, sayang," sapa Maya dengan senyum lebar, rambut cokelatnya ditata tinggi. "Panji, ayahmu sudah menunggumu di ruang tamu."
"Terima kasih," jawab Panji sambil berjalan menghampiri Maya dan mengecup pipinya singkat sebelum menghilang masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sekar sendirian bersama Maya.
"Ayo, Sayang, Sinta sudah menunggu di dalam. Aku pikir kita bisa sarapan di teras," kata Maya dengan senyum lebar sambil mengarahkan Sekar masuk ke dalam rumah. Aksen Betawi Maya sangat kental, dan dia sering mengatakan hal-hal yang, menurut Sekar, tidak masuk akal. Namun, Maya penuh energi, dan memiliki hati yang besar, sulit untuk mengimbanginya. Sekar tidak mengerti kenapa Panji begitu tidak menyukainya.
Sekar mengangguk sambil masuk ke dalam rumah.
"Kedengarannya bagus," jawabnya sopan.
Dia berjalan melewati rumah besar itu menuju halaman belakang. Sinta, yang sudah duduk di meja, sedang sibuk mengetik di ponselnya. Rambut magentanya dibiarkan tergerai dengan ikal-ikal lembut di sekitar wajahnya.
"Jadi, kita punya pesta yang harus direncanakan?" kata Sekar, menatap kedua wanita itu. "Panji bilang ini ulang tahun pernikahan kalian yang ke dua puluh lima?"
"Oh, ya ampun," kata Maya sambil menarik kursi dan duduk. "Cinta memang luar biasa, menurutmu juga begitu, kan?" katanya sambil tertawa kecil dan melirik ke piringnya. Kemudian dia menatap Sekar lagi dengan senyum lebar.
"Maksudku, satu saat dia mengajakmu makan malam, dan di saat berikutnya aku sudah tinggal bersamanya dengan cincin besar di jariku."
"Keluarga Pradipta memang cepat bergerak," tambah Sinta dengan senyum tipis, melirik Sekar. "Kamu dan Panji bahkan baru kenal kurang dari sebulan sebelum dia melamarmu."
Dua puluh tujuh hari, pikir Sekar dalam hati, sambil menyilangkan kakinya dan memandangi semua makanan di meja.
"Panji itu," katanya sambil tersenyum, lebih tulus daripada yang dia harapkan. "Dia sangat memikat," ujarnya akhirnya.
"Lihatlah, sudah tiga bulan menikah, tapi masih bersinar dengan cinta yang menggebu," kata Maya dengan nada penuh pengertian.
"Itu mungkin karena mereka masih sangat bergairah." tambah Sinta sambil mencelupkan sendoknya ke dalam lontong sayur.
Sekar mencoba memaksakan wajah memerah tepat waktu, meski tidak yakin apakah berhasil. Akhirnya dia memilih untuk menunduk, menatap mangkok lontong sayurnya sendiri.
"Itu karena aku menikahi wanita cantik yang sulit sekali untuk tidak kusentuh," kata Panji sambil keluar dan mendekat dari sisi kanan Sekar, lalu memberikan ciuman kecil di pipinya. Ketika Sekar menoleh untuk menyambutnya, Panji langsung mencium bibirnya dengan cepat, membuat Sekar terkejut. Bibir Panji terasa lembut saat menekan bibirnya, dan dia tersenyum sambil menggigit pelan bibir bawah Sekar, membuatnya terkesiap.
"Eww," kata Sinta sambil tertawa, "Ciumannya di tempat lain saja sana!!!."
Panji menjauh dan tersenyum nakal sebelum duduk di sebelah Sekar.
Sekar yang masih terkejut menggigit pelan bibir bawahnya, meski masih terasa geli akibat gigitan Panji. Dia kembali ke makananya, tapi kali ini pipinya terasa panas karena malu, dan meski mencoba menahan diri, dia tersenyum kecil.
Maya tertawa sambil mulai makan, dan setelah tawa dan godaan mereda, Wibowo datang bergabung. Dia meletakkan sebuah amplop di depan mereka sebelum duduk di sebelah Maya.
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'