Raisa, seorang gadis berparas cantik, adalah primadona desa yang hidup dalam kesederhanaan bersama ayahnya. Kehidupannya yang bahagia berubah drastis ketika suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil pada awal pernikahan mereka. Raisa terpaksa harus menjanda dan menghadapi tantangan hidup yang lebih besar.
Di desa kecil mereka, di mana kabar berita menyebar dengan cepat, gosip dan fitnahan dari masyarakat selalu menghampiri Raisa. Kehadirannya yang sebagai pengantin baru dan langsung ditinggalkan oleh suaminya yang meninggal membuatnya menjadi sasaran ejekan dan celaan. Dia merasa terisolasi dan terpinggirkan.
Namun, Raisa adalah seorang wanita yang kuat dan tegar. Dia tidak menyerah pada keadaan dan bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa bangkit dari penderitaan yang menimpanya.
Bagaimana kisah Raisa dalam menjalani kehidupannya? Ikuti ceritanya di novel yang berjudul "Janda Tapi Perawan Tulen"
Jangan lupa kasih like, subcribe, vote rate 5...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23 - Bak Pahlawan
Sementara Raisa dan ayahnya sedang melepas rindu dengan haru, Ayah Raisa yang heran dan penasaran dengan kehadiran Bian segera menanyakan kepada putrinya tentang sosok tersebut.
Kemudian Raisa menjelaskan kepada ayahnya bahwa Bian adalah majikannya di kota tempat Raisa bekerja. Lalu Raisa memanggil Bian untuk masuk ke dalam rumah dan memperkenalkannya pada ayahnya.
"Tuan, silahkan masuk...."
Bian yang sebelumnya hanya berdiri di luar pintu dengan sikap cool dan mengamati sekitar, merasa sedikit canggung saat diajak oleh Raisa untuk masuk ke dalam rumah.
"Selamat siang...."
Dia memberikan salam kepada ayah Raisa dengan sopan, namun dalam hati, perasaan canggungnya memuncak karena dia merasa seperti bertemu dengan calon mertua.
"Maaf Tuan, aku lupa jika Tuan juga ikut...," bisik Raisa.
Raisa dengan ramah meminta maaf kepada Bian karena sebelumnya telah mengabaikan kehadiran Bian. Ayah Raisa, dengan senyum hangat, menyambut Bian ke dalam rumah dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya kepada putrinya.
Di dalam rumah, suasana menjadi lebih akrab dan hangat. Ayah Raisa dan Bian mulai berbincang-bincang, saling bertukar cerita, dan berbagi pengalaman.
Bian bercerita tentang pekerjaannya, sementara ayah Raisa dengan penuh perhatian mendengarkan. Raisa yang memperhatikan mereka berdua merasa senang dan merasa tidak percaya jika Bian akan bersikap ramah pada ayahnya.
Padahal selama ini Bian di kenal sebagai orang yang dingin dan cuek. Apalagi sikap Bian saat pertama kali bertemu dengan Raisa yang jutek dan kasar berbanding terbalik dengan sikap Bian sekarang.
Drett Drett...
"Hallo...?... Baik aku mengerti."
Bian segera pamit pada ayah Raisa sesaat setelah ia menerima telepon dari seseorang. Raisa yang baru keluar dari dapur dan membawa beberapa camilan tidak merasa heran saat batin keluar dari rumahnya karena menyangka itu saatnya Bian pergi ke tempat kerjanya.
"Kamu tidak antar dia keluar, Nak?."
"Tidak usah Ayah... Tuan Bian akan bekerja, dia hanya memberi tumpangan pada Ica."
"Justru itu, apa kamu tidak akan mengucapkan terima kasih pada majikanmu itu?."
Raisa pun berpikir sejenak dan membenarkan perkataan ayahnya dan segera menyusul Bian. "Tuan, terima kasih karena Tuan sudah mengantarku sampai sini."
"Tidak masalah."
Bian pun segera melajukan mobilnya dan pergi dari sana.
"Tuan Bian sudah pergi?," tanya ayah Raisa saat putrinya masuk ke rumah.
"Sudah Ayah...."
Raisa memutar netranya dan melihat bubur yang sudah tersedia di meja. "Ayah buat bubur sendiri?," tanya Raisa sambil mengambil mangkuk yang berisi bubur.
"Oh... Ini pasti buatan Radit, tapi dia kemana ya?."
Raisa termenung dan baru memikirkan soal Radit lagi. Ia sangat bersyukur karena selama ini Radit sudah merawat ayahnya meskipun mereka tidak terikat saudara.
"Ayah, apa selama ini Radit sering ke rumah?."
"Benar... Hampir setiap hari dia menyempatkan diri mengunjungi ayah... Apalagi saat ayah sakit."
"Tapi Ayah, Ica merasa gak enak jika Radit sering berbuat baik terhadap kita, Ica takut gak bisa balas semua kebaikan Radit."
Di samping Raisa merasa bersyukur, dia juga merasa berat atas semua kebaikan Radit. Dia merasa sikap Radit sudah terlalu melewati batas untuk keramahan seorang tetangga.
"Nak... Apa kamu akan kembali lagi ke kota?."
"Kenapa Ayah?."
"Ayah hanya khawatir dengan sikap orang-orang di kampung sini, Ayah lihat mereka masih bersikap tidak baik padamu."
"Tenang saja Ayah, Ica gak papa kok...," jawab Raisa sambil menggenggam tangan ayahnya.
"Ya ampun, apa itu ponsel Tuan Bian? Ayah... Ica keluar dulu mudah-mudahan Tuan Bian belum jauh," teriak Raisa seraya berlari.
Raisa yang ingin menyusul Bian tiba-tiba terhenti karena dihadang oleh beberapa ibu-ibu yang mencela dan menunjukkan sikap jijik terhadapnya.
"Hei! Janda gatal! Kenapa kembali lagi kesini? Apa kamu mau mengacaukan kedamaian kampung ini?!."
Raisa merasa sedih dan terluka karena perlakuan tersebut. Namun, dia tetap mencoba menjaga kekuatan diri dan berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh.
"Maaf ibu-ibu... Aku tidak mengerti, aku ada urusan permisi."
"Alaahh... Jangan beralasan!," jawab salah seorang propokator sambil mendorong tubuh Raisa.
Dengan kepala tegak, Raisa berbicara dengan tenang kepada ibu-ibu tersebut. Dia mencoba menjelaskan bahwa dia kembali ke kampung halamannya untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit.
Namun, ibu-ibu tersebut terus mengeluarkan kata-kata yang kasar dan mencela Raisa. Raisa merasa kecewa dan sedih, namun dia tetap berusaha untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh sikap negatif mereka.
"Mentang-mentang dapat laki-laki baru, sekarang dia berani melawan dan bersikap angkuh!."
"Benar! Di bayar berapa kamu hah?!."
Raisa merasa kecewa dan sedih, namun dia tetap berusaha untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh sikap negatif mereka. Lalu Raisa hendak beranjak menghindar namun ia tersandung oleh kaki sang provokator yang sengaja menghalangi jalan Raisa sehingga ia terjatuh dan terluka. "Aw!."
Gelak tawa para ibu-ibu luknut itu menggelegar seakan merasa puas atas penderitaan Raisa. Apalagi saat melihat Raisa yang akhirnya menangis.
Saat Raisa dalam keterpurukan karena cercaan warga, tiba-tiba Bian datang dan segera menolong Raisa bak seorang pahlawan.
Bian tak ragu membantu Raisa berdiri dan membentak ibu-ibu tidak beradab itu. Bian berbicara dengan tegas agar mereka tidak berbuat hal semacam itu lagi dan tidak mengintimidasi orang lain.
Bian juga mengancam jika Raisa masih mendapat perlakuan seperti itu maka Bian tidak akan segan-segan melaporkan mereka ke polisi.
Setelah mendapat ancaman dari Bian dengan sorot mata tajam, akhirnya ibu-ibu itu bubar ketakutan dan berjanji tidak akan menggangu Raisa lagi. Setelah itu Bian hendak mengantar Raisa ke rumah namun Raisa menolak karena ia tidak ingin ayahnya sampai tau tentang hal yang terjadi barusan.
"Tuan, ini ponsel Anda... Tadi ketinggalan di rumah."
"Iya, aku kembali kesini juga karena ponsel ini, dan beruntung karenanya aku jadi bisa menolongmu dari amukan warga yang tidak beradab itu!."
Raisa hanya tersenyum ketir dan meneteskan air matanya yang masih tersisa. Pahit... Memang sungguh pahit, tapi Raisa tidak bisa melakukan hal apapun dan hanya bisa pasrah asalkan dia tidak berbuat salah.
"Tuan... Terima kasih, Anda sudah menolongku lagi."
"Tidak masalah."
"Kalau begitu, aku permisi."
"Kau mau kemana?."
"Aku perlu menenangkan diri dulu sebelum pulang ke rumah."
Bian mengangguk mengerti bahwa Raisa memang membutuhkan waktu untuk sendirian dan merenung di tempat yang memberikan ketenangan baginya. Dan dia pun menawarkan diri untuk mengantar Raisa kemanapun.
Awalnya Raisa menolak karena tau sendiri kan... Jika keluarga Aryana itu... Tidak menerima penolakan he he he....
Tanpa banyak tanya, Bian mengantarkan Raisa ke sungai yang diinginkannya. Mereka berdua berjalan bersama, menikmati perjalanan yang sejuk dan tenang. Sampai di sungai, Raisa duduk di kursi yang sudah menjadi tempatnya berbagi emosi dan memperoleh kedamaian.
Bian memberikan sedikit jarak untuk memberikan privasi pada Raisa. Dia duduk di sekitar sana, memastikan bahwa Raisa tidak merasa sendirian. Sambil mengamati aliran air yang tenang dan pohon-pohon yang berayun sepoi-sepoi angin, sehingga membuat Raisa merasa tenang.
Bersambung...
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
karakter raisa terlalu lemah,
smoga raisa jd wanita yg smart
semoga hari2 kalian bahagia 🤲💪 semangat y untuk authornya 😘😘😍